Mama dan papa sudah menunggu kedatangan Alsha diruang keluarga. Tidak seperti biasanya, mama tampak santai dengan daster batiknya, sementara papa dengan kaos oblong dan celana pendeknya. Mereka sengaja membatalkan semua kegiatan pagi ini. Tidak seperti penampilannya yang terkesan santai, mama sudah menampakkan wajah angkernya sejak tadi, siap menumpahkan segala amarah.
Alsha sudah bisa menebak, sebentar lagi akan ada keramaian dirumahnya. Lama-lama Alsha semakin berpikir, apa harus dengan cara ini agar kedua orangtuanya bisa meluangkan waktu untuknya. Tepat saat Alsha menginjakkan kakinya pada anak tangga terakhir, tanpa basa-basi mama langsung mencecar Alsha.
“Kamu nggak denger ya mama bilang kamu sudah harus ada dirumah sebelum jam tujuh?” Mama menatap Alsha tajam, dari nada bicaranya jelas sekali kalau ada aroma kemarahan.
“Sabar dulu ma, biarin Alsha duduk dulu,” papa berusaha meredam amarah mama. “Alsha kemari nak, duduk disini, papa sama mama mau bicara.” Dengan nada yang jauh lebih tenang papa meminta Alsha duduk diantara mereka. Pembawaan papa memang jauh lebih tenang dibandingkan mama.
Dengan tatapan kosong, Alsha menuruti intruksi itu. Alsha menghempaskan tubuhnya dengan malas ke atas sofa hitam besar dihadapannya. Sedikitpun Alsha tidak menatap wajah kedua orang tuanya, Alsha malah asik memain-mainkan rambut hitam kecoklatannya.
Melihat kelakuan Alsha seperti itu semakin membuat mama bertambah geram. “Apa kamu nggak denger mama minta kamu pulang sebelum jam tujuh?” mama mengulang lagi pertanyaannya. “Kenapa kamu pulang pagi? Nantangin mama kamu??” mama menatap Alsha tajam.
“Alsha pulang kok ma sebelum jam tujuh, tapi karena Alsha kesepian dirumah berhantu ini, jam sembilan Alsha keluar sama temen.” Jawab Alsha santai, masih asik memainkan rambutnya.
“Kamu bukan anak kecil lagi Alsha, berhenti bersikap kekanak-kanakan.” Desis mama tajam.
“Justru karena Alsha bukan anak kecil lagi ma. Alsha nggak suka diatur-atur.” Dengan berani Alsha menatap tajam wanita yang masih kelihatan cantik diusia menjelang kepala lima itu. “lagian udahlah, mama sama papa urusin aja bisnis-bisnis kalian itu.”
“Mama ini orang tua kamu, mama berhak ngatur hidup kamu.”
Papa memegangi mama, berusaha meredam amarah istrinya yang mulai memuncak. Tetapi mama menepis tangan papa, ia lalu berdiri dihadapan Alsha.
“Mau jadi apa kamu setiap hari pulang pagi, hah??? Apa susahnya buat nggak keluyuran???....” mama meneriaki Alsha.
“Iyaa… mama maunya Alsha terkurung dalam rumah ini sendirian, meratapi hidup Alsha yang kesepian? Iya itu yang mama mau?” Alsha memotong ucapan mamanya.
“Mama sama papa kerja buat kamu Alsha. Semua demi kamu. Kamu bisa naik turun mobil mewah, tinggal dirumah mewah, keluar masuk butik, punya barang-barang branded, makan enak, itu semua berkat kerja keras mama sama papa….”
“ALSHA NGGAK PERNAH MINTA ITU!!!” Alsha berdiri dari duduknya, lagi-lagi ia memotong ucapan mamanya, “Mama minta Alsha untuk betah dirumah, sementara Alsha nggak pernah tau mama sama papa ada dimana. Itu nggak adil. Untuk apa Alsha dirumah kalau mama sama papa aja hampir nggak pernah ada dirumah ini.” Mata Alsha mulai berkaca-kaca entah keberanian dari mana yang membuatnya berani mengucapkan kata-kata itu. “Mama selalu minta Alsha jadi seperti yang mama mau, apa mama pernah berusaha buat jadi seperti yang Alsha mau?” Alsha menatap tajam wanita dihadapannya. Butiran air mata mulai jatuh dari mata Alsha. “Kemarin mama minta Alsha untuk pulang kerumah sebelum jam tujuh. Oke… Alsha coba buat nurutin maunya mama, tapi apa? Apa mama ada dirumah? Apa mama menyambut Alsha? NGGAK! Bahkan sekedar untuk tau keberadaan Alsha pun nggak. Mama nggak pernah sungguh-sungguh peduli. Asal mama tau bahkan Bi Iroh jauh lebih peduli sama Alsha dibanding mama.” Alsha semakin terisak.
Bi Iroh yang sejak tadi ternyata menguping dibalik dinding dapur ikut menangis.
Mama tidak sanggup berkata-kata lagi. Ia tidak percaya anak perempuan satu-satunya itu berani meneriakinya. Alsha memang bukan anak yang penurut, tetapi ia tidak pernah seberani ini. Mama hanya sanggup memegang dadanya yang sesak antara menahan amarah dan tangis. Papa yang sejak tadi hanya duduk sambil menunduk langsung bangkit membimbing istrinya untuk duduk, menenangkannya. Sementara Alsha memilih pergi meninggalkan mama dan papanya.
***
Alsha termenung di bangku taman kampus sendirian. Tatapannya kosong, matanya sembab. Ia sengaja bolos dari kelasnya hari ini. Alsha butuh untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu, ditambah lagi dengan mata sembabnya, Alsha tidak mau menjadi pusat perhatian dikelasnya. Mengundang banyak tanya dari teman-temannya.
“Assalammualaykum…” Alsha dikejutkan dengan sebuah salam dari arah belakangnya, Alsha menoleh kemudian menyadari siapa pemilik suara itu.
“Waalaykumsalam, eh… kamu fa,” Alsha buru-buru menghapus sisa air matanya, tersenyum sekilas pada perempuan itu. Perempuan itu membalas senyum Alsha dengan canggung, ia tau Alsha sepertinya tidak dalam kondisi yang baik saat ini.
“Boleh saya duduk.” Tanya perempuan itu hati-hati.
“Ooh ya… tentu.” Alsha menggeser sedikit posisi duduknya, mempersilahkan.
Perempuan berkerudung panjang itu bernama Safa, teman satu kelas Alsha. Sejak pagi ia kebingungan mencari Alsha karena ada tugas kelompok yang harus segera mereka berdua kerjakan. Sebetulnya Safa sudah tahu betul perangai teman satu kelasnya itu mengenai tugas kelompok, tapi Safa ingin mencoba mengajak Alsha mengerjakan tugas itu bersama-sama. Nggak ada salahnya kan untuk mencoba, pikir Safa. Ia hampir putus asa mencari Alsha, tetapi tanpa sengaja ia melihat Alsha sedang duduk sendirian di bangku taman.
“Jadi kapan kita mau ngerjain tugas kelompoknya fa?” Alsha mencoba mencairkan suasana, karena sejak duduk disampingnya Safa hanya diam. Padahal Alsha tau Safa mencarinya untuk membahas tugas kelompok mereka. Alsha tahu, Safa sedang merasa tidak enak hati padanya. Alsha yang biasanya enggan berurusan dengan tugas kelompok entah kenapa kali ini ia merasa tidak tega membiarkan Safa mengerjakan tugas itu sendirian, mungkin karena tugas itu hanya terdiri dari dua orang dalam satu kelompok.
Safa terkejut dan bahagia secara bersamaan, mendengar pertanyaan Alsha.
“Alsha bisanya kapan? Safa ngikut aja.”
“Hari ini mau?”
“Yakin hari ini Sha?” Safa tampak ragu.
“Yakin lah, emangnya kenapa fa?” Alsha sedikit aneh dengan pertanyaan Safa, tapi sebetulnya ia tahu mengapa Safa ragu.
“Nggak apa-apa,” Safa tersenyum “Oke kalo gitu hari ini ya sha, di perpustakaan kampus gimana? Safa tampak bersemangat, karena jarang-jarang seorang Alsha mau ikut mengerjakan tugas kelompoknya.
“Oke…” Alsha mengacungkan ibu jarinya pada Safa, tersenyum lebar, memamerkan lesung pipinya. Entah mengapa Alsha merasa mood-nya jauh lebih baik sejak kedatangan Safa.
Safa terpesona dengan senyum yang Alsha berikan. Sejak Safa sekelas dengan Alsha baru kali ini ia melihat teman sekelasnya itu tersenyum lebar.
“Eh… tapi kita ke masjid kampus dulu ya Sha, sebentar lagi dzuhur nih.” safa menyudahi keterkagumannya kemudian melirik pergelangan tangannya.
“Eemm… aku langsung ke perpustakaan aja ya fa.” Alsha menolak ajakan Safa untuk ke masjid kampus.
“Lagi ngga sholat ya?” Safa tersenyum menatap Alsha.
Alsha tampak kebingungan dengan pertanyaan Safa, bingung ingin menjawab apa, karena sebenarnya Alsha tidak sedang dalam kondisi yang dilarang untuk sholat.
“Ii..iyaa.” Alsha menjawab sekenanya
“Ya udah, nanti kita ketemuan di perpustakaan ya.” Safa beranjak dari duduknya, meninggalkan Alsha di bangku taman. Belum terlalu jauh Safa melangkah, tiba-tiba Alsha memanggilnya.