Mirza tersenyum sambil mengelus kepala anak kucing di hadapannya. Ia tidak menyangka ternyata Alsha berhati lembut. Hatinya terasa hangat mengingat kejadian semalam ketika Alsha berusaha melindungi anak kucing di hadapannya itu.
"Kucingnya nggak kenapa-kenapa kan?" Tiba-tiba Alsha keluar dari kamar, berjalan tertatih menghampiri Mirza.
Mirza menoleh, kemudian tersenyum. "Alhamdulillah nggak apa-apa. Badannya sudah kering, dia sudah makan tiga kali hari ini." Mirza tertawa kecil, masih mengelus kepala anak kucing itu.
"Wah..., Kamu harus bayar uang makan sama bu Asih." Alsha berbicara pada kucing di hadapannya. Kucing itu mengeong ke arah Alsha.
Mereka berdua tertawa berbarengan. Kemudian hening.
Hari itu rumah pak Asep tampak lenggang, hanya ada Alsha, Mirza dan bu Asih yang sedang sibuk di dapur. Pak Asep dan teman-teman kelompok mereka yang lain sedang mengadakan gotong royong, mereka membersihkan kali yang kotor karena hujan lebat semalam. Alsha dan Mirza diminta untuk istirahat karena keadaan mereka yang tidak memungkinkan untuk ikut gotong royong.
"Kaki kamu gimana? Masih sakit?" Mirza memecah keheningan diantara mereka.
"Udah nggak terlalu sakit. Makasi ya Za."
Mirza mengangguk.
"Za, lengan kamu luka ya???" Alsha terkejut melihat lengan Mirza, ia baru menyadari kalau lengan Mirza dibalut perban. Ia refleks ingin memegang lengan Mirza tetapi tidak jadi.
"Nggak apa-apa cuma luka kecil Sha, ini si Ariq aja yang lebay pake diperban segala." Mirza memegang lengannya memperlihatkan pada Alsha, meyakinkan Alsha yang kelihatan khawatir, kalau ia baik-baik saja.
"Maafin aku ya Za." Alsha merasa bersalah.
Mirza terkekeh. "Maaf untuk apa sha?"
"Maaf karena selalu ngerepotin kamu."
Mirza menggeleng dan tersenyum pada Alsha. "Aku yang harusnya minta maaf Sha, karena udah bicara kasar samu kamu. Nggak seharusnya aku bersikap berlebihan begitu"
"Aku pantas diperlakukan begitu Za."
Mirza lagi-lagi menggeleng. "Eh kucingnya mau dikasi nama siapa?" Mirza mengalihkan pembicaraan.
"Memangnya dia harus punya nama?"
"Ya iyalah biar enak manggilnya. Gimana kalo Ojan aja namanya."
Alsha melotot. "Masa Ojan sih?"
"Kenapa emangnya? Ojan itu plesetan dari hujan, karena kita nemuin dia waktu hujan."
"Kita? Aku yang nemuin dia bukan kita." Alsha protes. Tidak memperdulikan perubahan ekspresi di wajah Mirza.
"Jadi mau kamu namain siapa?" Mirza kikuk.
"Kenzo!"
Mirza meringis. "Nama itu terlalu berlebihan untuk seekor kucing Sha."
"Nggak. Biasa aja. Bagus kok!" Alsha tidak terima.
"Udah, Ojan aja Sha, lebih lucu."
"Nggak mau." Alsha menggeleng cepat.
"Ojan lebih lucu tauk."
"No!!!"