Mendung menggantung di akhir Sabtu.
Malam sudah larut ketika ketukan mengalun lembut di pintu kamar Aurel—begitu sunyi, dan syahdu, seolah enggan mendentingkan bunyi. Tapi Aurel mendengarnya, dan beranjak menyambutnya. Setelah diputarnya kenop kunci, dia tersenyum menemukan Maheswari, lengkap dengan bantal dan guling dalam pelukannya, berdiri dengan wajah yang lucu. Dia berkata lirih, “Boleh—menginap?”
Aurel hanya tertawa kecil tanpa memberi jawaban, tapi tetap saja, dia tak mampu menyembunyikan rasa gembiranya dengan menarik tangan sahabatnya. Dia bahkan sudah menyiapkan kasur baginya. Jauh di dalam hatinya Aurel pasti kecewa jika Maheswari tidak datang. Sudah beberapa hari berselang, dia selalu menginap di kamar Aurel, dan ada kalanya Aurel juga menginap di kamarnya.
Maheswari segera berlutut, lalu mengempaskan tubuhnya di permukaan ranjang, dan mendesah panjang. Rasanya lelah sekali, padahal seharian tidak melakukan apa-apa selain mengumpulkan bunga-bunga. Dia memandang jendela, dan melihat Aurel membukanya sedikit. Angin musim penghujan menebarkan sejuk di seantero ruangan. Seekor kunang-kunang terbang melewatinya, dan berputar-putar dalam kamar, seolah bingung. Aurel segera menuntunnya melewati teralis, dan membiarkannya menghirup alam bebas.
“Kalau tidur bersama seperti sekarang, aku jadi teringat masa lalu.”
Aurel mengecilkan sela pada jendela, dan menatap sahabatnya seraya duduk di ranjangnya sendiri. “Aku juga.”
Semasa hidup, Maheswari dan Aurel dirawat di rumah sakit yang sama. Kamar inap mereka hanya dipisahkan sebidang dinding. Maheswari terkenang—pada suatu pagi, Aurel berjalan-jalan di koridor rumah sakit dan mengintip kaca kecil di pintu kamarnya dengan senyum jenaka. Terkadang hanya matanya yang terlihat, mungkin karena dia malas berjinjit. Maheswari tidak langsung menyuruhnya masuk, tapi entah pada hari yang mana, akhirnya dia luluh dan melambaikan tangan. Aurel tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia langsung membuka selot dan melihat-lihat kamar Maheswari, lalu menyandarkan dagunya di ranjang gadis kecil yang kelak menjadi sahabat terbaiknya. Beberapa hari kemudian, Maheswarilah yang mengunjunginya.
Aurel biasanya membawakan setangkai kembang yang diberikan para penjenguk padanya, dan menghadiahkannya pada Maheswari. Seolah penjual bunga, Aurel segera menodongkan tangan setelah bunga yang dibawanya berpindah pemilik, seolah meminta bayaran. Tapi bukan dengan rupiah Maheswari membelinya, melainkan sesuatu yang jauh lebih berharga—gambar sederhana pada sebuah buku sketsa.
Di samping ranjang tidurnya, memang ada beberapa buah buku dan peralatan gambar, yang ketika jenuh kerap dipakainya sebagai pengisi waktu. Mungkin, bagi sebagian mata, gambarnya tidak istimewa. Garis dan warnanya pun terlalu biasa. Namun, di mata Aurel, lukisan-lukisan Maheswari tidak tergantikan. Bahkan, ketika dia pada akhirnya mengembuskan napas terakhir, gambar-gambar sahabatnyalah yang membuatnya berharap—dan berani mengucapkan sepatah kata ‘semoga’.
Sakit yang mendera Maheswari jauh lebih parah dibandingkan Aurel. Dia kerap merintih lirih di jam-jam rawan. Dan Aurel, yang telinganya setajam sunyi, segera memanggil suster yang berjaga di ruang dekat lift. Petugas segera datang—mengganti infus, perban, atau entah apa. Ketika sakitnya sudah berkurang, Maheswari menggeser tubuhnya sedikit, dan menepuk-nepuk sebelah ranjang yang kosong. Aurel yang berbadan kecil semula nampak ragu. Dia takut dimarahi, takut pula terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Tapi, Maheswari berkata, dia justru tenang saat Aurel ada di sampingnya.
Akhirnya, dia menuruti permintaan sahabatnya. Setelah meletakkan selembar memo di ranjangnya sendiri, dia beranjak memasuki kamar Maheswari dan tidur di sampingnya, berbagi bantal yang sama, dan berbincang hingga kantuk menguasai. Mereka kerap melakukannya lagi jika kebetulan tidak ada keluarga yang menginap.
Maheswari meninggal terlebih dahulu dan menciptakan rasa hampa yang teramat besar di dada Aurel. Kerap pada jam-jam rawan, dia dihantui perasaan rindu dan ingin menjenguk kamar sahabatnya—yang, dia tahu, kosong belaka. Tapi, dia tak berani memasukinya. Dia kerap mendengar suara sahabatnya yang berbisik di sekitarnya, meski mungkin hanya dalam kepalanya sendiri. Namun, dia takut tak mampu membendung kecewa ketika tak menemukan apa pun di kamar Maheswari kecuali kenangan yang mendingin. Lagipula, kondisinya pun semakin lemah dan dia tidak dapat seenaknya bergerak seperti dahulu. Hanya selang beberapa bulan sejak Mahewari mengembuskan napas penghabisan, Aurel menyusul.
Dan—begitulah. Setelah entah berapa lama duduk di kereta yang dipenuhi sosok-sosok transparan, memperhatikan kalimat-kalimat di koran tembus pandang yang berjatuhan dan terbenam, menyaksikan malam kekal di jendela, dan mendapatkan lingkaran malaikat di rumah Tetua di hutan purba, betapa terkejutnya dia ketika melihat sahabat yang begitu dikenalnya menyambutnya mesra di pintu Bintang Utara—dengan senyum jenaka, jauh lebih sehat dibandingkan yang diingatnya.
“Sahabat sehidup sema—” Maheswari belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Aurel menghambur dalam pelukannya dan menangis begitu lama, disusul Maheswari yang juga terisak. “Aku merindukanmu.” Entah siapa yang mengatakan itu terlebih dahulu.
Di antara langit yang meremang jingga, terdengar kepak sayap ribuan burung menembus cakrawala—sesuatu yang sebenarnya biasa saja. Hari-hari berlalu tanpa gejolak berarti, barangkali di mata sebagian orang tidak nampak istimewanya. Tapi, di balik segala yang bersahaja, di satu sudut hutan yang rimbun, di bangunan yang bercahaya justru dalam kesederhanaannya, ada perjumpaan yang mampu melintasi kematian.
Saat pagi datang menjelang, Maheswari mengajak Aurel berjalan mengelilingi asrama. Pagi terasa berbeda di sini, di udara mengambang aroma bunga, bercampur daun-daun dan embun, serta sedikit pedupaan yang harumnya begitu lanut. Langkahnya berhenti di sepetak kebun di belakang dinding, tersembunyi di antara rimbun ladang. Dengan senyum lebar di bibirnya, Maheswari memperlihatkan kebun alstroemeria pada sahabatnya. Sorot matanya bangga.
“Buatmu,” katanya.
Bunga-bunga yang begitu cantik tumbuh hanya beberapa jarak di belakang dinding. Bayang-bayang kanopi membuat warna putihnya jadi sedikit kelabu, tapi tak mengurangi cantiknya. Hanya sepetak kecil, tetapi indah. Entah kenapa aku tahu, kamu pasti datang. Jadi aku menyiapkan semua ini untukmu. Semoga kamu menyukainya.
Aurel tidak mampu berkata apa pun ketika memandangi barisan bunga lili dan hanya membalasnya dengan senyum sumingrah. “Terima kasih!”
Malaikat bersayap putih mempunyai waktu yang lebih sedikit dibandingkan malaikat bersayap kelabu. Ketika pada akhirnya Maheswari mengetahuinya, dia semakin ingin menghabiskan hari-hari bersama sahabatnya, tanpa sedetik pun menyia-nyiakannya. Dia berusaha melupakan hal-hal menyedihkan, semata ingin menjalani segalanya tanpa memikirkan masa depan dan masa lalu—berada sepenuhnya dalam momen kini. Bukan berusaha mengingkarinya, tapi rasa syukur di hatinya jauh lebih besar. Biar bagaimanapun, surga sudah memberikan kesempatan baginya untuk bertemu sahabatnya lagi.