Hai.
Perkenalkan, aku Arunika. Tentu aku mengharapkan ibukulah yang memberiku nama, tapi sayangnya kami tidak pernah bertemu. Aku sudah sampai di surga bahkan sebelum mata kami bersitatap. Syukurlah ada Kak Sarah. Dialah yang menemukan nama "Arunika". Dan aku sangat menyukainya. Aru. Arunika. Terdengar indah, bukan? "Arunika," katanya, "mempunyai makna ‘cahaya matahari pagi’, karena kamu sampai di Bintang Utara ketika pagi baru saja menyapa di beranda timur."
Kamu boleh memanggilku Aru.
Aku penghuni kecil di Bintang Utara—yang paling kecil, justru. Meski begitu, karena sudah sepuluh tahun berlalu, bolehlah aku sesekali merasa sedikit dewasa (tertawa). Aku pertama kali menjejakkan kaki di sini saat umurku lima tahun, dan entah bagaimana, ternyata akulah yang terakhir datang. Setelahnya, tak ada lagi nama baru yang menempati asrama ini, hingga kabar tentangmu menghebohkan kami.
Siapa kamu?
Seperti apa kamu?
Kapan kamu sampai?
Aku—kami—bertanya-tanya dengan tidak sabar.
Aku hanya tahu, kamu senang dipanggil Polaris? Nama yang unik, tapi aku tidak terkejut. Entah bagaimana, penghuni asrama mempunyai nama yang bermakna sama—cahaya—terang—benda indah yang memantulkan cerlang—benda langit yang berkilauan. Dan sekarang Polaris. Siapa sangka, Polaris (Bintang Utara) kita benar-benar memiliki Polaris. Semoga kamu betah.
Jika telah sampai, kamu mungkin sedikit bingung dan tak menyangka, surga ternyata bukan tempat yang luas, dengan penduduk yang tak terhitung jumlahnya, karena dihuni berbagai lapisan zaman—bayangkan betapa ramainya jika seluruh peradaban, sejak kepurbaan Adam dan Hawa, hingga detik-detik kau membaca tulisan ini, berkumpul semua di sini. Tapi, syukurlah, tidak. Surga tak banyak berbeda dengan apa yang biasanya kaulihat di Bumi, bahkan mungkin lebih sederhana. Lantainya tidak dibungkus marmer seperti kata dongeng-dongeng tua, apalagi permata. Tidak pula didominasi warna putih dengan berbagai kilauan berlebihan. Surgaku—dan kelak menjadi surgamu—tidak sebegitu kelabunya. Andai boleh aku merangkumnya dalam sebaris kata, surga kita bernuansa sepia—begitu lembut dan sabar, seperti potret yang sudah pudar dikikis waktu atau buku lama dengan bercak kekuningan memenuhi lembar-lembar halamannya.
Jika kau melepas sepatu dan beranjak dengan langkah-langkah ringan di sepanjang setapaknya, dapat kaurasakan dingin tanah menggelitik telapak kakimu. Apalagi ketika bekas hujan masih menyisakan genangan dan matahari baru saja terjaga di ujung ufuk.
Jika kau memejamkan mata, dapat kaudengar bisikan angin yang bermain di helai-helai rambutmu, dengan burung-burung yang berkicau merdu di dekat telingamu. Biasanya, ada sarang-sarang kecil di ranting pepohonan yang berbaris rapi di pematang jalan, yang muskil kaulihat sebab tertutup dedaunan.
Jika kau menghirup dalam-dalam udaranya, kesegaran yang bercampur aroma lembap musim cuaca membuatmu betah berlama-lama berdiri seolah tak ada lagi yang harus kaukerjakan.
Aku tahu. Dilihat bagaimanapun, dibandingkan surga, tempat ini jauh—jauh lebih mirip desa kecil yang biasa kaudatangi saat penat menyesaki kepala, yang mungkin muskil kautemukan di peta. Surga kita surga dengan rumah-rumah beratap miring yang sudah nampak usang, yang catnya mulai mengelupas dan dinding-dindingnya ditumbuhi lumut, tapi yang begitu rukun dengan segala yang alam dan hijau dedaunan.
Aku menghabiskan sebagian besar hari di asrama Bintang Utara, seperti pula kamu, pada akhirnya. Lingkungan kami masih dipadati tanah dan rerumputan, yang tumbuh liar, tapi rapi dan subur.
Di dekat rumah kami, ada rimba lebat dengan pohon-pohon berbadan kekar mengisi sebagian besar jenggala. Hutan purba itu seolah sudah ada sejak permulaan waktu. Boleh jadi tanamannya berumur lebih dari ribuan tahun.
Saranku, jika kelak kau jadi bagian keluarga ini, cobalah berjalan di setapaknya .... Sekalipun pohon ash dan linden menjulang tinggi—dan mungkin panjangnya lima puluh meter lebih—dengan kanopi yang menaungi tetumbuhan kecil dan menjalar, kau dapat menghidu sejuk udara yang ditawarkannya. Segera setelah kedalamannya memelukmu, tak ada apa pun yang tersisa, kecuali hening. Sesekali, suara serak burung-burung pemecah biji berusaha menebas senyap, disusul lolong serigala—dalam kejap mengganggu ketenangan yang seakan tak tergoyahkan. Namun, sunyi kembali membuana sesaat kemudian, disusul derik jangkrik dan cicada yang mengisi udara dengan suasana sublim menyerupai puisi.
Kunang-kunang selalu muncul saat senja menumbuhkan bunga lembayung, seolah lahir begitu saja dari rahim rerumputan. Pohon oak yang batangnya berselimut lumut—lumut yang usianya lebih tua dari manusia mana pun di Bumi—tumbuh demikian besarnya, sehingga dalam celah kulitnya dapat kausembunyikan buah-buahan kecil yang rasanya lebih legit dari gula. Di sana, di ujung setapak, di seberang sungai yang teramat luas, bersemayam pemukiman para tetua yang membesarkanku sampai berusia lima tahun—sebelum akhirnya aku menjadi penghuni Bintang Utara.
Sekalipun di dekat kami ada hutan yang melampaui kepurbaan ‘hutan purba’ Biełaviežskaja Pušča di Peru—fakta-fakta semacam ini sering sekali diungkapkan Kak Adistya yang sepertinya tahu nyaris segalanya—desa ini sama seperti perdesaan pada umumnya.
Tapi di kota, keadaannya sedikit berbeda, meski tetap saja rimbun. Di sana, ada beberapa toko yang menyediakan berbagai macam kebutuhan pokok—sandang, pangan, dan papan, ada pula yang menawarkan hiasan—buku, gelas-gelas kaca, lukisan jalanan, dan perabot keluarga. Tapi semuanya terlihat usang seperti barang bekas. Usianya pun tak lagi muda. Sejujurnya, aku sendiri belum tahu, ‘barang baru’ itu seperti apa, jadi tidak dapat menjelaskan dengan lebih baik.
Jika sore datang menjelang, jalan-jalan yang membentang di pusat kota penuh dengan sepeda. Sesekali, terdengar kelenengan lonceng kecil saling bersahutan; menyapa satu dengan yang lain. Beberapa yang tidak membawa sepeda, berjalan santai di trotoar dengan langkah perlahan. Tidak ada satu pun yang terlihat terburu-buru, seolah menikmati setiap tarikan dan embusan napas, tanpa memikirkan apa pun. Tentu saja, ada anak-anak yang saling berkejaran, petak lari, balap sepeda, dan aktivitas adu cepat lainnya, dengan sayap-sayap yang membentang indah di punggung mereka. Tapi anak-anak tetaplah anak-anak, yang cepat melupakan menang dan kalah begitu permainan selesai.
Cahaya senja yang semburatnya menghias jalan, membawa bayang-bayang teduh yang seolah tak kunjung pudar sebanyak apa pun waktu yang berlalu. Di rumah-rumah yang tak berpagar, yang biasanya dihiasi berbagai macam bunga, terlihat beberapa keluarga bersandar di halaman seraya membaca buku. Tak sedikit jua yang berdiri bersebelahan, memandang matahari yang sebentar lagi tenggelam.
Sayangnya tidak, bahkan di sini pun, senja tidak selalu jingga. Namun, tetap saja lembayungnya berkilau indah, dengan siluet burung-burung yang mengepakkan sayapnya pelan—yang, jika dipandang di tempatku biasa berdiri, di kebun asrama, nyaris tidak bergerak. Boleh jadi karena tidak ada kendaraan bermotor—kecuali bus yang sangat jarang—langit memancarkan warna yang menenteramkan hati. Awan-awan berarak pelan, sisi-sisinya ditumbuhi bayang-bayang kelabu yang—andai kau mau menajamkan pandang sejenak—sebenarnya berwarna biru yang lembut. Kami, para malaikat, juga bekerja—tentu saja, bagaimana kita dapat bertahan tanpa bekerja? Tapi kami bebas memilih pekerjaan yang kami suka.