Kesempatan Kedua

Rafael Yanuar
Chapter #15

Sayap-Sayap Kelabu (2)

Asrama sudah hening ketika Ara berjalan memasuki ruangan. Tukang Permen mengikuti di sampingnya. Ketika sampai di hadapan sebuah pintu, dia membuka selotnya perlahan.

Kamar Ara terletak di lantai satu, dan jendelanya tepat menghadap halaman. Meski pemandangan di luar hanya disinari satu lampu, wadah lampunya pun sudah pudar terhisap cuaca, tak sekali pun dia kekurangan cahaya, sebab rembulan, apalagi di malam purnama seperti sekarang, memancar terang membasuh rerumputan. Namun, mega kelabu segera menutupi langit dengan mendung. Beberapa hari belakangan, seperti penuturan Kurir Cuaca, musim hujan memang telah kembali. Langit yang semula cerah, sering pula mendadak sejuk dan membuncahkan gerimis.

Ara mengambil tas biola di sudut ruangan dan membuka resletingnya. Biasanya, dia membiarkan sedikit sela pada jendela. Dulu, dia bermain dengan suara samar saja, tapi teman-temanya justru ingin mendengarnya. Siapa sangka, alih-alih mengganggu istirahat, nyanyiannya malah membuat tidur bertambah lena. Jadi, jangan sungkan-sungkan, ujar Sarah disusul anggukan setuju penghuni lain. Ara pun tersenyum dengan malu-malu. Tapi sekarang dia membiarkan jendela tetap terkatup karena takut udara mendadak menganginkan gerimis. Hanya tirainya yang dia biarkan tersibak. Di balik kaca, halimun mulai bergelung, memburamkan pandangan, mengembunkan dingin.

Tukang Permen pernah mendengarkan biola Ara ketika berjalan-jalan mencari angin di malam-malam dia tak dapat terlelap. Di udara, bercampur dengan senandung malam dan rimbun kabut, sebuah lagu memeluk senyap. Dia tertegun sejenak dan memejamkan matanya, berusaha menangkap nada-nada bersayap dengan telinganya. Tapi berhenti membuat badannya bertambah gigil. Dengan terpaksa, dia memasukkan tangannya di saku dan melanjutkan perjalanan. Jarak rumahnya di sempadan hutan dan Bintang Utara memang tidak jauh. Dia cukup sering melewatinya.

“Jadi, kakak mau mendengarkan lagu apa?”

Tentu Tukang Permen ingin menjawabnya dengan lagu yang didengarkannya dahulu, tapi karena tidak tahu judunya, dan dia lupa seperti apa nadanya, dia hanya mengangkat bahu. “Kejutkan aku,” katanya. “Tapi maaf kalau aku langsung terlelap, aku sudah sangat mengantuk.” Tukang Permen tidak tahan melihat kasur lipat dan bantal yang Ara sediakan baginya. Matanya semakin berat seolah sarat berton-ton beban. Apalagi sayat biola Ara begitu padu memeluk gerimis yang mulai merenjis di jendela. Sebenarnya, Ara hanya memainkan lagu tidur Brahm, mi – mi – so, mi – mi – so. Dia selalu menyanyikannya ketika malam masih setengah larut, seolah hendak membuai anak-anak dalam kepalanya yang berlompatan tak mau diam.

Baru bait pertama Ara senandungkan ketika perempuan di hadapannya memejamkan mata dan terlelap di balik bantalnya. Lelah tergurat di wajahnya, tapi napasnya tenang. Dia pun memelankan dawai biolanya dan menaruhnya kembali dalam wadah. Dia memandang jendela yang sudah dirimbunkan hujan.

Setelah melepaskan kacamatanya, Ara menutup tirainya perlahan dan menyalakan lampu kecil di sudut meja. Dia membuka buku harian, berencana mencatat pengalamannya dalam berbaris-baris kata. Namun, tangannya justru menyibak halaman-halaman diary dan mengenang hari-hari lalu.

 

*

 

Di surga, Ara menghabiskan hari-harinya, kecuali di akhir pekan, dengan bekerja di perpustakaan. Dia berangkat sebelum pukul enam dengan menumpang bus di halte. Setelah satu jam perjalanan—melintasi daerah perdesaan yang rindang bermandi cahaya pagi—dia turun di terminal.

Setelah mengambil sepeda yang dititipkannya di salah satu rumah penduduk, dia mengayuhnya beberapa jenak sebelum sampai di bangunan tiga lantai di sudut selatan kota. Aroma buku tua langsung meruap saat dia membuka pintu. Seraya menunggu jam buka, dia menyapu dan membersihkan ruangan dan memilih satu judul di antara deretan rak pustaka. Dia sangat gemar membaca, dan tak pernah lupa menyelipkan sebuah buku dalam pangkuannya saat berjaga di balik meja. Dia memilih kumpulan cerita karena dapat dinikmati di sela-sela jam sepi, tanpa harus mengingat-ingat alurnya. Ketika suasana santai, dia membuka lembarannya dan berharap dapat menghabiskan setidaknya tiga cerita sebelum ada pengunjung yang datang. Ada beberapa petugas lain yang juga bekerja bersamanya.

Dia sempat bertanya, bagaimana buku-buku di perpustakaan bisa sampai di surga. Selalu ada kiriman rutin minimal satu kali seminggu. Jika beberapa kotak sampai, dia harus menyenarainya lagi dan memperbaiki kerusakannya. Jelas bukan buku-buku baru, dan kondisinya bisa jadi sangat parah dan payah. Tapi Ara tak pernah rela membuangnya. Dia berusaha memperbaikinya. Dengan telaten, dia mengelem kertas-kertas yang tertoreh, mengganti sampulnya dengan yang baru—meski terkadang hanya melapisinya dengan karton. Dengan sabar, dia membersihkan debu-debu membandel, dan menyusun kembali halaman-halaman yang tercecer. Setelah selesai, dia menyusunnya berdasarkan klasifikasi. Dan begitulah. Akhirnya, perpustakaan Ara menciptakan panorama yang sedikit berbeda dengan perpustakaan mana pun di dunia—ruangan bersih dan rapi dengan rak-rak penuh buku hasil reparasi. Tapi tak pernah sekali pun kekurangan pembaca.

“Di surga, ada Kurir Barang Bekas. Tugasnya membeli benda-benda yang sudah tidak terpakai di Bumi, tapi masih layak pakai jika diperbaiki—seperti buku-buku tua yang terlupakan di sudut gudang, alat-alat elektronik yang berdebu, juga segala macam benda yang sekarang digunakan para malaikat. Entah bagaimana, tak ada satu malaikat pun yang berkeberatan,” ujar sahabat Ara di perpustakaan.

Lihat selengkapnya