Ketika mataku terbuka, malam sudah larut dan hanya menyisakan kelam. Aku memandang langit-langit kamar yang dipenuhi bintang, tidak membentuk konstelasi apa pun, kecuali satu yang menyerupai malaikat — tapi aku tidak tahu rasi malaikat ada atau tidak — aku seperti bermimpi dan hampir tak mengingat mimpiku, tapi aku yakin itu mimpi yang indah, dan melibatkan air, mungkin samudra, mungkin sungai di kedalaman hutan, barangkali bukan apa-apa, hanya air, seperti pada hari penciptaan, saat amerta masih mengisi seluruh jagat. Memimpikan air membuatku cemas. Aku memeriksa seprai, takut kalau-kalau basah—di usia segini, mengompol sudah habis lucunya—syukurlah kering sama sekali. Aku menajamkan telinga, berusaha mendengar sesuatu, tapi tak ada apa pun, tak ada sehelai pun suara yang jatuh, sunyi sekali, aku mengambil napas yang hampir putus dan bangkit menuju piano di sudut ruangan — piano yang sudah menemaniku sejak aku mulai mengingat. Mama selalu menaruh termos air di atasnya, bukan di meja samping lelapku, akulah yang memintanya. Jika tidak, aku pasti terlalu malas menggerakkan tubuhku dan, saat terjaga di pagi buta seperti ini, aku bakal ditelan pikiran negatif yang membuat umurku yang pendek jadi semakin pendek.
Sebenarnya, Mama sudah berkali-kali memintaku tidur di kamarnya, bersama Papa, bahkan sudah membelikanku kasur kecil yang diletakkannya di samping mereka, tapi karena aku tidak merasa butuh ditemani—dan aku bukan anak kecil lagi—dengan berat hati aku menolak. Aku tahu, Mama hanya mencemaskanku, terlebih lagi Mama memang pencemas ulung. Namun, entah kenapa, sejak dokter memvonisku dan memberitahu penyakitku—tidak secara langsung, tentu saja—aku disanggupkan memeluk kesendirianku—bahkan mulai pula merasa nyaman dengannya. Aku hanya berharap, pintu kamarku dibiarkan terbuka. Aku ingin mencium aroma masakan Mama di dapur dan mencoba memilah-milah aromanya. Aku lihai mengenal bau cabai dan jahe yang menyengat dan tajam — membuat hidungku gatal dan dadaku hangat. Juga telur mata sapi dan sandwich panggang yang biasa Mama buat untuk Papa pada pagi hari. Aku juga senang mendengar riuh rendah percakapan di ruang tamu dan membayangkan betapa membahagiakan jika aku bisa ikut serta.
Di teras, di sudut ranjangku yang menghadap jendela, ada sebuah teleskop—ukurannya cukup besar—yang Papa belikan dua tahun lalu. Dulu, aku sangat senang memandang langit melalui lensanya—terutama pada bintang Vega yang berkilau terang di langit utara. Aku berandai-andai. Siapa tahu di salah satu planet di antara bintang-bintang di keluasan jagat, ada yang mengarahkan teleskopnya ke Bumi. Kira-kira, apa, ya, yang dilihatnya? Perlukah aku melambaikan tangan? Tapi boleh jadi dia hanya menemukan titik biru pucat yang mengambang di angkasa kelam—sebagai noktah kecil yang tidak berarti—nirmakna. “Mana mungkin di sana ada kehidupan,” gumam anak alien sok tahu dengan nada superskeptis.
Aku mengambil gelas, dan menuangkan sedikit air.
Seraya duduk di bangku piano, aku memejamkan mataku dan membiarkan suara hujan memeluk telingaku. Aku menyukainya. Aku berharap renyai lembutnya mampu membersihkan benak dari segala pikiran buruk. Tapi ternyata tidak, jadi—sudahlah. Aku kembali membuka mata dan menekan-nekan tuts piano dengan asal. Tetap saja terangkai nada. First of May—yang entah bagaimana begitu padu dengan suara hujan di seberang jendela, membuat udara di ruangan jadi sedikit beraroma Natal, padahal yang aku mainkan bukan lagu Natal. Denting terhenti saat aku mendapati seorang gadis kecil berdiri di depan jendela teluk, mengetuk lembut kaca, tanpa suara. Dia mengenakan gaun hitam, mantila hitam, dan berambut hitam. Tapi tidak terlihat basah sekalipun hujan berguguran di sekitarnya. Matanya memandang tenang dan dalam. Bibirnya tersenyum sabar. Dia cantik sekali.
“Siapa?”
“Aku Laika. Kamu bisa melihatku?”
Aku mengangguk pelan.
“Apa kabar?”
“Masuklah. Di luar dingin.”
Aku membuka selot. Dia menggeser jendela dan memasuki ruangan. Permisi, katanya. Saat sudah telanjur, barulah aku menyadari betapa ceroboh mengizinkan seseorang yang tidak aku kenal memasuki kamarku, pada pagi buta. Aku heran karena tidak terkejut ketika melihanya melayang di udara. Lalu duduk tenang di kasur.
"Jadi, sekali lagi, apa kabar?"
“Aku baik-baik saja. Kata Mama, Papa, dan dokter, aku sekarat. Tentu saja tidak ada yang mengatakannya secara langsung di depan hidungku, aku hanya terlalu pandai menguping. Mata dan telingaku cukup tajam mendengar bisik-bisik putus asa dan rasa bersalah di belakangku, dan selalu berhasil membuatku tidak nyaman. Namun, selebihnya, aku baik-baik saja—setidaknya sudah tidak ada selang infus yang menujum di pergelangan tanganku dan hidungku sudah jarang mimisan.”
“Berarti kamu tidak sekarat. Hidup tetaplah hidup, apa pun kondisimu." Laika tersenyum.
Aku diam.
"Kau benar. Meski begitu, tetap saja—"
Laika mendekat padaku dan melingkarkan lengannya di kepalaku, aku bersandar dalam pelukannya. Ingin menangis, tapi mataku tak kunjung berair. Sebaliknya, aku merasa lega, aku takut tak ada apa pun setelah maut menjemput, dan aku benar-benar berhenti ada. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya tiada, dan kegelapan itu menghantuiku—membuatku tidak berdaya. Sebentar lagi aku mati, mungkin umurku tinggal seperminuman teh dalam perjalanan pulang sekolah.
“Maaf.”
Aku menunduk. Padahal dia tak perlu meminta maaf, tapi aku mengangguk, menerima permintaan maafnya, entah kenapa aku seperti layak menerimanya—mungkin egoku terlalu besar, mungkin aku memang perlu memaafkan. Dia seperti mewakili Tuhan—dan aku terkejut menyadari Yang Ilahi juga dapat menyesal sehingga perlu mengucapkan maaf, tapi tentu saja aku tidak yakin dengan apa yang aku pikir dan asumsikan. Aku hanya membalas pelukannya yang terasa menyembuhkan, bukan tubuh, melainkan jiwa.
“Beberapa hari sebelum Natal—dua bulan lalu, aku tiba-tiba ambruk dan dilarikan ke rumah sakit. Aku menerima perawatan di ruang UGD. Setelah melalui proses pemeriksaan, dokter mengatakan ada kanker ganas yang bersemayam di kepalaku, dan hidupku tak lama lagi. Aku baru sebelas tahun, dan sudah divonis mati.”
“Tapi manusia memang sudah ditakdirkan mati saat dia dilahirkan, bukan?”
Aku mengabaikan pertanyaannya. “Karena aku masih anak-anak, aku tak mungkin masuk neraka. Itu berita baiknya. Tapi aku tidak tahu apa yang bisa dilakukan Tuhan yang tega membuat anak sebelas tahun sakit parah. Dia tidak terlalu baik, bukan?” aku menunduk dan memainkan sisa rambutku yang masih ada.
“Benarkah?” makhluk itu terbang dan menghampiriku. Dia duduk di sampingku, tapi segara beranjak menuju jendela. Menyombongkan kemampuannya menembus dinding. Lalu buat apa tadi dia memintaku membuka selot setelah aku mengizinkannya masuk?
“Tidak salah lagi. Lagipula, kamu ini siapa?” aku memandangnya tajam.
“Tadi, aku sudah mengatakannya. Aku Laika.”
“Aku masih belum tahu siapa kamu. Kamu malaikat?”
“Dikirim Tuhan untukmu,” dia mendekat.
“Untuk mengambil nyawaku?”
“Sebenarnya, tidak,” dia menjauh lagi. “Melainkan menyembuhkanmu.”
“Dari apa?”
“Kehidupan.”
“Nah, akhirnya aku mengerti. Meski sedikit. Jadi, ternyata Tuhan benar-benar ada, ya?”
“Jika Dia tidak ada, aku tak mungkin ada, bukan?”
“Kamu bisa saja khayalanku. Bukan sekali-kalinya aku berkhayal. Tak ada bukti kamu benar-benar nyata, bukan produk imajinasiku semata. Kepalaku lumayan pandai mengarang cerita.”
“Sekalipun semua ini hanya terjadi dalam kepalamu, kenapa pula itu harus berarti tidak nyata?”
“Oke, Dumbledore.”
Dia menopang dagu dengan jarinya seolah berpikir. “Tunggu sebentar,” dia menatap mataku dan menghilang—lebih tepatnya memudar, bukan seperti api dipadamkan tiup, melainkan apa yang terjadi setelahnya. Pertama-tama, tubuhnya berubah jadi tembus pandang, dan aku dapat melihat pemandangan di belakangnya, lalu kakinya mengabut, bagai dihapus begitu saja, kemudian badannya, disusul tangan, kepala, telinga, dan, terakhir, mata. Ruangan menjadi senyap seketika. Dan aku menunggunya seraya menendang-nendang udara. Sebelum sempat bertanya-tanya, dia sudah kembali.
“Bagaimana dengan ini? Mungkin dengannya aku bisa membuktikan keberadaanku.”
“Tapi apa?”
“Kamu bisa melihatnya,” dia meletakkan suatu benda di tanganku. Aku menatapnya takjub.
“Ah, ini bintang pohon Natal di ruang tamu. Bagaimana bisa ada di kamu?”
“Aku mengambilnya,” dia meringis.
“Malaikat, kok, mencuri!”
“Coba lihat baik-baik. Ini bintang yang hilang dua tahun lalu. Aku menemukannya di kebun belakang, terpendam di antara semak bunga liar. Kamu mencari-carinya, bukan?”
Aku terkejut. “Jadi, yang dipasang di pohon bintang baru, ya? Papa tak pernah memberitahuku. Aku pikir dia sudah menemukannya.”
“Kamu mau aku membuktikannya? Aku bisa mengembanmu.”
“Sungguh?”
Laika menghampiriku. Meski tubuhnya mungil—bahkan lebih mungil dariku, napasnya tak terengah-engah saat mengangkatku, seolah-olah tubuhku tidak memiliki beban. Begitu mudah dengan dua tangannya dia membopongku. Aku mendekatkan jariku di hidungnya dan berusaha merasakan napasnya, tapi tidak menemukan apa pun. Dia menatapku dan tersenyum, matanya bertanya-tanya seolah penasaran dengan apa yang aku lakukan. Setelah melewati pintu kamar, dia berjalan menuruni undakan, selangkah demi selangkah, dan melayang di sepanjang lorong. Aku bisa melihat cahaya redup di ujungnya.
Tak butuh waktu lama, kami sampai di ruang tamu dan berhenti di depan pohon Natal. Dia memintaku menyentuh puncaknya. Tapi aku tidak langsung melakukannya. Dengan tangan gemetar, aku meraba-raba daun-daun cemara yang berujung tajam, tapi tidak melukai, dan menikmati sensasinya. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menyentuhnya, padahal baru tiga bulan lalu kami merayakan Natal.
“Lihat. Benar, kan, kataku?” Laika tersenyum.
Aku membalas senyumnya dan melingkarkan lenganku—memeluknya erat, tanpa mampu berkata-kata lagi. “Boleh aku tiduran di sofa itu?”
“Tentu saja.”
Dengan lembut, dia membaringkanku, tepat di posisi kepalaku biasanya bersandar. Dia membenarkan gaun hitamnya dan duduk di sampingku. Hujan masih terdengar di luar, meski suaranya tidak sejelas di kamarku. Aku berbaring miring dan menatap Laika yang menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Dia diam tanpa bicara dan aku jadi sedikit kesepian, tidak biasanya dia bergeming. Aku tertawa dalam hati. Padahal baru setengah jam kami bertemu tapi aku seperti sudah begitu mengenalnya.
“Aku senang Papa belum membereskan pohon Natal, meski sekarang sudah bulan Februari.”
“Kalau kamu mau, aku bisa menyalakan lampu-lampunya,” Laika berpaling padaku. “Sejak tadi aku begitu ingin melakukannya.”
Aku memandangnya penuh harap dan mengangguk lemah. Aku heran kenapa dia harus bertanya. Hanya sedetik sejak dia mendapatkan izinku, cahaya sarat warna memenuhi ruangan yang tadinya gelap. Dia bahkan tidak perlu mengangkat satu jari pun. Lampu-lampu hias yang menjalar di dinding terlebih dahulu menyala dan mengedipkan sinarnya yang berkelap-kelip dalam pusparona—hijau, merah, kuning, biru, dan ungu. Lampu hias pada pohon Natal berpijar kemudian. Dan akhirnya, bintang baru di pucuk cemara, menyala dengan pendarnya yang keemasan. Semuanya, jauh lebih indah dari yang kuingat. Aku ingin memintanya menjelaskan—bagaimana caranya melakukannya?—tapi terlalu takjub dan hanya berkata lirih. “Indah, ya?”
Meski tak ada lagu-lagu Natal yang mengudara, karena kami takut penghuni rumah terbangun, aku cukup membayangkannya dalam hatiku. Senandung Malam Kudus, Natal Putih, O Mari Berhimpun.
Aku tahu mataku berbinar. Pipiku hangat oleh air mata.
“Selamat Natal, Adistya.”
“Tapi sekarang Feb—maaf—selamat Natal, Malaikatku.”
Dia berbaring di sampingku, matanya bersitatap dengan mataku, tapi badannya melayang di udara. Sofa ini terlalu sempit untuk ditiduri dua anak kecil. Dengan pelan, nyaris tanpa suara, dia melantunkan sebuah lagu yang mengisi masa kecilku—lagu yang senantiasa Papa putar menghiasi momen-momen sarapan di pagi hari. Dengan suaranya yang lembut dalam bisik sunyi, suasananya jadi seperti lullaby. Dan aku dapat mengingat hari-hariku di dunia. Meski singkat, ternyata sangat berarti.
waktu aku kecil, pohon-pohon natal terasa begitu besar
kita belajar menyayangi, kita belajar berbagi
usah mengapa, tapi memang waktu terus berputar
dari jauh selalu ada seorang yang datang dan pergi
sekarang kita sudah besar,
pohon-pohon natal tak lagi terasa tinggi
kita tak lagi menghitung waktu yang berlalu
hanya tahu antara kau dan aku
cinta tak akan mati
meski terisak tibanya hari pertama bulan Februari—
(“Bulan Mei,” kataku, “lirik aslinya bulan Mei.”)
(Laika hanya tertawa dan melanjutkan bait sisanya.)
sebatang apel tumbuh untuk engkau dan aku
kupandangi buahnya jatuh satu per satu
memutar kembali setiap momen penuh kenangan
saat di pipimu kujatuhkan satu kecupan