Orang-orang yang percaya bahwa ia bisa menemukan penjelasan di balik keajaiban, mungkin tidak percaya “keajaiban” itu ada sama sekali.
— Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dalam buku Semua Ikan di Langit
Jendela masih membentangkan kelam ketika kereta meluncur lamban dengan suaranya yang berdogleg-dogleg. Kepalaku berayun lembut seiring geraknya. Ombak menghantam rel dan menyentuh badan loko. Sosok-sosok tembus pandang berdiri di ujung koridor dengan rokok transparan terselip di sela-sela bibir. Apakah asapnya membayang jua? Tapi tak tercium bau lain kecuali bau garam. Dengan geming, tanpa sepatah pun kata, mereka merenung memandang jendela. Beberapa duduk di seberangku—membaca koran yang huruf-hurufnya berguguran bagai gerimis kecil-kecil pada pukul tiga pagi.
Saat aku masih hidup, bukan sesekali saja aku menyaksikan hujan menebal di jendela pada jam-jam rawan. Bukan suaranya membuatku terjaga, melainkan jam biologisku memang tidak teratur semenjak daya tubuhku dilemahkan entah oleh apa. Ada kalanya aku menemukan ibu, ayah, dan kakak, atau salah satu dari mereka, lelap di sofa dan menemaniku, tapi aku selalu merasa sendiri di kamar inap rumah sakit. Aku sering terlelap saat yang lain terbangun, dan terbangun di jam-jam aku seharusnya dikuasai mimpi. Terkadang, aku merasakan tangan kakak menangkup tanganku, dan aku balas menangkup tangannya dengan tanganku yang satu lagi—tentu seraya menahan ngilu karena jarum infus yang sensitif membuat pergelanganku sedikit nyeri ketika digerakkan. Terima kasih, bisikku, lalu merenungi suara hujan. Tidak jarang, gerimis yang mengembun di kaca membuatku sedikit terhibur. Namun, tak ada satu pun yang mampu mengalahkan hangat tangan kakakku. Aku tak pernah berhenti merindukannya.
Aku kembali duduk di bangku kereta.
Secara berkala, kalimat-kalimat yang berderet di koran manusia-manusia transparan, berjatuhan dan menghilang di dasar lantai, mungkin menjelma ikan-ikan di laut kekal, mungkin menumpuk jadi gundukan gunung di dasar palung. Di bekas kalimat-kalimat lama semula berada, bermunculanlah kalimat-kalimat baru yang menyusun dirinya sendiri. Praktis sekali. Tapi aku tidak berani memperhatikan lebih lama, apalagi bertanya. Aku mengalihkan pandang dan mengganti posisi duduk.
Kelebat pemandangan berubah-ubah di jendela dan memperlihatkan malam yang bagus. Deretan rumah yang nyala lampunya hampir putus berganti dengan barisan bus di terminal. Aku tidak menemukan daratan. Rumah-rumah, stasiun-stasiun, terminal-terminal, tiang lampu, pasar, pusat perbelanjaan, lampu merah, marka jalan, menyembul begitu saja di sana-sini. Di belakang maupun di depannya tak ada jalan raya. Hanya air beriak pelan, lembut menyapu seluruh panorama. Meski begitu, kegiatan sehari-hari berlangsung seperti biasa. Para ayah dan ibu, kakek dan nenek—tentu dengan menggandeng cucu, anak-anak dan muda-mudi berjalan dan berlarian di antara ombak. Malam tak kunjung berakhir meski sudah begitu lama aku duduk di bangku ini, tanpa sekali pun berpindah tempat. Manusia-manusia transparan yang berjalan dengan langkah-langkah kecil, dan begitu lamban dari satu gerbong ke gerbong lain, tidak terlalu memedulikanku. Aku bagai fatamorgana. Hanya sesekali mataku bersitatap dengan beberapa di antaranya dan aku terkejut mata itu ternyata tidak membayang. Bentuknya menyerupai mata biasa, tapi dipenuhi kesedihan—atau penyesalan?
Penantian, katamu. Mereka jiwa-jiwa yang tidak pernah sampai.
Berangsur-angsur, aku tak lagi peduli sudah berapa lama aku duduk dan termangu menatap jendela. Jika sepi menguasaiku, aku menemuimu di relung pejam. Kau selalu ada di sana, tersenyum. Seolah menantikan aku. Meskipun, saat mataku terbuka, aku kembali sendiri. Tak ada yang benar-benar duduk di sampingku. Tak ada Maut yang konon menuntun jiwa-jiwa menyeberang. Sejak mula, aku hanya ditemani olehmu—dan kau jelas bukan Maut. Kau tidak ada di mana pun saat aku membuka mata. Tapi aku dapat menjumpaimu dalam gelapnya pejam. Sebenarnya, kau siapa? Ada di mana? Di sini, jawabmu, menunjuk dadaku, selalu penuh misteri, tapi aku sudah terbiasa. Tentu, aku tak pernah memaksudkan tanya. Hatiku bicara sendiri tanpa aku sadari. Lagipula, siapa mampu menahan hati bicara? Aku sebenarnya risih jika ada yang mendengar batinku. Tapi aku selalu gelisah bila kau mendadak senyap.
Beberapa jenak lalu, meski aku yakin sudah berlalu cukup lama, saat aku mengembuskan napas penghabisan, kaulah yang datang menjemputku. Aku menemukanmu, lagi-lagi, dalam pejam—begitu cerah di antara kelam. Kau mengajakku berangkat, entah ke mana, tapi aku tahu harus beranjak. Ayo, Aurel, bergegaslah, katamu. Aku mengangguk dan bangkit. Setelah berdiri dan memandang ranjangku biasa berbaring, aku melihat tubuhku masih lelap di sana dan aku tidak terkejut. Di sampingnya, kakak terlelap di kursi. Jika dia menempelkan jari di hidungku, tak lagi dia rasakan napas hangat yang berembus. Tubuhku tetap diam sekalipun waktu bergerak, menghabiskan sisa keabadian dalam kesunyian yang paling dalam. Selamanya. Dan esok, telinga itu, yang tak lagi dapat mendengar, akan dipenuhi suara tangis. Aku menyentuh dadaku dan menahan getir. Tetap saja ada yang menyelinap dalam senyap—penyesalan, kesedihan, dan mungkin rasa kalah. Tapi aku harus terus berjalan. Sudah waktunya aku pergi. Di sini bukan rumahku lagi. Tanganmu terulur dan senyummu merekah—aku meraihnya tanpa banyak melawan. Aku hanya tahu kaulah pemimpinnya.
Selamat tinggal, aku berbisik. Tubuhku yang telah mati tak membalasnya.
Setelah itu, kita hanya berjalan dan terus berjalan. Aku sekadar mengayun langkah di sebelahmu, tanpa tahu apa-apa. Mungkin kau tahu di mana kelak setapak ini berujung, tapi kau tetap diam. Tak jua membuncahkan kata. Hanya suara tapak kita yang terdengar, begitu seiring, begitu geming. Namun, karena tak ada suara lain, setiap gerak jadi senyaring denting. Aku masih menggenggam tanganmu, hangat, dan dapat merasakan telapak tanganku berkeringat. Tapi aku takut melepaskanmu. Aku takut saat jari-jari kita berhenti bertaut, kau menghilang dan aku tersesat di kegelapan tanpa ujung—di jalan yang tak menjanjikan sampai. Di sekitarku tak ada warna lain kecuali hitam.
Hitam bukan warna.
Di bawah kakiku, membentang setapak yang tak kunjung berakhir. Cahaya sepanjang uluran tangan belaka, tapi selalu ada. Selebihnya, kelam. Kau dan aku melangkah tanpa siapa pun lagi, dua sebatang kara. Aku menengadah, tapi tak ada apa pun. Benarkah ada langit di atas sana? Atau inikah Ujung Dunia? Di telingaku, kesunyian menghadirkan suara yang begitu lembut. Di kejauhan itu, samar-samar aku menangkap gema bergelombang layaknya ombak di pantai musim panas.
Akhirnya, sampailah kita di ujung setapak. Aku melihat bangunan menyerupai stasiun yang sudah sangat tua—ataukah dermaga? Bintang-bintang mulai terlihat. Sepertinya menyimpan bau hujan. Tapi bukan, karena kelak aku menyadarinya sebagai bau laut. Bukalah matamu, katamu. Aku memandangmu, bukankah sedari tadi mataku terbuka? Bukalah, kau memaksa. Dan, lagi-lagi, entah bagaimana aku memahami maksudmu. Aku membuka mata perlahan, dan kau menghilang. Tapi stasiun tetap ada. Aku mencarimu, dan tak kunjung menemukanmu. Jangan takut, aku ada di hatimu dan kau ada di hatiku. Sebuah suara menggema—atau menggaung—aku tak tahu mana yang benar. Gema berasal dari luar, gaung bermuara di dalam. Tapi suara yang sampai di telingaku, jauh sekaligus dekat, tak tersentuh tapi mendekap.
Saudaraku, belahan jiwaku, bahkan saat aku masih hidup. Jauh sebelum aku menghabiskan hari-hariku dengan berbaring di ranjang rumah sakit, dengan selang-selang menujum di pergelangan tanganku, kaulah temanku satu-satunya. Dalam pejam abadiku, kau semakin nyata. Tapi aku masih belum tahu siapa kamu. Di hadapanmu kata-kata seolah beku, lidah menafik bicara. Ketika pada akhirnya aku beranikan diri bertanya, kau memberikanku sepatah jawab. Aku Jiwa, katamu. Ari-arimu. Tapi kenapa kau menyerupai aku? Aku seperti berdiri di hadapan cermin saat memandangmu. Rambut panjangmu serupa dengan rambutku. Mata cokelatmu serupa dengan mataku. Kau berbicara dengan suaraku dan aku berbicara dengan suaramu. Saat aku mengangkat tangan kananku, tangan kirimu ikut terangkat. Saat kau berpikir, aku menuai pengertian. Saat kau merasa, aku memeluk pemahaman. Dan saat kau memejamkan mata, akulah yang terlelap¹. Kita begitu dekat, tak terpisahkan. Di mana kau ada, aku tak pernah jauh. Bagai cahaya menyimpan seluruh warna, kau menjadi mata bagiku melihat. Bagai sunyi merahasiakan seluruh suara, kau telinga bagiku mendengar. Tak ada yang dapat melihatmu, kecuali aku. Tak ada yang dapat mendengarmu, kecuali aku.
Pada suatu pagi, di suatu ranah yang konon disebut “surga”, ketika kau menemuiku di kebun bunga yang aku warisi dan rawat sepenuh hati, aku melihatmu menapak dengan dua kaki. Melangkah melewati semak kecil. Kau berada di hadapanku saat aku membuka mata. Dan aku terkejut saat kau, bayanganku, kembaranku, berkedip. Sungguh aneh, bukan? Sekali lagi aku bertanya, siapa kau? Dan kau memberi jawaban yang sama. Aku adalah kau. Aku jiwa yang hidup di dalammu. Dan kau roh yang mengendap di dalamku. Kau lagu yang disenandungkan sunyi, dan aku sunyi yang menyembunyikan suaramu. Aku tidak mengerti. Kau tak perlu mengerti.
Semenjak aku bertemu denganmu, aku selalu merasa, bukan di sinilah tempatku. Bukan. Ketika aku berlayar di laut kekal, aku berharap sampai di suatu ranah yang aku rindukan sepenuh hati. Tapi ternyata tidak juga. Lantas di manakah? Kau hanya menjawab, belum waktunya.
Aku tak menyadari kapan perubahannya, tapi semakin lama cara bicaraku semakin menyerupaimu. Aku diselubungi misteri yang dulu menyelubungimu—dan karenanya, aku mulai memahamimu. Pada suatu sore, ketika aku menyampaikan pada teman-temanku, bahwa sebentar lagi aku harus pergi, aku hanya menjawab, “tidak ke mana-mana,” ketika ada yang menanyakan “ke mana?” Dan semuanya mengerti—kecuali, mungkin, Arunika, yang belum pernah melihat peristiwa “keberangkatan”, meskipun sesungguhnya kerap terjadi di surga.
*
Ketika bus melaju di perbatasan kota, Aurel tak dapat lagi menahan kantuknya. Dia tertidur dan kepalanya jatuh bersandar di bahu Maheswari.
Lain dengan saat berangkat, pemandangan di jendela tidak jauh berbeda dengan yang biasa dilihat para malaikat. Sawah, ladang, perkebunan teh, rumah-rumah dan gubuk yang senantiasa membubungkan aroma kayu bakar, pun kunang-kunang, datang dan pergi silih berganti. Bapak berusia baya duduk di belakang kemudi. Dia tak banyak bicara, tetapi sesekali menyenandungkan sebuah lagu dengan gumam tipis. Langit remang dibasuh rembulan, bus melaju tenang menebas senyap. Anak-anak duduk diam di kursinya masing-masing, sisanya melamunkan panorama dan membaca buku.