Aurel, yang baru saja mengakhiri pelajaran SMP-nya, membereskan buku-buku yang dia letakkan di meja dan menyimpannya di dalam ransel. Peralatan tulis, seperti pensil, penghapus, pulpen, penggaris, dan cairan pengkoreksi dirapikannya dalam kotak kecil, lalu dimasukkan di bagian depan tas, sementara buku-buku diurutkannya berdasarkan ukuran dan ketebalan, lalu disusun di bagian tengah. Ruang kelas terletak di lantai satu, tepat di depan kamarnya. Dia hanya perlu berjalan sejenak untuk menaruh ransel di meja belajarnya, lalu keluar lagi untuk menghabiskan sisa hari bersama teman-temannya. Tapi dia tidak terburu-buru. Masih banyak waktu. Dia meluruskan kaki dan memandang ruang kelas yang cerah bermandikan cahaya matahari di jendela. Suara penyanyi lawas di radio membuat suasana yang sudah senyap menjadi bertambah senyap. Tapi telinganya mampu menangkap tawa girang anak-anak yang terdengar nyaring di latar belakang.
Asrama Bintang Utara adalah bangunan tiga lantai yang sudah sangat tua. Bubungannya dibuat bidang, tanpa genting, dengan pagar dinding yang cukup tinggi, yang banyak ditumbuhi tanaman obat dalam berbagai pot. Saat sore menjelang, para malaikat kerap bermain di sana—sekadar menyaksikan matahari yang perlahan terbenam atau membantu malaikat-malaikat dewasa mengangkat jemuran. Jika musim panen tiba, langit dipenuhi layang-layang. Panorama teduh. Angin bertiup mengantar gemerisik daun-daun yang berbisik dengan suara lirih.
Sekilas pandang, asrama itu seperti penginapan tak terpakai yang setiap sisi dindingnya sudah ditumbuhi lumut. Jika kau punya daya imajinasi sebesar Laila, kau dapat membayangkan sisa-sisa peradaban seperti dalam legenda-legenda Dunia Tengah¹, dengan kebun bunga dan sayuran yang seolah dirawat para peri—di kiri dan kanan batu setapak yang memanjang di depan pintu utama. Tapi, sekalipun bagian depannya terlihat kusam seperti dapat roboh kapan saja, ternyata bagian dalamnya bersih tanpa senoktah pun debu. Memang, kesan tua masih jelas terlihat, seperti semua hal lain di surga—dengan ubin tehel abu-abu dan jam Jepang besar yang bergeming di sudut ruangan. Temboknya dulu putih, namun tanah yang kaya unsur hara merembes dalam plester semen dan menghangatkannya—membuat warnanya jadi sedikit kecokelatan. Di dinding terpacak pajangan kayu yang dihiasi sepatah kalimat. Aurel mengejanya perlahan.
Dalam satu hati terkandung seluruh dunia.
Setiap hari, kecuali akhir pekan dan hari Minggu, ruang depan di lantai satu disulap jadi “sekolah darurat”. Saat pagi menjelang, lima buah bangku yang masing-masing dilengkapi sebuah kursi sudah tersusun rapi di hadapan papan tulis yang tidak terlalu besar. Gurunya hanya satu, Sarah, dengan sesekali dibantu Laila. Kadang, malaikat dewasa lain juga turun tangan, mengajari bidang-bidang yang mereka kuasai. Adistya, karena di asrama tidak ada piano, dan dia malas mengajari astronomi, memakai kuas dan kanvas untuk mendekatkan anak-anak pada seni lukis; Hanin tentu saja mengajar dengan mengandalkan loyang dan tepung, yang kelak disulapnya jadi kue-kue yang hangat dan lezat; lalu ada Mutiara “Ara”, yang bekerja di perpustakaan, dengan biola yang sudah memudar warnanya—meski sebenarnya dia tidak mengajarkan apa pun, selain mendengar. Muridnya hanya lima dan semuanya berbeda usia. Untuk menyiasatinya, Sarah berkeliling seraya menyampaikan pelajarannya sesuai tingkatan kelas masing-masing. Ada yang masih TK, seperti Arunika, dan ada yang SD—Luna yang pendiam dan Cahaya yang tak mau berhenti bergerak. Dua sisanya, Aurel—yang berusia dua belas, dan Maheswari—yang setahun lebih tua, sudah menginjak bangku SMP. Semuanya belajar di ruang yang sama.
Hari mulai beranjak siang tapi teriknya enggan menyengat ketika, melalui jendela asrama di seberang tempat duduknya, Aurel memandang Cahaya dan Luna bermain bersama gadis kecil yang baru beberapa minggu lalu menjadi bagian keluarga ini. Aurel teringat saat pertama kali bertemu dengan dua malaikat yang sifatnya bertolak belakang itu—dengan kesedihan yang mungkin terlalu berat untuk ditanggung anak sekecil mereka.
*
Sebelum meninggal, sepanjang hidupnya, Cahaya, yang kerap dipanggil Aya, menghabiskan hari-harinya di pesisir bersama ibunya di rumah kecil di tepi pantai. Dia sudah mengenal laut semenjak ingatan pertamanya terbentuk, tapi selalu ingin memahaminya lebih dalam lagi, meski usahanya mungkin hanya menambah setetes pengertian. Di usianya yang masih sangat belia, dia hampir mengenal seluruh perairan itu.
Pada pagi sehabis pasang, ketika Aya berjalan melintasi garis yang memisahkan batuan dengan pasir dan lumpur, di antara tumpukan jasad remis, yang semuanya berlubang di tempat yang sama, karena menjadi mangsa lezat kerang kalung, dia mencari cangkang teripang untuk dijadikan hiasan. Tapi cahaya matahari yang menyegarkan—hangat, baru saja terbit di ufuk—dilatari suara gelombang yang berkejaran, membuatnya tergoda untuk melepas sandal tipisnya, dan berenang mengikuti arus yang sebenarnya tidak terlalu deras. Tetap saja, gulungan ombak mampu membawa tubuhnya yang mungil menjauhi pantai. Tapi dia tidak khawatir. Dia sudah berenang bahkan sebelum dapat bicara. Tangan mungilnya mengayun santai di antara riak. Dia bagai hendak menyusuri jalan berkilauan yang diciptakan matahari.
Tanpa disadari, dia sudah berenang melampaui batas yang diperbolehkan. Air mulai menyesaki paru-parunya ketika perutnya mulai kram. Jari-jari kakinya tak mampu menjejak tanah sekeras apa pun mencari pijakan. Dia cemas. Dengan segera pikirannya kosong dan suram, digantikan nalurinya. Dia meronta-ronta seolah ada ribuan tangan menariknya. Ketika dia sudah hampir pasrah, seseorang menangkap tangannya yang melambai-lambai di permukaan air. Lengan yang sigap mengangkatnya dengan lincah, tetapi lembut, lantas melindunginya dalam dekapan. Aya lega, tapi langsung tersentak kaget ketika menyadari, Maut—sosok asing itu—mengajaknya menyeberangi samudra dengan menyelam di angkasa. Badannya sama sekali tidak menyentuh permukaan.
Aya terbatuk-batuk saat menghirup dan mengembuskan napasnya dalam-dalam, rasanya sudah begitu lama dia tidak bertemu udara. Hawa dingin diselubungi aroma garam berembus kencang di sekitar mereka. Meski ada rasa gentar di dadanya, dia sangat menyukai pengalaman pertamanya merenangi langit.
Ketika menembus gemawan, tanpa aba-aba, Maut melepaskan tangannya. Aya langsung gugup dan jatuh. Kepakkan sayapmu—selagi bisa! terdengar suara di kejauhan. Aya pun menyadari di punggungnya telah tumbuh sayap kelabu yang begitu besar. Rasa gentar membuat naluri bertahan hidupnya bangkit. Dia pun menggerakkan otot punggungnya dan melambung tinggi menebas udara.
Selebihnya hanya terdengar suara tangis yang tak menggema di mana pun. Pagi masih enggan beranjak, ketika seorang ibu tak jua menemukan anak semata wayangnya, sementara lauk-lauk di meja kecilnya sudah mendingin. Jarinya menggetarkan firasat buruk—dan bisikan itu jarang sekali keliru. Hidup di pesisir membuat intuisinya lebih sensitif menerima tanda bencana sekecil apa pun. Seandainya dia tahu, putri semata wayangnya sudah aman di surga.
Sekarang, dua tahun sudah berlalu sejak Aya pertama kali menjejakkan kaki di Bintang Utara. Kulitnya cokelat terbakar sinar matahari. Dia selalu senang bergerak dalam naungan cahayanya. Semakin cerah semakin baik—semakin terik semakin menyegarkan. Tentu, gadis kecil itu masih merindukan laut dan suara ombak yang dulu mengisi takdirnya. Dia tidak dapat membencinya, meski kedalamannya telah memisahkan dia dari ibu yang sangat disayanginya. Bagaimanapun, itu bukan kesalahannya. Akulah yang bodoh. Hanya saja, semenjak sampai di dermaga, tak pernah sekali pun dia menemukannya lagi—samudra itu, bau laut itu.
Pernah sekali dicobanya menyusuri hutan purba, mengikuti jalan setapak yang sangat dikenalnya, dan menyeberangi sungai-sungai kecil demi aroma garam yang samar pada embus angin itu. Tapi dia malah tersesat di rimbun kabut, dan tahu-tahu sudah berada di sempadan hutan. Penjual Permen yang duduk merungguh di hadapan kebun kecilnya, menyapanya dengan “Yo!” singkat dan heran melihat gadis kecil yang biasanya pecicilan itu melangkah gontai tanpa semangat.
Sesampainya di asrama, Aya menemukan Adistya sudah menunggunya di ruang makan. Perempuan yang selalu menyelipkan batang rokok di bibirnya itu menyerahkan lukisan pantai yang diguratnya berdasarkan cerita Aya. Untukmu, katanya. Dengan mata berbinar diterimanya hadiah itu dan didekapnya erat. Setelahnya, dia langsung berlari ke pelukan Adistya yang serta merta mengangkat tangannya, tanpa tahu harus berbuat apa. Pelan-pelan, dengan gerak yang kaku, ditepuknya kepala Aya. Lukisan itu sekarang terpajang di sisi ranjang gadis kecil itu. Senantiasa dipandangnya sebelum lelap dan kapan pun dia sempat.
*
Luna, sahabat Arunika yang lain, sangat berbeda dengan Aya. Ketika pertama kali sampai di Bintang Utara, dia hampir tidak mengeluarkan suara. Matanya selalu diselubungi ketakutan, dan giginya bergeletuk ngeri ketika telinganya mendengar langkah kaki. Dia senantiasa meringkuk di sudut-sudut gelap, gentar memandang cahaya.
Di dalam kepalanya, juga jauh di sudut ingatannya, masih terbayang hidupnya yang singkat di dunia, tapi tak mengenal kasih sayang—apalagi bahagia. Butuh waktu lama baginya untuk sekadar belajar tersenyum. Dia masih ingat, pada malam ketika takdirnya menemui kata ‘cukup’, tubuhnya tergeletak tak berdaya, di pojok sebuah ruangan yang tak mengenal hangat. Siang dilaluinya dengan deras keringat yang tak henti mengalir sesering apa pun dia mengelapnya. Malam sebaliknya, hawa dingin menusuk kulit dan membuat tulangnya terasa nyeri.
Sekujur tubuhnya bergetar hebat saat mendengar derap langkah yang samar di kejauhan, tapi begitu sangat dikenalnya. Dia tidak dapat melihat karena matanya tak jua terbiasa dengan gelap yang entah sejak kapan menyelimutinya—bukan pekat kelabu seperti saat lampu dipadamkan, melainkan hitam yang lebih kental dari darah—atau setetes tinta yang mengering dan mengerak. Butakah aku—akhirnya?
Bau apak menyelubungi kamarnya yang sempit dan berdebu, tanpa alas yang dapat dipakainya berbaring. Dia sudah tinggal di sana hampir sepanjang ingatan. Setiap hari, dia hanya diberi sepiring nasi dengan sedikit kecap—satu kali sehari, dan tidak pernah cukup. Ibunya tidak perlu alasan untuk menganiayanya, apalagi jika salah satu pacarnya, yang total seluruhnya tak terhitung lagi, mencampakkannya. Dia pasti mendatangi Luna dan memukul pelipisnya sampai memar. Tapi dia tahu kapan harus berhenti sebelum menyebabkan cidera yang mengeluarkan darah dan menimbulkan rasa curiga. Tidak ada air mata yang menyungai di pipi Luna, karena untuk menangis pun tak lagi dia sanggup. Dia hanya berteriak dengan suara nyaris putus, meski tak ada yang terdengar—dan mendengar. Tangannya lunglai menahan wajah, menghindari tangan ibunya. Jangan sampai menyentuh kepalanya. Tapi apakah hanya untuk itu tangan diciptakan? Untuk melukai? Untuk menyakiti? Dia tak pernah tahu rasanya dibelai, tapi tak pernah selesai merindukannya. Alih-alih, sang ibu justru menjambak rambutnya dan menghantamkannya ke tembok hingga menimbulkan suara keras. Luna berbaring menahan nyeri sampai tidak merasakan apa pun lagi. Dia merindukan air mata karena setiap tetesnya mampu membuat perihnya berkurang. Namun yang terdengar hanyalah isak pelan—dan lebih pelan lagi—tanpa tangis yang melegakan hatinya.
Malam itu tak separah malam-malam sebelumnya, tapi rupanya Luna telah kehilangan hampir seluruh daya. Tubuh kecilnya tak lagi mampu menahan dera ketika sang ibu menarik paksa tangannya yang rengsa, lalu membawanya menuju wastafel yang dipenuhi es batu. Dia merendam wajah anak itu agar lukanya cepat mengering dan tidak meninggalkan bekas. Busa-busa oksigen menyuarakan teriakan pilu tertahan. Saat napasnya sudah hampir habis, sang ibu langsung menarik rambutnya dan membiarkan dia megap-megap menggapai udara. Namun, sebelum oksigen mengisi penuh paru-parunya, perempuan itu mencelupkan lagi wajahnya hingga dia meronta-ronta dan kedua tangannya tak lagi bertenaga.
Ibunya menaruh jari di bawah hidung Luna dan bernapas lega saat merasakan hangat udara masih berembus. Dia mengembannya dan melemparnya kembali dalam ruang sempit di sudut rumah—satu-satunya dunia yang dikenalnya—lengkap dengan sepiring nasi kecap yang kali ini diberi lauk telur ceplok. Tidak lupa dia letakkan botol air baru di sampingnya. Setelah mengunci rapat ruangan itu, perempuan itu menuruni undakan dan mengambil telpon dalam sakunya dan menekan sederet nomor. Dia berjalan santai di kota yang masih terjaga meski malam sudah hampir subuh. Dia menelepon salah satu kekasihnya dengan nada manja dan ceria.
Di dalam kegelapan, Luna terjaga dengan kepala pengar. Dia meraba-raba sekitar karena mencium bau telur yang lezat. Perutnya mulai keroncongan. Namun, sekuat apa pun upaya, tak jua dia mampu mengangkat tangannya. Dia hanya dapat memejam. Siapa tahu, saat membuka mata, dia mendapati semuanya mimpi buruk belaka.
Berita kematiannya muncul di mana-mana, menjadi tajuk berita di televisi, ditawarkan para loper koran di depan jendela-jendela kendaraan, di lampu merah, di pasar tumpah saat terjebak kemacetan, bersama minuman dingin, kanebo, dan kemoceng. Tapi segera dilupakan beberapa hari kemudian, karena kabar buruk tak pernah berhenti mengalir di ribuan tempat lain di negeri keparat ini.
Ketika Luna terjaga, perempuan yang tidak dikenalnya duduk di sampingnya. Kepala kecilnya bersandar di lengannya dan rambutnya terasa hangat, seolah ada angin yang menyentuhnya. Ternyata tangan yang tak bersuhu itu membelainya lembut, mengalirkan kasih sayang yang selama ini tak dikenalnya—tapi begitu sangat didambakannya. Dia terisak pelan, mulanya tanpa suara, tapi semakin lama semakin kencang. Air matanya menderas di pipi dan suaranya menggema, membelah kesunyian di samudra kekal. Begitu lirih, seolah tak ada yang lebih lirih lagi.
Tangisnya belum seluruhnya reda ketika dia sampai di Bintang Utara. Lingkaran malaikat sudah menyala terang di kepalanya, sayapnya kelabu dan membentang indah, bersih tanpa senoktah pun noda, menandakan dia sudah berada di ranah yang mengizinkannya bernapas lega. Tapi masih saja jiwanya diselubungi rasa curiga. Dia tidak percaya ada sesuatu yang dinamakan kebaikan. Dia bergidik ketika Sarah menerimanya dengan pelukan dan menangis untuknya. Alih-alih bertambah tenang, jantung gadis kecil itu berdetak lebih kencang. Dia meronta seraya mengulang teriakan “Ampun! Ampun!” yang, ironisnya, mengalir lancar dari mulutnya yang sudah tak bisu lagi.
Butuh waktu yang tidak sedikit bagi Luna untuk dapat membuka hatinya. Tapi akhirnya senyum itu datang juga, disusul mata yang tak lagi memancarkan kegetiran. Dia mulai membaur bersama teman-temannya yang lain—mengucapkan sepatah dua kata dengan suara nyaris tak terdengar. Dia kerap mendengar lagu-lagu yang mengudara di radio dan pelan-pelan menghapalkan liriknya. Sering dalam bisik dia bernyanyi. Suaranya kecil, tapi indah.
Dia masih terlalu pendiam untuk anak seusianya, tapi pelan-pelan hati yang beku itu mencair jua. Dia selalu ingin melebur dalam pelukan Sarah. Dia senang menghidu aroma dapur yang selalu tercium di celemek perempuan itu—serta harum yang lembut di rambutnya yang berwarna tembaga. Dan Sarah selalu ingin memeluknya lebih erat dan lebih lembut dari pelukan-pelukan yang pernah diberikannya.