Kesempatan Kedua

Rafael Yanuar
Chapter #12

Di Hadapan Bintang-Bintang (4)

“Aru—Aru, kamu mau ikut aku?”

Arunika yang masih terlelap di kamarnya terkejut saat melihat wajah bundar Aya sudah berada di hadapannya. Dia melihat penampilan sahabatnya yang sepertinya tak pernah berubah—rambut yang diikat sebelah dan baju yang kedodoran. Arunika melihat menembus bahu Aya dan mencari jam di dinding. Dia menguap malas ketika menemukan jarum pendeknya masih di angka lima. Setengah lima pagi. Dan sekarang Sabtu, hari bebas, tidak ada kelas dan tidak perlu bangun lekas-lekas.

“Ke—ke mana?”

“Main detektif-detektifan!”

Arunika hanya memandang bingung sahabatnya. Jam segini?

“Jadi—“ Aya mulai bicara dan menyampaikan rencananya.

Ada kabar burung yang mengatakan, bahwa pada hari perayaan—maksudnya, pasar malam, kucing-kucing di surga menghilang serentak. Tidak hanya kucing liar, kucing rumahan juga. Entah bagaimana semuanya lenyap di hari yang sama, dan kembali tepat setelah perayaan usai—sekitar pukul dua belas malam.

Ada seekor kucing yang menjadi pengunjung tetap di asrama, meskipun jarang tidur di dalam rumah. Dia selalu bergelung nyaman di halaman, di depan pintu, di samping wadah minunnya. Memang, tidak ada yang sengaja memeliharanya, tapi Sarah tak pernah absen memberinya makan. Boleh dibilang caranya cukup niat, “Benar-benar khas dia," kata Laila.

Sarah tidak pernah memberi kucingnya makanan jadi, melainkan mengolahnya dengan tangan sendiri. Dengan telaten, dia merebus ikan dan sesekali mencampurnya dengan sedikit tempe sebagai pencegah diare. Karena berlimpahnya sayuran, terkadang Sarah mencampurnya dengan sepotong wortel. Tak heran jika kucing itu tumbuh sehat dan besar. Kaki-kakinya lincah bergerak. Nyaris tidak pernah sakit.

Anak-anak kerap memanggilnya Si Oren—yang akhirnya menyatu menjadi sepatah nama—Sioren. Dan Aya berencana membututinya.

 “Bagaimana? Mau ikut?” Aya merangkak di atas tubuh sahabatnya dan membuka tirai jendela. “Lihat, mumpung Sioren masih ada di halaman. Sebentar lagi, dia pasti pergi menyusul kucing-kucing lain,” Aya menutup kata-kata dengan berbisik penuh misteri, “ke tempat persembunyian.”

Kantuk di mata Arunika langsung pupus begitu mendengar ide Aya. Dia senang dengan hal-hal baru, karena dapat menghias buku hariannya dengan pengalaman-pengalaman seru. Lagipula, dia juga penasaran apa yang dilakukan kucing-kucing itu, sampai harus berkumpul di hari yang sama. Jangan-jangan ada ‘Kerajaan Kucing’ yang tersembunyi di suatu tempat di surga?

Jadi, di sinilah Aya, dengan Arunika di sisinya. Aya tidak berhasil mengajak anak-anak lain yang lebih memilih melanjutkan tidur ketimbang subuh-subuh mengikuti seekor kucing. Hanya dua malaikat dewasa yang sudah terjaga. Hanin, seperti Sabtu-Sabtu sebelumnya, sudah sibuk di dapur sebelum yang lain membuka mata, ditemani Adistya—yang waktu tidurnya memang tidak banyak. Harum kue menghias subuh di asrama. Aromanya seperti campuran roti panggang dan kopi.

Meskipun malaikat kanak-kanak tidak ada yang tertarik, kecuali Arunika, ternyata ada satu malaikat dewasa yang termakan umpan—nama yang justru sama sekali tidak terduga. Adistya yang sedang menikmati secangkir kopi di halaman, lengkap dengan sebatang rokok yang terselip di bibirnya, langsung berminat mendengar penjelasan Aya. Selembar koran yang dilipat-lipat jadi sebesar majalah ditaruhnya di meja. Rokoknya dimatikan karena Hanin, dengan loyang kosong di tangan kanannya, sudah memandangnya dengan mata penuh peringatan—jangan ada rokok di depan anak-anak. Segera Adistya mengambil jaket yang digantungnya di sandaran kursi, menutupi sayap dan busana kasualnya yang serba hitam, dengan celana jins dan topi—untuk menyembunyikan lingkaran cahaya di atas kepalanya. Rambut panjangnya diikat dengan karet.

Meskipun semalam hujan turun dan sisa-sisa renjisannya menjelma genangan di beberapa titik setapak, cuaca pagi ini cerah. Jadi, wajar jika Aya dan Arunika mengerutkan kening saat melihat Kak Adis—panggilan mereka untuk Adistya—mengenakan busana yang membuat gerah siapa pun.

“Tidak panas?”

Adistya hanya menggeleng dan mengangkat bahu.

“Ternyata kakak kita yang serba serius ini bisa bertingkah lucu juga, ya. Menurut Kak Filsuf, di mana kucing-kucing itu berada saat hari perayaan tiba?” Hanin menyerahkan sebungkus kue seraya tersenyum jahil, “Kak Adis imut.”

“Diam,” Adistya mendengus kesal. Tapi diterimanya juga kue itu dan mengucapkan terima kasih tanpa ekspresi.

Sioren mulai bergerak melewati pagar asrama—ke kanan—ke arah kota, bukan hutan purba, ketiga malaikat mengikuti di belakangnya.

Hanin yang masih berdiri di depan pintu melipat tangannya seraya tertawa kecil. “Dasar,” dia terkekeh pelan, “Bilang saja khawatir.”

Sioren melompati batang pohon dengan lincah diikuti Aya yang menirunya dengan tak kalah lincah. Kakinya ditumpukan pada tonjolan-tonjolan pokok kayu. Lalu, saat sudah cukup tinggi, tangan kanannya meraih dahan yang menurutnya paling kuat, disusul tangan kirinya. Setelah itu, dia merangkak dengan hati-hati hingga mampu berdiri dengan seimbang di atas kedua kaki. Saat si kucing melompati dahan demi dahan, Aya mengikutinya. Semuanya dilakukan dalam hitungan detik.

Arunika juga memanjat pohon-pohon yang berbaris di sisi jalan. Meski tidak selincah temannya, jelas terlihat dia sudah terbiasa melakukannya.

Adistya hanya tertegun memandang mereka seraya bergumam, “Monyet. Persis monyet.”

Lihat selengkapnya