Waktu bergulir lamban pada hari-hari yang bersahaja di sempadan hutan yang tenang. Irama jarum jam yang gugur teratur di antara rindang cuaca mengiringi setiap langkah yang tertoreh. Di surga yang suasananya mungkin tiada jauh berbeda dengan suasana rimbun di perdesaan biasa, tidak banyak lagi yang bisa aku catat. Segala sesuatunya berjalan sebagaimana adanya. Arunika, gadis kecil berusia lima tahun, yang beberapa bulan lalu menjadi penghuni tetap Bintang Utara, sudah mulai terbiasa dengan keseharian di sana. Dia berteman akrab dengan Luna dan Aya yang secara usia tidak jauh berbeda dengannya. Dia juga mulai banyak berkata-kata setelah sebelumnya begitu sering diam. Semula aku ingin menceritakan lebih banyak tentangnya. Siapa sangka aku tak mampu mengabaikan malaikat-malaikat lain yang kini sudah dianggapnya keluarga sendiri.
Pagi belum terlalu tinggi, matahari masih bersembunyi di tubir bukit, ketika Arunika bermain di kebun belakang dan menemukan Aurel duduk di hadapan tanaman-tanaman alstroemeria-nya. Hanya sepetak kecil, dan hanya ditumbuhi satu jenis tanaman, tapi begitu indah—kelopaknya yang putih dan dihiasi sedikit corak merah muda tumbuh segar bagaikan dirawat pagi dengan tangannya sendiri.
“Selamat pagi, Aru.”
“Selamat pagi, Kak Aurel.”
Di antara rimbun subuh, masih terdengar sisa-sisa nyanyian katak dan cahaya kunang-kunang di persawahan. Beberapa kilaunya mendekat dan menjelma bayang-bayang kehijauan di telapak tangan.
Usia kunang-kunang begitu singkat, setelah hampir setahun mendekam dalam tanah, hanya tujuh hari dia dapat menghirup udara bebas, tapi setelah masa hidupnya berakhir, jarang sekali jasadnya ditemukan. Mungkin kunang-kunang menyediakan liang di suatu tempat entah di mana sebagai ranah istirah.
Tapi kenapa masih ada kematian di surga?
“Pejamkan matamu, Aru,” ujar Aurel. “Surga kita mungkin sederhana, bahkan tak jauh beda dengan Bumi. Tak ada lantai berlapis emas, apalagi bangunan-bangunan sewarna mutiara, juga suatu daya yang mampu mengabulkan segala. Tapi di sini ada nyanyian katak,” gadis itu tersenyum.
Aru hanya terdiam mendengar kata-kata Aurel. Adakah yang istimewa dengan nyanyian katak—yang terkadang membuatku tak dapat tidur? Jawaban yang diberikan Aurel lumayan panjang dan Arunika bersusah payah merangkainya ulang dalam buku harian. Mungkin kata-kata berikut terkesan kaku. Mungkin tidak semuanya perkataan Aurel. Tapi beginilah yang kelak dicatat Arunika.
Ketika aku kecil, Kak Aurel berkata,
Meski semasa hidup di dunia, aku pernah tinggal di desa yang masih asri, dengan hutan bambu mengelilingi setiap sudutnya, aku sangat jarang mendengar suara katak. Dan aku begitu terkejut ketika pertama kali mendengarnya sesampainya di surga. Ada sesuatu menyerupai nostalgia di dalam suaranya. Aku bertanya pada Kak Adistya dan dia menjawab, dengan cara bicaranya yang khas. “Para amfibi," katanya, “termasuk katak dan kodok yang setiap malam kamu nikmati nyanyiannya, sebenarnya sudah hampir seluruhnya punah di dunia sana, dan mungkin tak terdengar lagi ruaknya, kecuali di tempat-tempat tertentu. Lingkungan yang dipadati manusia dan kerusakan yang disebabkannya menjadi salah satu pemicunya, tapi bukan satu-satunya. Di tempat-tempat yang relatif tak terganggu, katak menghilang¹,” Tapi lihatlah, di sini ada begitu banyak katak. Hampir setiap malam kita mendengar suaranya—sampai-sampai terasa aneh jika tidak mendengarnya.
Aru, banyak sekali cerita yang ingin aku sampaikan, tapi lebih baik kamu mengalaminya sendiri. Apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan di surga, barangkali sederhana, tapi tak ternilai harganya—karena hanya dapat kita temukan di sini, sayangnya.
Surga bukan tiruan Bumi—apalagi tiruan pucat. Melainkan sesuatu yang sebenarnya manusia rindukan.
Semula, Aru tidak begitu mengerti dengan apa yang disampaikan kakaknya, tapi dia menaati perintahnya. Dia memejamkan mata dan menajamkan telinga, mencoba mendengar suara katak—atau kodok?—yang bergema menyelimuti suasana pagi. Sisa-sisa koor yang masih bersemangat bernyanyi sebelum disembunyikan hari. Pada akhirnya, dia tak hanya menangkap satu jenis suara, dia juga mendengar rayuan angin, derik jangkrik, senandung ritmis tonggeret, gemerisik daun-daun, dan segala sesuatu yang mengingatkanmu pada sunyi—begitu padu, seolah alam sendirilah pelantunnya. Suara-suara yang tak ternilai harganya. Saat dia membuka mata, dia melihat Aurel masih duduk memeluk lutut, matanya terpejam, bibirnya tersenyum. Sayap putihnya yang besar melambai turun.
“Kakak lebih cocok menyandang nama ‘Arunika’,” Arunika duduk di sampingnya.
Aurel membuka matanya dan memandang gadis kecil itu dengan tatapan bertanya-tanya, tapi senyum masih merekah di bibirnya, seolah memang tak pernah akan layu.
“Kakak benar-benar menyerupai pagi—dan puisi."
Aurel tertegun.