Kesempatan

BossyTika
Chapter #3

Tak Percaya Cinta

Seperti keramik yang retak, perlahan aku mencoba kembali menyusun puing retakan itu. Memang kembali utuh, tetapi tidak sesempurna sebelumnya. Aku kembali memulai semuanya dari awal, membiasakan diri tanpa hadirnya lagi, kembali mencoba mandiri menjalani hari.

Mengubah kebiasaan yang dulu sering aku lakukan dengannya menjadi aku lakukan sendiri. Menghindari beberapa tempat yang dulu sering aku datangi berdua dengannya. Hanya itu cara satu-satunya yang dapat membuat aku perlahan kembali kuat, walau sebenarnya aku tertatih untuk membalik lembaran kehidupanku sendiri.

Drrt drrt drrt!

Benda tipis di atas tumpukan dokumenku bergetar pelan, di saat aku sedang mencoba untuk menyelesaikan pekerjaanku. Setengah malas aku mengambil benda itu lalu mendapati nama ayah muncul di sana. Jempolku menggeser tombol hijau yang ada di bagian layar bawah. “Hallo?”

 Seperti biasanya, ayah menelepon untuk menanyakan kabar dan menanyakan bagaimana pekerjaanku. Namun kali ini ada pertanyaan lain yang membuatku terkejut mendengarnya. Apalagi jika bukan menanyakan kabar Reza, sudah lama aku tidak berkunjung pulang ke rumah dan membawa Reza menemui mereka, begitu katanya.

Ya, dahulu aku memang lebih sering pulang untuk mengunjungi mereka, bahkan membawa Reza ikut serta untuk menemui kedua orang tuaku. Mereka menyambut baik Reza, bahkan bisa dibilang mereka sangat menyukainya. Bukan tanpa alasan kedua orang tuaku menyukai lelaki itu, semua karena aku jarang membawa lelaki pulang ke rumah, aku jarang mengenalkan seorang lelaki pada mereka berdua.

Tadinya aku sedikit takut saat Reza memaksa untuk mengantarkan aku pulang ke rumah kedua orang tuaku di daerah Bogor. “Aku anterin kamu pulang deh. Aku temenin sekalian, aku juga butuh liburan.”

“Idih, ngapain ikutan? Aku bisa pulang sendiri.” Aku menolak keinginannya.

“Kamu enggak kasihan sama aku ditinggal sendirian di sini? Lagian cuman dua hari, ‘kan? Pokoknya aku ikut.” Reza bersikeras ingin ikut, aku tidak bisa menghalanginya atau lebih tepatnya, aku malas beradu mulut untuk argumen yang kurang penting seperti ini.

Jadilah keesokan harinya, pagi-pagi sekali Reza menjemputku ke apartemen, lalu kami langsung pergi menuju Bogor. Dalam perjalanan ayah sempat menghubungi, menanyakan kabarku dan tiba-tiba saja Reza mengambil ponselku itu lalu berbicara dengan ayah.

“Selamat pagi, Om. Kami sudah di jalan menuju ke sana,” ucapnya lantang dan terdengar sok akrab.

Aku mencebik kesal. Andai saja saat ini tidak sedang di jalanan, mungkin aku akan merebut ponsel itu. Tidak akan aku biarkan dia berbincang dengan ayah seperti itu. Sebab aku sangat tahu bagaimana ayah dan ibuku jika mereka mengetahui ada lelaki yang dekat denganku.

Reza mengembalikan ponselku begitu dia selesai berbincang dengan ayah dan telepon itu sudah terputus. Aku memandanginya penuh dengan tanda tanya dan rasa penasaran. “Ayah bicara apa?” Akhirnya aku memberanikan diri bertanya padanya.

Lihat selengkapnya