Setelah menyantap hidangan yang disuguhi oleh istri pak Engkus, mereka semua berpamitan pulang kerumah masing-masing.
Ketiga perempuan itu berjalan beriringan menuju rumah pak Asep, mengekor Mirza dan Ariq yang sudah berjalan di depan. Alsha bergelayut manja di lengan Safa, tubuh Safa yang kecil susah payah menopang tubuhnya. Sebetulnya Alsha ingin sekali bergelayut dilengan Mirza, tetapi tentu saja itu tidak mungkin.
Sesampainya di rumah, ada lagi masalah baru untuk Alsha. Sudah beberapa bulan terakhir penduduk desa mengalami kekeringan karena musim kemarau. Mereka yang selama ini hanya mengandalkan air sumur untuk keperluan sehari-hari, mau tidak mau harus menghemat air karena di desa belum tersedia air PAM.
"Jadi, kalau bisa kalian mandinya hemat-hemat ya." Pak Asep nyengir kuda, bingung harus mengatakan apa kepada Alsha dan teman-temannya. Sejak kemarin ia berusaha memilih kalimat yang tepat agar tidak menyinggung mereka.
"Iya pak, tidak apa-apa. Kami semua bisa maklum. Kami akan berusaha untuk pakai air sehemat mungkin." Mirza meyakinkan pak Asep.
"Tenang pak, saya mandi sehari satu kali juga nggak apa-apa pak. Sekalinya lagi nanti tayamum aja." Lagi-lagi Ariq mencairkan suasana.
Alsha tersenyum sinis. "huh, bisa-bisanya mereka semua tetap baik-baik aja. Mana bisa aku harus mandi dengan air yang sedikit setelah seharian bersihin ruangan kotor itu." Alsha membatin kesal.
"Nah, kalian tadi sudah dengar sendiri kan penjelasan pak Asep, jadi mulai sore ini kita harus hemat air. Untuk mandi satu orang dijatah satu ember untuk satu kali mandi ya." Kini Mirza yang memberikan penjelasan pada teman-teman satu rumahnya.
"NGGAK BISA!!!" Alsha tiba-tiba berseru lantang.
Mirza, Ariq, Safa, dan Jihan menoleh bersamaan.
"Kenapa nggak bisa Sha?" Mirza bertanya.
"Mandi pakai air satu ember? Ya mana bisa lah." Alsha emosi.