Karena tak lagi banyak yang dapat aku ceritakan padamu, aku tuliskan saja kegiatan para malaikat di Bintang Utara, di hari Sabtu yang cerah, dalam beberapa fragmen kecil.
—Satu
Pagi masih bermandi embun ketika Luna memandang dunia yang seolah tembus pandang, dengan matanya yang telaga.
Seperti sungai berair jernih, aku seperti bisa melihat dasarnya. Ada kalanya, begitulah yang terjadi saat dia menghayati setiap detik yang jatuh tanpa suara.
Seperti kesadaran yang menyapa begitu saja, ketika kita mengerjakan sesuatu sedikit demi sedikit—menyusun patahan kecil dengan patahan yang lebih kecil—membentuk yang rumpang kembali utuh.
Begitulah pagi membentuk dunia, di mata Luna.
Berarti, begitu jualah Luna.
Matahari bersinar terik dan menciptakan bayang-bayang rimbun di sepanjang jalan. Genangan sisa hujan masih menghias setiap jengkal tanah. Aroma dedaunan terbawa angin, enak sekali baunya. Dia duduk di beranda, menajamkan pendengarannya, dan menyimak segala yang mampu ditangkap telinganya. Hening mengendap di setiap desir angin. Desau mengalir lembut dalam pelukan udara pagi. Damai memeluk hatinya.
Ketika pertama kali merasakan hangat matahari menyentuh telapak tangan, Luna begitu bahagia, sebab sangat jarang dia merasakannya semasa hidup di dunia sana. Bahkan setelah tahun-tahun yang dia habiskan di surga, tak kunjung selesai rasa takjubnya. Tak jenuh menghayatinya. Dia menyukai sengatan lembut pagi yang menyelubungi pergelangannya dan menyentuh pipinya.
Semula dia mengira hangat mataharilah yang membelai rambutnya, sebab sensasinya mirip, tapi ketika membuka mata, ternyata bukan. Dia menemukan Sarah sudah duduk di sampingnya. Luna langsung masuk dalam pelukannya. Dan merasakan segala sesuatunya bahkan menjadi lebih baik. Ad meliora¹.
—Dua
Luna belum pernah mengunjungi Negeri Senja² dan dia begitu ingin melihatnya. Dia sedikit menyesal karena beberapa Minggu lalu menolak ajakan teman-temannya. Tapi, apa boleh buat, kantuk masih membayang di matanya ketika Aya membangunkannya di pagi buta. Dia ingin tidur sedikit lebih lama.
Tentu, di kemudian hari, Aya kerap mengajaknya lagi, menyusuri jalan yang dia yakini, seharusnya berujung pada Negeri Senja. Namun, berapa kali pun menitinya, dia tak jua menemukannya. Dinding raksasa yang dulu menjulang setinggi pepohonan, dengan panjang yang seolah tiada ujung-pangkalnya, lenyap tanpa sisa, bagai tak pernah ada. Alih-alih, Aya justru menemukan bukit hijau dipenuhi aneka bunga, bukan taman bermain tua yang sudah tidak beroperasi lagi—dengan langitnya yang kekal dalam remang jingga.
Aya sangat menyukai destinasi baru yang ditemukannya, tapi tetap saja, bukan itu yang sebenarnya dicarinya. Dia sempat bertanya pada kakaknya, Ara. Menurut penduduk sekitar, ujar Ara, Negeri Senja hanya muncul saat perayaan. Para kucing sajalah yang tahu jalannya.
Sekarang, pagi telah beranjak menjadi siang ketika Aya, Arunika, dan Luna, sekali lagi, mencoba mengikuti Sioren—dan berharap dia berkenan menunjukkan jalan rahasia menuju negeri ajaib tersebut. Siapa tahu ada kelokan yang terlewat, atau mungkin jalannya salah sejak semula.
Namun, setelah melewati barisan pepohonan, dalam rindang dedaunan nan teduh, memanjati dahan dan ranting-ranting, keluar dan masuk gubuk tak berpenghuni, bukan Negeri Senja-lah yang mereka capai, melainkan sebuah stasiun tua yang sudah tak beroperasi lagi. Lantainya sudah ditumbuhi lumut dan berbau hutan. Tumbuhan menjalar merambat di dindingnya. Genangan sisa hujan membashi tehelnya. Arunika menengadah memandang langit-langit. Bubungan atapnya terbuka lebar dan dia dapat memandang mega-mega berarak di baliknya. Burung-burung bertengger di bekas reruntuhan kasau dan plafon. Kicaunya menggaung di sepenjuru ruangan.
Aya mengajak Luna dan Arunika berkelana di sisi lain stasiun dan tertegun saat menemukan, di salah satu rel, ada gerbong kereta api yang sudah tak terpakai, berdiam begitu saja seolah sudah ada di sana sejak bermulanya waktu. Di dalamnya, kucing-kucing pusparona duduk dan bermain dengan cahaya yang turun menembus dedaunan hijau.
Semula, aku mengira tiga sekawan itu akan mendesah lesu karena gagal menemukan Negeri Senja, tapi aku terkejut ketika melihat wajah-wajah yang dipenuhi rekah tawa—bersemangat karena berhasil menemukan ‘tempat persembunyian’ baru. Aku lupa, ada terlalu banyak hal yang bisa dilakukan di surga—dan kecewa bukan salah satunya.
Di samping gerbong, ada pohon besar yang dahan-dahannya menjulur menaungi seluruh badan wagon. Mungkin, jika ada sepuluh malaikat dewasa merentangkan tangan mengelilingi pokok kayunya, tidaklah cukup seluruhnya terpeluk. Meski begitu, pucuknya tidak terlalu tinggi, hanya sedikit melampaui bubungan koridor, seolah memang tercipta sebagai peneduh. Ada kelopak putih di antara daun-daunnya yang begitu hijau—beberapa terlihat berguguran terbawa angin ketika bertiup. Mungkin karena semalam hujan turun begitu lebat, beberapa kelopaknya rontok dan menutupi hampir seluruh jalan di stasiun.
Tak dapat menahan godaan, Aya, Luna, dan Arunika bermain di dalam ‘sungai kelopak’. Ternyata tidak semuanya putih, ada beberapa yang berwarna merah muda. Aya sempat bertanya, apakah mungkin di ujung rel ini, ada laut kekal yang dulu dilewatinya? Dia masih merindukan aroma garam dan debur ombak. Dia ingin sekali saja melihatnya lagi, sekali saja. Mungkin jika aku menyusurinya, keinginanku bisa terwujud, batinnya. Tapi dia segera menggelengkan kepala, meskipun berjalan di sepanjang rel merupakan gagasan yang menarik.
“Terkadang tersesat juga tidak masalah, karena bisa membuat kita menemukan tempat-tempat baru yang barangkali jauh lebih indah dari yang dulu kita cari,” kata Aya, menirukan gaya bicara Ara.
Dua temannya mengangguk setuju.
—Tiga
Setelah membantu Laila dan Sarah membersihkan dapur, dan meledek Hanin yang mendapat piket mengepel lantai, Adistya kembali duduk di bangku dan membuka korannya. Lauk pauk yang semula menghias meja sudah dibereskan, hanya menyisakan taplak putih berenda.
Laila dan Sarah segera menyusul Aurel dan Maheswari yang berencana menghabiskan siang di hutan purba.
Ara justru sudah menghilang sejak sarapan usai.