Kesetiaan Seorang Wanita

R. Sheehan
Chapter #3

Bab 3 - Rival Sejak Awal

"Ada apa dengan wajahmu?" Morgan merangkul bahu Delia seraya mendudukkan wanita itu di sampingnya. "Baru ketemu sudah cemberut?""Bukan apa-apa, mungkin hanya lelah saja." "Kau yakin?" tanya Morgan lagi seolah tak percaya.Delia mengangguk. Sepasang matanya awas menatap sekitar, takut apabila kebersamaan mereka dilihat oleh Raffi.Di dekat kolam renang di halaman samping rumah, hanya ada dia saja dan Morgan. Sedangkan para orang tua mengobrol santai di ruang keluarga. Tanggal pernikahan telah selesai di pilih dan saat ini keluarga Surya dan keluarga Prasetya sedang mendiskusikan tentang gaun pengantin, hotel, serta catering maupun seluk beluk pernikahan lainnya."Kau melamun lagi, Sayang." tegur Morgan di depan wajah Delia. Entah sejak kapan pria tampan itu telah pindah tempat jadi berlutut di depan Delia dan sepasang mata hitamnya memaku Delia di tempat.Delia tanpa sadar memundurkan punggungnya tatkala wajah Morgan bergerak mendekat, tangannya terulur menyentuh dada bidang di balik kemeja yang pria itu kenakan berusaha menahan agar tidak maju mendesaknya. "M-Morgan, ada banyak orang."Tapi seolah tuli, Morgan tak menghiraukan. Ia mencengkram pelan satu tangan Delia lalu membawanya ke mulut saat dia meninggalkan ciumannya di sana. "Mereka akan memaklumi. Apa yang kau khawatirkan? Sebentar lagi kita akan menikah." ucapnya dengan kepala miring, memamerkan senyum memikatnya.Pada saat dagunya dipegang dan embusan napas beraroma pria menyentuh penciumannya, Delia memalingkan muka dan ciuman itu jatuh tepat di sudut mulutnya. Di sana, di dekat pintu masuk berbahan kaca, Delia menemukan Raffi berdiri, menatap ke arahnya dengan pandangan yang sulit diartikan.Terkejut melihat Raffi, sontak saja Delia mendorong Morgan menjauh, "Jangan lakukan itu di sini!" Ia bahkan tak sadar telah melakukan itu dan ketika sadar, keduanya membeku.Morgan jelas merasa terhina, terbukti dengan raut wajahnya yang seketika itu berubah jadi marah, "Ada apa denganmu?! Hari ini kau aneh sekali!""A-ku... maafkan aku," "Kau dipanggil Paman Thomas. Suruh datang ke sana sekarang." Raffi berjalan mendekat. Seakan dia tidak melihat apa-apa barusan, sikapnya sangat tenang sekali. Mendengar suara itu, Morgan memalingkan mukanya ke samping. Senyum seringai kemudian muncul di wajah Morgan dan dia dengan tajam menatap Delia, "Kau tahu ada dia, itulah sebabnya kau barusan menolakku?"Tatapan kemarahan itu, dia takut sekali. "Tidak, kau salah." "Apa aku mengganggu kalian berdua?" tanya Raffi lagi membantu Delia dari diinterogasi oleh kekasihnya sendiri. Morgan bangkit, kemudian berjalan mendekat ke arah Raffi. Kedua pria itu memiliki tinggi yang hampir sama, tubuh berotot dengan proporsi sempurna dan wajah tampan yang dapat menggaet banyak wanita. Saling berdiri seperti itu merupakan pemandangan memanjakan mata, seandainya saja aura yang dibawa tidak dingin seolah ingin membekukan sekitar. "Kau memang selalu mengganggu kami, Raff. Setiap saat, tiap kami sedang bersama. Kuharap ini akan jadi yang terakhir kali kau ikut campur urusan kami. Aku tidak peduli apakah kau sahabatnya atau apalah itu, tapi yang pasti, tahu dirilah!" Morgan mengancam dengan suara rendah, "Tidak lama lagi dia akan menjadi istriku. Dan aku tak mau kau dekat-dekat dengannya!"Meski di permukaan Raffi nampak tenang dan santai, tapi hanya dia saja yang tahu betapa sekarang kemarahan telah mendidih dalam dadanya. "Aku tahu tempatku, kau tak perlu khawatir. Karena dia telah memilihmu, aku pasti tak akan mengganggu, seperti yang kau bilang." jawab Raffi. Morgan menepuk bahunya kuat, "Bagus, kau akhirnya tahu itu." Ia pun pergi dari sana, menemui ayahnya yang katanya sedang mencarinya. Raffi juga ingin melakukan hal yang sama, pergi dari tempat itu tapi Delia menghentikannya. "Tunggu...." "Ada yang mau kau bicarakan?" "Aku hanya ingin memberitahu, kalau aku akan melupakan apa yang terjadi waktu itu.""?" Raut wajahnya menampilkan tanda tanya. Tidak mengerti maksud Delia. Terdapat rona malu tatkala Delia kembali melanjutkan bicaranya, "Ciuman itu. Aku akan menganggap bahwa itu semua tidak pernah terjadi. Dan kuharap, kau pun begitu.""Raff, tidak bisakah kita kembali seperti semula?" tanyanya penuh harap, "akhir-akhir ini aku sudah banyak memikirkannya dan keputusanku tak akan berubah."Entah hati siapa yang sakit, yang jelas keduanya merasakan ketidaknyamanan dari apa yang sedang mereka bicarakan. "Aku tahu," pungkas Raffi menatap perhatian sisi wajah Delia, "saat kau tidak mengatakan apa pun selain persetujuan atas lamarannya, aku tahu kau telah menentukan jawabanmu."Angin kemudian berembus pelan. Menerbangkan daun-daun kering yang ada di sekitar kolam. "Adelia, selamat. Aku harap kau senantiasa bahagia." ucap Raffi dengan tulus, dengan wajah pahit masih menampilkan senyum miris. "Untuk kedepannya, aku tidak bisa lagi terlalu dekat denganmu. Tidak bisa lagi menjagamu seperti sebelumnya. Tidak bisa lagi terlalu sering bertemu denganmu. Aku lakukan itu bukan karena aku tak mau, tapi aku hanya ingin melindungimu. Kau harus pahami itu. Antara aku dan Morgan, tak ada yang tahu lebih dari pada kau, bukan?"Delia merasa pandangannya berubah buram, dan air mata mendesak untuk dikeluarkan. Raffi berlutut, memegang kedua tangan bergetar yang ada di atas lutut Delia. "Aku menyayangimu. Sampai kapan pun aku menyayangimu. Jika suatu saat nanti, aku juga temukan seseorang yang mau bersamaku, aku harap kau juga memberiku do'a dan harapan seperti yang aku lakukan sekarang." Sepertinya ada hati yang retak tatkala bayangan seseorang yang disayang, menggandeng tangan yang lain untuk menggantikan. Mendengar penuturan Raffi yang tak pernah terpikirkan oleh Delia, air mata seketika berjatuhan. Ia menahan isakannya agar Raffi tidak menyadari kesedihan yang dia rasakan. Membayangkan Raffi bersama dengan wanita lain? Dia baru pertama ini mulai memikirkannya. Sahabatnya begitu menarik, begitu tampan dan sangat baik, maka bukan hal yang mengherankan apabila banyak wanita di luaran sana yang mengantri untuk mendekati Raffi. Ia tahu itu, tapi mengapa rasanya sulit untuk menerima kenyataan tersebut. Apakah seperti ini, rasa sakit dan ketidaknyamanan yang selama ini Raffi rasakan setiap kali dia dekat dengan pria lain? Terlebih saat dia dekat dengan Morgan? Raffi mengulurkan tangannya, menghapus air mata yang leleh di pipi chubby Delia, "Jangan menangis, tak ada yang perlu kau tangisi. Ini adalah hari bahagiamu, kalau kau bahagia dan banyak menunjukkan senyum, bagiku itu sudah cukup. Yang aku harapkan dan pinta darimu hanyalah kau senantiasa bahagia, Adelia. Bukan malah sebaliknya."Bukannya berhenti, tangisnya kembali pecah. "A-aku juga tidak mau menangis. Tapi air matanya keluar sendiri." ujarnya berbohong. "Kalau sampai Paman Surya melihat kau menangis begini saat sedang bersamaku, pasti akulah yang bakal diomelinnya. Jadi, kumohon, berhenti menangis." bujuknya lagi seraya mengelus pipi itu sayang. Raffi menunggu sampai Delia kembali tenang, sampai isakan jadi lirih dan air mata perlahan mulai mengering. Saat keheningan melanda sekitar mereka, Delia mengangkat kepalanya, lalu berkata dengan suaranya yang terdengar serak. "Maafkan aku, Raffi, sudah menyakitimu tanpa sadar selama ini."___Apalagi yang bisa dilakukan selain mengikhlaskan? Seolah-olah jika aku tidak begitu, takdir dapat berubah haluan.

Lihat selengkapnya