Pada suatu senja di ujung dunia, Matahari terbenam dan tak pernah terbit lagi. Semua yang rawan hatinya, berkumpul di pesisir. Ingin aku menceritakannya hingga detail terkecil, tapi rasanya mustahil. Aku hanya mampu menyampaikan, ketika senja terakhir menyapa, semburat merah menghias langit dengan pemandangan yang meremukkan hati. Tak sedikit yang membawa kamera untuk menangkap indah lembayungnya. Ribuan kilap saling bersahutan untuk waktu yang lama.
Di antara penduduk yang jumlahnya tak terhitung, ada pelukis yang sibuk membuat sketsa. Tidak sedikit penyair yang berusaha mencatatnya dalam puisi. Aku bahkan melihat penulis yang cintanya pada senja selalu hadir dalam karya-karyanya, berdiri takjub dengan air mata menetes di pipi.
Banyak keluarga melebarkan tikar dan membuka bekal, seolah sedang berpiknik di hari Minggu yang cerah.
Jauh di sudut pantai, para muda-mudi membentuk kelompoknya sendiri. Dengan tangan saling berangkulan, mendengarkan musisi menyanyikan lagu-lagu akustik nan romantis, seolah senja hanya latar kisah kasih yang merekah di dada.
Hanya anak-anak yang memandang dengan matanya, hampir tanpa berkedip, tanpa sekali pun tergoda untuk mengambil keuntungan dari momen istimewa ini.
“Rekamlah dalam benakmu, Nak, sebab esok dan selamanya, tak ada lagi senja yang mampu kita pandang.”
“Apakah senja memang seindah ini, Ibu?”
“Sudah bertahun-tahun aku hidup di dunia, tapi baru sekarang aku menyadari, senja memang benar-benar ada.”
“Aku pun, dulu mengira senja hanya penanda hari.”
“Ada banyak hal indah yang berlalu begitu saja.”
“Sungguh suatu penyesaan, bukan?”
“Sungguh suatu penyesalan.”
Berbagai suara saling sahut, hingga yang tersisa tinggal desah, seolah hendak menyampaikan, “Inikah perpisahan?”