Alsha menyeret langkahnya menuju perpustakaan kampus. Ada buku yang harus dia cari untuk referensi skripsinya. Safa tidak bisa menemaninya hari ini karena ia harus menemui Pak Solihin. Biasanya Safa lah yang selalu membantunya menyusuri deretan buku-buku yang ada disana. Tetapi kali ini Alsha harus dengan sabar melakukan itu sendirian.
Alsha menatap deretan buku-buku dihadapannya dengan malas. Selama beberapa detik ia hanya berdiri tanpa sedikitpun menyentuh buku-buku itu. Berulang kali Alsha terus memotivasi dirinya sendiri didalam hati, meyakinkan dirinya kalau ia harus terus semangat. Safa sudah hampir masuk bab lima, ia tidak boleh tertinggal dari Safa. mereka harus bisa wisuda dihari yang sama.
Ketika Alsha akan berjalan mendekati rak buku, Mirza berjalan dihadapannya. Seketika Alsha menjadi bersemangat. Bukan bersemangat untuk mencari buku tetapi ia malah berjalan mendekati Mirza.
“Assalamu’alaykum.”
“Waalaykumsalam.” Mirza cuek, tidak terlalu memperdulikan kehadiran Alsha disana.
“Cari apa?”
Mirza mendengus, ia sudah mulai tertular virus Alsha yang suka mendengus. Sebetulnya Mirza bukan tidak suka pada Alsha, tetapi ketika gadis itu ada didekatnya Mirza selalu berusaha mati-matian menahan dirinya. Rasanya sudah cukup baginya selama empat puluh hari kemarin, ia hampir kehilangan kendali dirinya.
“Buku.” Jawab Mirza singkat.
“Oh… aku pikir kamu cari aku.” Alsha menatap Mirza penuh tatapan menggoda.
Mirza bergeming, rasanya ia ingin pergi dari tempat itu secepat mungkin. Alsha selalu bisa membuat jantungnya berhenti bekerja selama beberapa detik.
“Eh tau nggak aku udah bisa ngaji Al-Quran loh.” Alsha tersenyum bangga.
“Alhamdulillah, bagus dong. Coba kalau aku yang ngajarin, pasti sekarang kamu belum bisa.”
“Loh kok gitu?” Alsha menatap Mirza heran.
“Iya soalnya kamu bakalan lebih fokus ke aku.” Mirza terkekeh.
“Oh ya tentu, gimana aku nggak fokus ke kamu, kalau kamu ngomong aja udah merdu, apalagi kalau ngaji.” Alsha tersenyum penuh kemenangan, mematahkan ucapan Mirza.
Mirza terdiam, menyesali ucapannya tadi, kalau untuk urusan menggombal, Mirza jelas kalah telak dari Alsha.
“Skripsi kamu gimana?” melihat Mirza terdiam, Alsha berusaha mengganti topik pembicaraan.
“Alhamdulillah…” Mirza menatap serius buku yang kini ditangannya.
“Udah bab berapa?”
“Dua.”
“Target wisuda?”
“November.”
Alsha mendengus kesal. Tidak sedikitpun Mirza tertarik untuk menanyakan tentangnya. Ia malah semakin asik dengan buku ditangannya. Alsha merasa ia seperti sedang mewawancarai seseorang.
Mirza berjalan meninggalkan Alsha, membawa buku ditangannya, mencari tempat duduk kosong.
Alsha mengikuti langkah Mirza, ikut duduk di samping laki-laki itu.
Untuk beberapa saat, Alsha dan Mirza saling diam. Mirza semakin asik dengan buku dihadapannya, sementara Alsha memainkan ujung buku dengan jarinya.
"Ternyata kebersamaan kita selama empat puluh hari itu nggak membuat kita lantas jadi dekat ya Za." Alsha memecah keheningan diantara mereka. tersenyum getir.
"Kedekatan seperti apa yang kamu harapin Sha?" Mirza menoleh sekilas pada gadis di sampingnya. "Pacaran?" Mirza melanjutkan pertanyaannya.
Alsha tertawa "Ge-eR kamuu!"
"Trus gimana?"
Alsha hanya diam.
"Apa mencintai aku terasa menyakitkan Sha?"
Alsha tidak terkejut dengan pertanyaan Mirza, sejak awal ia sudah menduga, Mirza pasti tahu tentang perasaannya.
"Yaa... Terasa menyakitkan dan menyiksa." Alsha menghela nafas, masih sambil memainkan ujung buku dengaan jarinya.
"Memang seperti itulah cinta yang belum waktunya Sha, ia akan terasa menyakitkan, menyiksa atau bahkan menakutkan. Padahal kita tahu, cinta itu harusnya perasaan yang membuat kita bahagia dan damai."
"Cinta akan terasa bahagia kalau kita bisa memiliki yang kita cintai Za, bukankah selalu begitu." Alsha terkekeh. "Tapi aku nggak akan pernah menyesal Za..." Alsha memalingkan tatapannya, menatap laki-laki di sampingnya. "Kalau aku diberi kesempatan untuk bisa menghapus takdir, takdir pertemuan kita... aku nggak ingin menghapusnya, aku ingin kita tetap bertemu. Meskipun akhirnya nanti kita nggak bisa bersama, aku nggak akan pernah menyesal bertemu kamu."
Mirza tersenyum kecil, menatap Alsha.
"Kalau memang dengan mencintai kamu itu menyakitkan dan menyiksa, aku nggak keberatan memaknai cinta seperti itu..." Alsha tercekat, tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
"Sha..., Kan tadi aku sudah bilang cinta itu perasaan yang membuat kita bahagia dan damai." Mirza tersenyum menatap Alsha.
"Setidaknya aku bahagia dengan mencintai kamu Za."