Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi, tetapi cuaca pagi itu sudah cukup terik. Tanpa malu-malu matahari sudah memancarkan sinarnya. Setelah mengunjungi kantor desa dan berkenalan secara resmi dengan bapak Kepala Desa dan stafnya Alsha dan teman-temannya melakukan survei lokasi, mereka mengelilingi desa ditemani pak Engkus. Kegiatan ini bertujuan untuk menentukan program kerja apa yang akan mereka laksanakan di sana sekaligus berkenalan dengan tokoh masyarakat dan warga sekitar. Mengenai proker, untungnya kampus mereka memberikan kebebasan, asalkan proker itu bermanfaat untuk masyarakat desa.
Mereka melihat secara langsung kegiatan sehari-hari warga di sana. Sebagian dari mereka berprofesi sebagai petani, termasuk pak Engkus sendiri.
Karena sedang musim kemarau, banyak petani yang tidak bisa menanam padi, mereka memutuskan untuk menanami lahan mereka dengan palawija. Ada juga yang memanfaatkan lahan rawa yang airnya sedang menyusut untuk ditanami jagung atau semangka.
Selanjutnya pak Engkus mengajak mereka melihat kali yang ada di desa. Kali itu letaknya ada dibawah, mereka harus melalui turunan yang cukup curam untuk bisa sampai disana. air kali sedang surut karena musim kemarau, yang tersisa hanya gemericik air dari sela-sela bebatuan besar.
"Aku jadi kepikiran deh Fa." Ucap Alsha tiba-tiba
"Kepikiran apa?" Safa menoleh pada Alsha yang sedang menatap kali di depan mereka.
"Kalau aku kecebur di kali itu, trus tenggelam kira-kira Mirza bakal nolongin aku nggak ya?" Alsha tersenyum genit pada Safa.
"Astagfirullah..., Ngomong apaan sih kamu sha. Kamu nggak akan tenggelem, tu kamu gak liat airnya kering gitu." Safa melotot pada Alsha, tidak habis pikir dengan temannya itu.
Alsha malah cekikikan melihat Safa yang tampak kesal.
"Biasanya kali ini airnya deras, bisa dimanfaatkan untuk mencuci pakaian dan mandi. Ya karena sedang musim kemarau airnya jadi kering." Pak engkus memberi tahu.
Dalam hati Alsha mengucap syukur, karena kalau tidak musim kemarau ia pasti sudah disuruh mencuci pakaian dan mandi di kali itu.
"Diseberang kali itu, tempat apa pak? Apa ada rumah penduduk disana?" Ariq menunjuk ke seberang kali.
"Menurut lo riq, masa disana ada rumah penduduk." Salah satu anggota kelompok mereka nyeletuk.
"Ya kan gue nanyaaa. Mungkin aja disana ada desa lagi kan."
"Nggak ada nak Ariq, disana cuma ada pepohonan dan perbukitan." Pak Engkus menyudahi perdebatan kedua anak muda di sampingnya.
"Kalau disana ada penduduk, setidaknya disini sudah ada jembatan gantung untuk menuju kesana." Mirza akhirnya nyeletuk juga.
"Duh, emang beda ya kalau anak arsitektur yang ngomong." Alsha memuji Mirza. Sementara yang dipuji diam saja.
"Tu riq." Temannya tadi mengejek Ariq.
"Ya kan bisa aja pakai perahu, gimana sih!!" Ariq tidak mau kalah.
Seluruh angggota kelompok tertawa, termasuk pak Engkus. Pak engkus akhirnya menyudahi perdebatan itu dan mengajak mereka melanjutkan perjalanan mengelilingi desa.
Setelah melewati jalan yang masih berkondisi tanah merah dan berdebu lima belas menit kemudian mereka semua sudah tiba di Sekolah Dasar Negeri 01, salah satu sekolah yang ada di sana. Desa ini memiliki tiga sekolah dasar, satu sekolah menengah pertama dan satu sekolah menengah atas.
Bagi masyarakat yang mampu biasanya mereka menyekolahkan anak-anak mereka di kota. Seperti salah satu anak pak Engkus yang sebentar lagi juga akan melanjutkan keperguruan tinggi di kota.
Sekolah yang mereka kunjungi masih berdinding kayu dan beratap seng, bila cuaca sedang panas anak-anak bisa kegerahan berada di dalam kelas. Untungnya di halaman sekolah banyak ditanami pohon, setidaknya mereka bisa merasakan udara sejuk yang berasal dari pohon yang tertiup angin sepoi-sepoi.
"Kak Mirza!!!"
Mirza dikejutkan oleh suara anak kecil yang memanggilnya. Ia menoleh ke sumber suara. Rupanya itu Dahlia anak pak Asep dan bu Asih yang bersekolah di sekolah itu.
Dahlia dan teman-temannya sedang berkumpul di lapangan sekolah, mereka sedang mengikuti pelajaran olahraga.
Mirza tersenyum lebar, melambaikan tangan pada Dahlia.
Alsha tersenyum melihat adegan itu, "Duh..., Kenapa sih dia bisa bersikap manis kesemua orang, sementara ke aku nggak." Alsha membatin.
Setelah mengelilingi sekolah dan mengobrol dengan staf dan guru yang ada di sana, mereka kemudian melanjutkan lagi perjalanan mengelilingi desa.