Tahun 1107* saka, Bumi Kadiri
Bagi lelaki itu, takdir hanyalah sebuah pertaruhan konyol. Sebab pada akhirnya, segigih apapun ia mencoba, ia tetap tak mampu menyelamatkan seseorang yang amat ia cintai dari fitnah keji. Di atas tanah berbatu, ia terlentang. Darah dari luka-luka menganga dan keringat membanjiri sekujur badan. Ditatapnya langit malam tanpa bintang. Ah, hari ini pun purnama masih bersinar begitu cantik meski sendirian. Ia bersyukur masih ada lautan yang tetap setia menjaga senyum sang purnama. Dia jadi membayangkan purnama lain yang kini tengah bertafakur di istana seorang diri sambil menunggu ke mana kisah hidupnya akan bermuara.
Senyum sedih perlahan terkembang di wajahnya, tak peduli meski sebilah pedang kini teracung tepat di leher beserta seorang bretya* yang bernafsu untuk segera memisahkan kepala dengan badannya.
"Aku tak mengerti bagaimana kau bisa tersenyum sedangkan nyawamu sudah berada di ujung tanduk," ucap bretya itu dari balik topeng kayu yang menyembunyikan raut wajahnya.
Senyum si lelaki tergantikan dengan tawa lirih, sekali ia terbatuk lalu memuntahkan darah. Demi seluruh ilmu yang pernah dicecapnya, tak perlu membuka topeng kayu yang dikenakan bretya itu, karena sesungguhnya, ia tahu betul wajah yang tersembunyi di baliknya. "Dosa apa yang telah ayahmu lakukan sehingga kau berbalik menjadi hamba raja busuk itu, Nak?"
Ujung pedang tampak sedikit bergetar. Pegangan si bretya pada pedang menguat. "Pikirkan saja nasibmu sendiri, wahai pengkhianat."
Si lelaki mendengus. "Tanyakan pada dirimu sendiri, apakah ucapan tadi benar-benar keluar dari lubuk hatimu ataukah warta yang kau sadur dari orang yang mengirimmu untuk membunuhku?"
Bretya itu terdiam.
Tangan si lelaki meraih ujung pedang lalu meremasnya kuat. "Nah, sekarang, cepat ambil nyawaku agar ayahmu dapat dibebaskan dengan segera." Darah dari tangannya mengalir laksana aliran sungai. "Tapi, sebelum kau berhasil memutuskan leherku, aku punya satu permintaan terakhir."
Si bretya terdiam cukup lama sebelum akhirnya ia kembali bersuara. "Apa permintaan terakhirmu itu?"
Pandangan si lelaki kembali terarah purnama yang menggantung di langit. "Sampaikan pesanku kepada paramesywari Daha* bahwa aku akan selalu berada di sini. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku adalah lautan yang akan selalu memeluk purnama jika ia sendirian. Datanglah kepadaku jika ia membutuhkan sandaran." Ia tersenyum penuh kesungguhan. Bahkan ketika bretya itu menancapkan pedang ke jantungnya, senyumannya tak pernah pudar.
Seakan-akan berduka atas kematian si lelaki, purnama yang seharusnya bersinar menyinari semesta kini seolah menutup mata, diiringi oleh rintik hujan yang jatuh ke bumi. Angin pun berembus kencang pertanda badai akan segera datang.