Petang sudah menjelang ketika Arunika dan teman-temannya berjalan menuju halte yang letaknya tak begitu jauh dari asrama. Senja baru saja pupus dan mega-mega berayun di langit yang sebentar lagi hanya menyisakan gelap. Rembulan muncul bahkan sebelum matahari benar-benar menghilang di tubir bukit. Bentuknya yang semula pudar dalam birunya langit, bertambah tajam di relung kelam. Ada jutaan bintang memantik kilaunya di angkasa, di antara awan yang berarak. Karena lampu jalan tidak terlalu banyak, langit tidak dicemari bayang-bayang jingga.
Tanpa polusi cahaya, Adistya bisa melihat rasi-rasi bintang semudah yang diinginkannya. Dia tersenyum dan memasukkan tangannya dalam saku. Jaket menutupi sayap kecilnya. Tanpa topi, rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Dia tidak ingin mengikatnya dengan karet meski angin kerap berembus masai—tapi tetap menyembunyikan sebagian rambutnya dalam kerah jaket. Kesan cuek yang kerap ditampilkannya sedikit berkurang. Hanin berdiri di sampingnya dan mencoba melihat apa yang sahabatnya lihat, tapi yang ditemukannya hanya titik-titik cahaya yang acak—yang tidak dapat dicitrakannya sebagai bentuk dan rupa. Jika dia bertanya, tentu Adistya akan menjawab sambil menyebunyikan rasa senangnya. Tapi, karena Hanin tak kunjung memahaminya—kecuali satu, yang bentuknya menyerupai layang-layang, dia hanya mendekat di sisi sahabatnya.
Suara klakson memekik keras menebas kesunyian, mengagetkan Adistya yang langsung menggandeng lengan Hanin agar cepat-cepat mundur. Jantungnya mencelus, hampir copot. Matanya mendelik marah ketika sumber kegaduhan itu mencicit tepat di samping peron. Bus merah yang tidak terlalu besar mengedipkan lampu depannya, seolah tertawa. Tidak lucu.
“Malam, Bos! Halo, Bos! Cakep bener!” kata seseorang—atau entah apa—yang duduk di dalam bus pada Adistya. Tangannya terangkat dan melambai-lambai di jendela, di samping kaca spion.
Dan—di sinilah dia, satu-satunya sopir bus yang bisa merusak suasana syahdu di surga—atau di mana pun, keluh Adistya, sambil menatap tajam sosok di balik kemudi. Tapi dia tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya melihat bus yang menawarkan keajaiban itu.
Tidak ada yang tahu, berasal dari manakah bus yang datang pada hari perayaan itu. Bentuknya berbeda dengan bus-bus lain yang kerap muncul pada waktu-waktu tertentu. Selain berwarna merah dan sedikit norak dengan gambar robot kucing abad ke-21 yang tidak mirip dengan aslinya, lampu depannya yang terang membuat surga bertambah cerah. Lapisan kusam yang menyembunyikan warna sejati setiap benda seolah terkelupas. Daun-daun jadi lebih hijau, bunga-bunga lebih rekah, dan malam lebih biru.
“Jadi, Bos Besar, mau langsung ke kota, atau putar-putar dulu kita?” katanya seraya melirik Sarah yang duduk di sudut peron, dan hanya mendapat balasan tawa gugup. Percuma meminta Pak Sopir memanggilnya dengan sebutan yang lebih wajar, perempuan berambut tembaga itu hanya mendesah dan memandang anak-anak seolah bertanya, “Bagaimana?”—meski dia sudah tahu jawabannya. Tidak ada yang istimewa dengan pasar malam di kota. Hanya seperti perayaan biasa yang diadakan di Bumi. Tapi surga menawarkan banyak hal yang jauh lebih menyenangkan.
“Putar-putar dulu!” jawab semuanya, serempak. Hanya Arunika yang tidak tahu harus menjawab apa.
“Oke, Bos. Siap, Bos.”
Hanya ada sepuluh bangku di dalam bus, dengan kursi ganda yang barisnya lumayan lebar di masing-masing sisinya. Karena jumlahnya pas, mereka membagi tempat duduk dua-dua—malaikat dewasa di samping malaikat kanak-kanak. Tentu saja, sandaran bangkunya dibuat rendah, agar mereka dapat duduk dengan nyaman tanpa harus menekuk sayap. Ada satu jendela besar di sisi kiri dan kanan.
Arunika—sebagai malaikat yang paling kecil naik lebih dulu, disusul malaikat-malaikat lain yang lebih besar. Terakhir Laila dan Sarah yang duduk di bagian belakang. Arunika dan Aya yang sedari tadi menceritakan pengalamannya mengikuti Sioren mendadak berhenti mengoceh ketika roda mulai menggelinding. Awalnya, bus berjalan seperti biasa—di atas aspal. Tapi, lama-lama, ada sensasi geli di perut yang membuat Arunika sedikit limbung. Ketika melihat jendela, barulah dia sadar, bus sudah tidak lagi menyentuh tanah.
“Pasang sabuk pengaman, Bos, kita melewati zona di luar waktu.”
Tentu saja tidak ada sabuk pengaman.
Sebenarnya, Arunika merasa dunialah yang bergerak, bukan dia. Tidak, mungkin dunia bukan bergerak, tapi, lebih tepatnya, tenggelam. Dia melihat jajaran persawahan yang setiap hari dilaluinya jatuh semakin dalam hingga menyusut menjelma petak-petak yang menyerupai gambar dua dimensi. Hutan purba yang semestinya luas tak bertepi menjadi sekecil garis, lalu menjadi titik, seolah menyusut dan kembali dalam wujud sejatinya—satu dimensi. Pulau yang disebutnya sebagai ‘surga’ perlahan menjadi sepetak tanah yang diselimuti lumut di hampir semua sisinya. Dan setelahnya, hanya ada kabut yang tiada batasnya menyelubungi seluruh dunia.
Setelah tiada lagi tanah yang terlihat, terbentanglah laut yang seluas segalanya. Dia masih ingat seluruh detail perjalanan ketika dia mengarunginya bersama Maut, dulu, lima tahun lalu. Tapi karena masih bayi, dia tidak dapat memandang melampaui jendela. Dia tidak menyangka, di antara gulungan ombak, ada berbagai hal yang seharusnya tidak ada di permukaan samudra. Dia melihat ribuan cahaya warna-warni yang berasal dari rumah-rumah dan gedung-gedung. Mobil, kereta, kapal, dan delman, pun kendaraan lain yang belum pernah dilihatnya, melintas pelan di air. Dia tidak dapat menahan godaan untuk berdiri, dan memandang takjub pada pemandangan di depan kaca. Aurel yang duduk di sampingnya, pindah di samping jendela. Dia mencolek bahu gadis kecil itu dan berkata sambil menunjuk dengan jarinya, “Aru, jangan hanya melihat ke bawah.”
Arunika menurut dan menegakkan kepalanya. Dia terkejut saat matanya menembus awan-awan, tanpa goncangan sedikit pun. Dan seketika, terpacaklah di hadapannya, bulan yang teramat besar, yang sinarnya terik—namun sejuk.
“I-ini di mana?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
Aurel melihat sayapnya sendiri dan mengepakannya. Dia tersenyum hangat, “Karena kamu punya sayap, berarti kita masih di surga.”
Ribuan kunang-kunang—atau sesuatu yang menyerupai kunang-kunang, beterbangan di balik jendela. Warnanya tidak hanya satu, melainkan ribuan—jutaan—tak terhitung. Bahkan ada warna yang belum pernah dilihatnya selama menghabiskan harinya di surga. Bukan tujuh warna pelangi, bukan pula perpaduan satu dengan yang lain, melainkan warna yang tidak biasa, muskil dilihat mata manusia.
“Mungkin ultraviolet, atau inframerah,” kata Adistya yang duduk di depan mereka. Dia menyandarkan lengannya di bingkai jendela dan menopang dagu. Matanya tak berkedip memandang kaca dan tak sekali pun menoleh, tapi dia tahu, semuanya, kecuali mungkin Si Sopir, memikirkan hal yang sama. “Laika—malaikat Maut yang menjemputku, pernah berkata, terlalu sedikit warna dan suara yang dapat kita nikmati di Bumi. Setelah kita mati, mata kita diizinkan melihat sesuatu yang bahkan tak pernah dibayangkan siapa pun yang masih hidup di Bumi. Tapi, tetap saja mengesalkan, karena kita hanya bisa menikmatinya setahun sekali.”
“Sebentar lagi, Bos, setelah melewati lembah warna, kita akan melayang lebih tinggi—menyelam lebih dalam—atau apa pun sebutannya, aku malas berpikir. Mungkin butuh waktu lama—boleh jadi berjam-jam. Tapi karena kita berada di luar waktu, tidak ada sedetik pun yang jatuh,” kata Pak Sopir, tanpa menoleh. Matanya tajam memandang jendela.