Hai, Polaris.
Apa kabar?
Masihkah kau mengingatku setelah sekian lama?
Seperti yang sudah aku sampaikan—aku menulis dongeng ini untukmu, meski aku tak tahu kamu mampu membacanya atau tidak—dan apakah kau mau jika mampu—dan apakah kau suka jika mau.
Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku benar-benar merindukanmu. Dalam sunyi, aku kerap mengenang saat-saat kita duduk berhadapan, dan seringkali bersampingan, saling bertukar kata dan cerita. Hari-hari penuh puisi yang muskil terulang.
Karena kamu membenci kisah sedih, aku memastikan ada akhir bahagia saat kamu menemui kata tamat di pengujung nanti—seperti pula harapanku padamu, setelah kau pergi dan menjadi pendar kenangan. Bintang manakah yang kaupinjam sebagai penyampai pesan? Aku ingin mengucapkan ‘selamat tinggal’ dengan cara yang seharusnya. Dengan senyuman.
Aku masih berharap kau belum benar-benar tiada. Kau hanya pindah. Mungkin di suatu ranah yang jauh, kau memandangku seperti aku memandangmu melalui bintang-bintang. Barangkali nun di sebelah utara—yang senantiasa kaupandangi dengan tatapan rindu, matamu bersitatap dengan mataku tanpa kita berdua sadari.
Aku bukan pendongeng yang baik, apalagi tanpa bantuanmu! Kamu jangan menuduhku banyak alasan, bagaimanapun aku telah berhasil menyelesaikannya tanpa sedikit pun mengeluh. Aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa. Mungkin kamu diam-diam menuntunku menulis, sepatah demi sepatah. Mungkin beginilah cara kita berkomukasi, pada akhirnya. Ini bukan kisah yang istimewa dengan petualangan seru yang tiada bandingnya. Tapi semoga masih mampu mengantarkanmu menuju tidur yang damai.
Bagian terakhir cerita malaikat di Bintang Utara dimulai ketika pagi membuka hari dan matahari menembus jendela kamar Aurel dengan cahayanya yang lembut. Sahabatnya, Maheswari, masih lelap dalam posisi menyamping—pose tidur yang kerap dilakukan para malaikat, semata agar sayap mereka tidak menusuk tulang. Aurel memalingkan wajah dan bersandar di balik terali, menikmati pagi belia di jendela. Di depan kaca, terhampar pemandangan di belakang asrama. Ada beberapa petak kebun yang masing-masing dimiliki—dan diwarisi—para penghuni. Sekilas terlihat tidak beraturan, penuh pusparona yang tidak mengesankan baur, tapi mengandung harmoni, seolah alam sendirilah yang merawatnya. Miliknya ditumbuhi selusin bunga alstroemeria putih, pemberian Maheswari, dan beberapa kuntum jenis lain yang juga ditanamnya sendiri.
“Selamat pagi,” terdengar suara lirih Maheswari yang memandang sahabatnya termangu di samping jendela. Dia masih berbaring dengan posisi yang sama, tapi matanya sudah terbuka dengan malas.
Aurel tersenyum—dan pemandangan malaikat bersayap putih bermandikan cahaya membuat Maheswari sedikit tertegun.
“Pagi,” kata Aurel.
Lantai satu sudah ramai ketika Maheswari dan Aurel menuruni tangga. Beberapa malaikat sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ara menyapu lantai dan mengepelnya, Adistya membaca koran—edisi terbaru?—di sofa karena bagian piketnya sudah dilakukannya kemarin, Hanin dan Laila sibuk di dapur, sementara Sarah menjemur pakaian. Malaikat kanak-kanak—Arunika, Luna, dan Aya—bermain di halaman. Beberapa bocah tetangga juga ikut bergabung.
Jam makan datang tepat waktu, seperti biasa, dan semuanya duduk di bangku, di hadapan menu sarapan yang bersahaja, tetapi lezat. Meski begitu, Adistya masih membaca korannya tanpa bicara. Sudah berkali-kali para malaikat mengingatkannya, tapi tetap saja dia melakukannya. Dia memang jarang sarapan dengan lauk berat dan hanya menyeduh kopi dengan sesendok teh gula, serta sesekali menyantap roti tawar panggang yang dibuatkan Hanin. Saat yang lain masih sibuk mengentaskan sarapan, dia sudah sepenuhnya selesai, dan khusyuk dengan bacaannya. Sesekali dia memberitahu apa yang dilihatnya, sesuatu yang biasanya aneh. Seperti,