Toko sarung yang Khaisan bangun dengan hasil tabungannya sendiri, kini terlihat semakin banyak pembeli. Sarung dengan bahan terbaik memanglah ditoko Khaisan, terlebih sarung santri lebih banyak diminati. Harganya juga terjangkau, bahkan saat ini Khaisan memiliki dua orang yang bekerja menjaga toko sarungnya.
"Gus Khaisan," sapa Hanif.
"Assalamu'alaikum Hanif, Bilal."
"Wa'alaikumussalam," jawab keduanya.
"Bagaimana?"
"Alhamdulillah Gus, pagi ini ada beberapa orang yang datang," ucap Bilal.
Hanif Ikhsan dan Bilal Hasan adalah dua santri yang rela bekerja sambil menyantren, untuk membeli kitab juga peralatan belajar mereka. Keduanya memiliki nasib yang sama, dimasukkan ke pesantren oleh orang tuanya tanpa dijenguk, bahkan dikirimkan uang. Mereka bertiga sudah seperti saudara, Khaisan tentu merangkul keduanya agar tidak merasa kesepian di pesantren.
Dari keisengan Hanif yang memanggil Khaisan Gus, dan disusul Bilal juga ikut memanggilnya Gus. Ternyata mereka tidaklah salah memanggil Khaisan dengan sebutan Gus, karena Khaisan adalah putra dari pasangan Hasyim Al-Birru dan Khaifa El-kahfi. Penerus pesantren besar Ar-Rahman, namun ini masih menjadi rahasia. Sehingga hanya keduanya, juga keluarga Kyai Syakir yang tau siapa sebenarnya Khaisan.
Khaisan tersenyum, berjalan kedalam toko, meraih satu sarung yang tertata rapi di rak. "Alhamdulillah kalian bisa kembali ke pesantren, biar saya yang menjaganya."
"Ngga apa-apa ini Gus?"
"Kalian harus belajar."
"Tapi Gus Khaisan, sendiri."
"Kalian kembali? Atau mau dihukum oleh pengurus pesantren?"
"Kembali," jawab keduanya cepat.