"Vivian, besok saya ndak masuk, ya."
Vivi menyahut tanpa menoleh. "Kenapa, Mbak?"
"Besok saya mau ngurus Mita."
Dasar manja. Vivi mencemooh dalam hati.
"Besok ibu sama bapaknya mau sidang cerai,” lanjut Mbak Irma.
Celaan dalam hati Vivi seketika tergantikan dengan rasa iba. Ia memang tak pernah tahu rasanya orang tua berpisah, tapi ia mengerti rasanya ditinggalkan mereka. Rumah yang seharusnya hangat akan terasa dingin karena kehilangan penghuninya.
"Kasihan dia, kalau nggak diawasin takutnya ngamuk-ngamuk kayak beberapa hari lalu. Untungnya dia bisa stabil lagi. Saya udah takut aja dia ndak bisa ikut pentas."
Setelahnya, Vivi tak bisa mengingat hal lain yang diceritakan Mbak Irma mengenai Mita; seperti bagaimana kedua orang tua Mita terlihat baik-baik saja, tetapi menyimpan dendam satu sama lain, dan lain sebagainya. Sisa hari itu pun berlalu dengan keheningan panjang.
Sore harinya, Galih mendadak memberitahukan kalau ia tak bisa menjemput karena ada janji dengan teman sekantor. Vivi sendiri tak masalah, tetapi sepertinya Galih tak mau belajar dari pengalaman. Pemuda itu malah berubah pikiran dan memutuskan untuk mengantarnya pulang terlebih dulu, baru ia bergabung bersama teman-temannya.
Mendengar usulan konyol Galih, Vivi tentu sangat tersinggung. Baginya, sikap pemuda itu sangat keterlaluan. Ia sudah dewasa dan mandiri secara finansial. Akhirnya, karena tak ingin melihatnya makin tersinggung, Galih pun mengurungkan niatnya.
Dia sampai di sewaktu hari menjelang malam. Sekujur badannya letih luar biasa. Demi berhemat, ia rela pulang dengan berjalan kaki dan karena hal itu dirinya sudah menyusun rencana untuk tidur sampai pagi. Namun, rencananya itu harus gagal lantaran kehadiran Tante Dinar di depan rumahnya.
"Akhirnya kamu pulang juga. Bude capek nungguin kamu, tahu!"
Vivi menahan diri untuk tidak mengumpat saat itu juga. “Oh, Tante ternyata masih berani datang ke sini. Nggak takut jadi bahan gunjingan tetangga?" katanya dengan kekehan geli.
"Vivian!" Dada Tante Dinar naik-turun menahan kesal. "Kalau bukan karena hal penting saya juga ndak bakal ke sini, dasar anak kurang ajar! Kamu tahu Dimas kecelakaan dan masuk rumah sakit?"
"Terus, apa urusannya sama aku?" Gadis itu mengangkat dagunya, mencoba melupakan fakta jika punya hutang pada bujang lapuk itu. Ia lantas berjalan melewati bibinya. Belum sempat tangannya menyentuh gagang pintu, Tante Dinar sudah lebih dulu menangkap lengannya.
"Tentu ada! Ibunya Dimas bilang dia kecelakaan setelah antar kamu pulang.”
Vivi terhenyak. Sesungguhnya ia tak ingin membohongi diri, tetapi entah mengapa ia merasa kecelakaan ini berhubungan dengannya. Ketakutan seketika menderanya.
“Dimas sekarat dan ibunya meminta kamu buat jenguk Dimas."
Dia serasa bumi yang dipijaknya berguncang. Untungnya ia bisa langsung berpegangan pada kusen pintu sebelum terjatuh. "Di mana Dimas dirawat?"
*
"Vivian, saya mohon maaf atas kelakuan Dimas tempo hari. Tapi percayalah, anak saya ndak bermaksud saat melakukan itu."
Pandangan Vivi terlihat kosong saat mendengarkan penjelasan ibunda Dimas di antara isak tangis. Usai emosinya kembali stabil, wanita itu menyerahkan selembar kertas yang sempat Dimas tulis sebelum kondisinya terus menurun hingga akhirnya ia dipindahkan ke ruang rawat intensif.
Hanya dengan melihat tulisan itu saja semua orang sudah tahu bagaimana lelaki itu mengerahkan segenap tenaga yang ia miliki sebelum dirinya berakhir di ambang maut. Di akhir surat, terdapat dua kata yang membuat setengah kesadaran Vivi melayang.
Tolong berhati-hati
Berhati-hati terhadap apa? Pada sesuatu yang mengikutinya—seperti omong-kosong yang diucapkan Dimas tempo hari? Kalau itu benar, mungkinkah makhluk halus yang menempel padanya adalah hantu lelaki di bukit itu?
Gadis itu berjalan terseok-seok meninggalkan ruang rawat intensif tempat di mana Dimas berada. Sambil berpegangan tembok, ia berusaha menata pikiran. Informasi yang diterima dari Ibunda Dimas ditambah kondisi Dimas yang tengah berjuang hidup menjejali kepalanya. Telinganya seakan-akan tak berfungsi. Ia bahkan tak mendengar teriakan Tante Dinar yang memerintahkannya untuk kembali.
Tepat saat Vivi keluar dari pintu rumah sakit, tiba-tiba saja seorang anak kecil berlari menerobos dirinya. Ia sengaja menghindar, tetapi tanpa sengaja bahunya menyenggol seorang pria bersetelan hitam yang datang dari arah berlawanan. Vivi yang hilang keseimbangan hampir tersungkur, beruntung si pria berhasil menangkap lengannya.
Vivi meringis merasakan genggaman si pria menguat. "Lepas!" serunya. Genggaman itu akhirnya terlepas, menyisakan bekas cengkeraman berwarna merah terang, begitu kontras dengan kulitnya yang kuning langsat. Tanpa berterima kasih ia berlalu meninggalkan pria itu.
Sepeninggal Vivi, pria itu masih bergeming di depan pintu. Dahinya berkerut. Bibirnya yang terkatup rapat bergetar, seolah-olah ia hendak memuntahkan jutaan kata tapi tertahan oleh sesuatu yang tak kasatmata. Ia menatap telapak tangannya yang gemetar. Rasa hangat kulit gadis itu masih tersisa di permukaan kulitnya. Apa yang terjadi dengannya?