Bagi makhluk-makhluk kecil seperti kita ini,
kebesaran alam semesta hanya bisa dihadapi
dengan cinta
— Carl Sagan
Ketika pertama kali Adistya sampai di surga, langit sudah gelap. Bukan hanya di Samudra Kekal, di malam yang hampir selamanya, melainkan juga saat dia melangkah di hutan purba, dengan Laika, Malaikat yang ditugaskan menjemputnya, berdiri di sampingnya. Dia sempat mengira, hanya ada malam di dunia selanjutnya—dia enggan menyebutnya “alam baka”, dan butuh waktu lama untuk mempercayainya sebagai “surga”.
Dengan matanya yang menerawang, larut dalam lamunan, Adistya memandang langit. Dia tersenyum, meskipun samar dan tidak disadari siapa pun, saat menemukan gugus bintang yang dikenalnya semasa hidup, ternyata juga menghias malam yang terasa asing, meski sesungguhnya tiada beda dengan apa yang dulu dilihatnya. Namun, rasa tenangnya gugur berhamburan ketika seberkas “kilau” yang dipinjam ayahnya untuk nama putri bungsunya, berkelap-kelip di langit sebelah Utara. Bintang Vega. Adistya Vega. A-Ve. Namaku.
Entah kapan aku bisa bertemu dengan papa dan mamaku lagi. Tapi aku yakin suatu hari nanti—
Dia baru saja duduk di bangku SMP ketika Maut mengetuk jendela kamarnya dan mengajaknya bercengkerama sepanjang larut. Malaikat itu, yang kelak dikenalnya sebagai Laika, datang pada malam gerimis, di bulan Februari yang dingin. Adistya bersyukur tidak mengembuskan napas terakhir di ranjang rumah sakit, dengan selang-selang infus menujum di pergelangan tangannya, dan tidak sendiri. Meski ayah dan bundanya tidak ada di sisinya, dan kakaknya yang jauh tidak menangkup tangannya, setidaknya ada malaikat yang menemaniku.
Di kereta, di permukaan samudra, dia masih mengira apa yang dialaminya mimpi belaka. Bagaimana tidak? Segalanya tidak seperti yang selalu dibayangkannya. Namun, dia juga tidak tahu harus berkata apa. Semasa hidup, dia tak berani berharap ada yang ajek setelah Maut menjemput. Dipandangnya Laika dengan mata haru. Andai dia mengabaikan tubuhnya yang mungil, dia pasti lupa Maut-lah yang sebenarnya duduk di sisinya. Rambutnya hitam, gaunnya hitam, dan mantilanya hitam, tapi kesan yang dipancarkannya sama sekali tidak kelam, sedikit melankolis justru, sekalipun seluruh atribut yang dikenakannya mengingatkannya pada gelap. Bahkan, saat Adistya melihatnya dengan saksama, mata Laika juga memancarkan pendar yang menyerupai mata kanak-kanak.
Kelak, gadis itu menyadari, Maut tidak hanya satu. Mereka selalu hadir dalam wujud yang diharapkan. Arunika, anak baru itu, mendapat Maut dalam sosok seorang ibu. Sementara pada Adistya, yang kerap kesepian di kamarnya, Maut hadir dalam rupa sahabat sebaya. Ada banyak lagi yang lain, yang disampaikan teman-temannya di Bintang Utara. Dia teringat kisah gadis penjual korek api, yang saat menjelang ajal, dijemput oleh seorang tua yang mirip dengan neneknya. Apa dia juga Maut—Penyeberang yang lain?
Laika tidak pernah melepaskan tangan Adistya sekali pun, meski yang digenggamnya tidak dapat merasakan apa pun. Hanya seperti disentuh kehampaan—tanpa suhu, tanpa bobot, tanpa tekanan. Adistya teringat seekor anjing Rusia yang juga mempunyai nama yang sama dengan malaikatnya—Laika. Dia binatang pertama yang mengorbit Bumi, serta makhluk hidup pertama yang tewas pada saat mengorbit. Namun, siapa tahu, nama Laika juga dapat berarti ma-LAIKA-t. Andai dia mengingatnya semasa hidup, tentu sudah dirangkainya fakta ini pada lembar diary-nya.
Di hutan purba, setelah sejenak mampir di permukiman Tetua, dan mendapatkan lingkaran cahaya, Laika menuntun Adistya berjalan hingga tiba di depan pintu Bintang Utara. Sebelum Sarah mengambil alih, ada Induk Semang yang sudah lumayan tua yang mengelolanya. Adistya mendapatkan kamar di lantai satu, dekat dengan dapur. Tapi tetap saja, Sarahlah—yang ketika itu masih berusia enam belas—yang menyiapkan segala keperluannya. Sulit beradaptasi dengan hidupnya yang baru, terutama berurusan dengan rindu. Dia masih merindukan keluarganya—ayah, bunda, dan dua kakaknya—tapi teristimewa pada hidup. Setidaknya, dia ingin menyampaikan sepatah kata perpisahan. Sekadar peluk terakhir pun tak mengapa. Namun, ternyata ikhlas tidak sesulit dugaannya. Dia hanya membiasakan berpikir, di sinilah tempatnya sekarang.
Tidak seperti di Bumi, di surga dia merasa sehat, bugar, seolah dapat melakukan apa pun yang disukainya.
“Padahal sudah diberi sayap. Seharusnya aku bisa terbang,” Adistya duduk di ranjang dan membelai bulu-bulu yang tumbuh di punggungnya. Dia juga memutar-mutar lingkaran cahaya di kepalanya. Dia sempat mengharapkan panas, tapi ternyata tidak. Meski benderang laiknya lampu, lingkaran malaikatnya ternyata sejuk. “Aku ingin terbang, seperti janjimu. Seperti saat kau membawaku melayang, di depan jendela, menembus awan, dan sampai ke stasiun—atau dermaga?—untuk ‘menyeberangi’ laut itu. Belum apa-apa aku sudah merindukan sensasi tergelitik di perutku saat kita melambung di angkasa.”
“Suatu saat nanti, kamu bisa terbang dengan sayapmu sendiri, kok. Jika saat itu tiba, aku pasti datang dan mengajakmu mengarungi jagat raya bersama,” balas Laika yang menemaninya hingga terlelap.
“Seram juga kalau di surga masih ada Maut,” Adistya menarik selimutnya.
“Tidak, karena sekarang kamu tahu, kematian bukanlah akhir.”
Pagi datang dan Adistya mencari Laika di mana-mana, tapi tidak dapat menemukannya. Dengan rasa kehilangan, dia membuka pintu dan menyambut hari pertamanya di surga.
Dan tahun-tahun berlalu begitu saja. Surga, rupanya, masih menawarkan kehidupan, lengkap dengan sahabat baiknya—kematian. Adistya kerap melihat, apa yang dulu kuncup, kelak tumbuh membelukar. Mekar sejenak, lantas layu. Segala yang baru, mengusang. Segala yang jumpa, berpisah jua. Selebat apa pun dedaunan yang menghiasi ranting-ranting pohon itu, pada akhirnya tak satu pun tersisa.
Sekarang, lima tahun setelah menjejakkan kaki di surga, Adistya sudah beranjak dewasa, dan karenanya sayapnya pun mengecil perlahan. Dia mengambil kamar di lantai tiga dan menjadi satu-satunya malaikat yang tinggal di sana. Sembilan malaikat lain memilih lantai yang lebih rendah. Dia kerap menghabiskan waktu di kebun kecil, di atap asrama, yang bisa dicapainya dengan mendaki tangga spiral di seberang kamarnya. Tak terkecuali malam ini.
Untuk menghindari terpaan angin, dia mengenakan jaket dan celana jins. Rambutnya yang hitam dan panjang diikatnya dengan karet. Dia mengisap rokoknya dalam-dalam dan mengembusnya, berharap dengannya dingin dapat terhalau. Matanya terpaku memandang bintang-bintang. Hampir tidak ada bedanya dengan di Bumi. Hanya saja, karena tidak dihalangi pendar merkuri kendaraan bermotor, juga kilau rawan lampu jalan, cahayanya jadi lebih jernih, tidak dibayang-bayangi kabut sewarna bata. Tak pernah sekali pun dia jenuh melihatnya.
Adistya menengadah menghadap langit untuk meredam kebisingan yang, kerap tanpa disadari, berlalu lalang di kepala. Dia mencoba mengurangi gangguan pada medan pandangnya dan membersihkan pikirannya dari hal-hal yang tidak penting. Karena di sini tidak ada suara yang mengganggu, dia bersyukur tidak perlu menutup telinga untuk mengheningkan pendengarannya. Dia bisa saja memakai kertas putih bersih yang belum dinodai setetes pun tinta, tapi selembar kertas terlalu kecil. Langit luas tak terbatas. Dia mengembuskan asap rokoknya dan berdiam santai di sana, menikmati tenang dalam pikirannya, senyap dalam telinganya. Tapi suara derit pintu yang engselnya sudah lama tidak diminyaki membuatnya tanpa sengaja menjatuhkan rokoknya.
“Bau rokok! Baunya tercium, lho,” seorang perempuan berpostur mungil mendekatinya. Di tangannya ada sebuah keranjang.
“Memang kenapa?” Adistya menyalakan sebatang sigaret lagi dan menginjak yang sudah jatuh.