Pesta pernikahan Safa sudah dilaksanakan satu minggu yang lalu. Sekarang ia tinggal bersama suaminya di kota Jakarta. Sekali lagi Alsha harus merasakan kesedihan ditinggalkan oleh orang yang ia sayangi.
Alsha duduk termenung di halaman belakang rumah, ditemani semilir angin yang sesekali menerbangkan ujung kerudung merah mudanya. Sesekali pula ia melempar makanan ikan ke kolam dihadapannya.
Alsha tersenyum getir memandang sekelilingnya, rumah besar itu kini bertambah sunyi. Angannya membawa Alsha pada kenangan beberapa tahun lalu. Waktu itu ia masih berusia lima tahun, setiap sore hari mang Min dan bi Iroh selalu mengajaknya memancing ikan di kolam belakang rumahnya.
Dulu, setiap kali mama dan papa pergi meninggalkan Alsha, ia selalu menangis dan merajuk. Memancing ikan adalah cara mang Min dan bi Iroh untuk membuat Alsha kembali ceria. Alsha selalu bahagia dan tertawa setiap kali umpan yang mang Min pasangkan di kail pancingnya bergoyang-goyang. Mang Min lalu dengan sigap menarik pancingnya, tertawa bahagia mengumpulkan ikan-ikan yang berhasil mereka pancing.
Alsha cepat-cepat menyeka ujung matanya, menghela nafas panjang. Betapa setiap sudut rumahnya menyimpan banyak kenangan indah kebersamaan mereka. Tak semestinya semua kenangan indah itu Alsha kenang dengan air matanya. Seharusnya ia bersyukur sempat mendapatkan kebahagiaan itu. Harusnya Alsha tersenyum bahagia ketika memutar memori kenangan indah itu.
Alsha tiba-tiba teringat dengan Mirza. Sudah hampir satu bulan sejak acara wisudanya ia tidak bertemu laki-laki itu. Ketika mendengar berita duka dari Alsha, Mirza hanya mengirimkan pesan singkat ungkapan belasungkawa. Diam-diam Alsha merindukannya. Alsha kemudian teringat dengan buku yang dulu pernah ia pinjam, ia lalu memutuskan untuk menemui Mirza di kontrakkannya sambil mengembalikan buku itu.
***
Rumah kontrakan Mirza tampak lenggang, tidak ada tanda-tanda keberadaan orang disana. Alsha celingukan mencari seseorang yang bisa ia tanya, tetapi hasilnya nihil. Ia kemudian berjalan mendekati pintu kontrakan itu. Alsha mencoba mengintip dari balik kaca, tetapi kaca bagian dalam tertutupi oleh tirai sehingga Alsha tidak bisa melihat bagian dalam rumah.
Alsha menjadi merasa bersalah, perbuatan yang ia lakukan tentu saja bukan hal yang pantas. Ia kemudian memutuskan untuk pulang. ketika Alsha akan melangkahkan kakinya tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah undangan yang tergeletak di dekat kotak sampah disamping pintu kontrakan mirza. Ia kemudian mengambil undangan itu dan membukanya.
Nafas Alsha memburu ketika ia membaca nama mempelai laki-laki pada undangan itu. Tangannya gemetar, berulang kali Alsha mengeja nama itu, meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah membaca. Semua tertulis dengan jelas disana, nama Mirza dan nama mempelai wanita, disitu juga tertulis tanggal pernikahannya, 10 Februari. Besok. Alsha akhirnya menyadari kenapa kontrakan mirza begitu sepi, tentu saja, besok Mirza akan menikah.
Dengan perasaan hancur Alsha menyeret langkahnya meninggalkan kontrakan Mirza. Kakinya terasa lemah, tak kuat lagi untuk melangkah. Walau tangannnya gemetar Alsha berusaha tetap menggenggam undangan itu.
Tangisan yang Alsha tahan sejak tadi akhirnya tumpah juga begitu Alsha masuk mobilnya, kepalanya pusing, Ia masih sulit mencerna logikanya. Apakah selama ini Alsha tertipu oleh perasaannya sendiri. Ia mengira kalau selama ini Mirza juga menyimpan perasaan kepadanya. Kebaikan-kebaikan laki-laki itu, sikap manisnya, senyuman tulusnya. Alsha tidak mengerti tentang semua itu ataukah memang Mirza yang telah menipunya. Mengapa kini laki-laki itu malah menikah dengan perempuan lain dan yang membuat Alsha bertambah sakit hati, mengapa Mirza tidak mengatakan kepadanya kalau ia akan menikah, bahkan sekedar untuk mengirimkan pesan singkat padanya. Alsha kemudian teringat dengan kata-kata Ariq ketika acara perpisahan KKN, tentang temannya yang merengek ingin menikah, apa orang itu adalah Mirza? Alsha resmi tertipu oleh perasaannya sendiri, ia tidak pernah benar-benar berarti bagi Mirza.