Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #3

Realita memang selalu menyakitkan

Keesokan paginya, kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan berhasil menyadarkan Vivi dari alam mimpi. Begitu membuka mata, hal pertama yang ditemuinya adalah plafon bobrok yang dipenuhi noda bocor. Vivi duduk tergesa. Pandangannya bergulir ke tiap sudut dengan gelisah. Di mana ini? Ini bukan kamarnya.

Detik berikutnya ia mendenguskan tawa. Sudah hampir dua minggu ia tinggal di tempat ini tapi ia masih juga belum terbiasa. Dasar tolol!

Sebelum turun dari dipan, ia melirik sebentar ke arah jam yang tertempel di samping pintu. Pukul setengah lima. Itu berarti ia punya satu jam untuk bersiap sebelum Galih, anak mantan asisten rumah tangganya, menjemput.

Dua puluh menit ia habiskan untuk mandi dan berganti baju. Sambil mengeringkan rambut, ia pandangi cermin dalam diam. Gadis yang saat ini sedang menatapnya masih tetap sama, tetapi di wajahnya begitu banyak perbedaan yang kentara. Mata yang dulu bersinar cerah, kini dihiasi lingkaran hitam. Pipi yang dulu padat berisi sekarang menirus. Rambut yang dulu cokelat berkilau, kini terlihat kusam. Vivi tergelak, mengejek dirinya karena sempat tak mengenali wajah sendiri.

Ketika ia ingin mengambil sepatu, ponselnya yang tergeletak di meja ruang tamu tiba-tiba berdering. Pasti dari bibinya. Ia sudah bisa menduga orang kurang kerjaan mana yang menelponnya pagi-pagi buta. Karena enggan menjawab, Vivi sengaja membiarkan deringan itu sampai berhenti sendiri. Namun, harusnya ia sadar jika bibinya itu keras kepala. Belum ada semenit, kakak dari ibunya itu menelpon lagi.

"Ya, halo," ucapnya ogah-ogahan.

"Halo, Vivi. Kamu belum berangkat kerja, kan?"

"Baru mau berangkat. Kenapa memangnya?"

"Budhe mau ke sana. Biar kita sama-sama pergi ke tempat kerja kamu."

"Nggak usah. Aku bisa berangkat sendiri." Vivi buru-buru memutuskan sambungan. Peduli setan soal tata krama. Ia yakin sekali wanita tua itu akan membicarakan perjodohannya dengan lelaki yang eksistensinya saja tak Vivi ketahui.

Memangnya siapa mereka? Meski mereka telah resmi menjadi walinya sekarang, tapi mereka tidak berhak menentukan jalan hidupnya. Tidak setelah mereka memperlakukan ibunya dengan semena-mena. Lagipula, ini bukan lagi zamannya Siti Nurbaya yang rela menikah dengan kakek-kakek bau tanah demi menyelamatkannya dari hutang.

Ah, tapi kalau dipikir-pikir lagi posisinya saat ini juga tak jauh berbeda dengan Siti Nurbaya. Dia memang tak punya hutang, tapi kondisi finansialnya yang sedang carut-marut saat ini membuatnya patut dikasihani. Dan, ya, Vivi tak mau menampik fakta kalau ia memang butuh uang. Sungguh ironis.

"Neng Vivi, sudah siap belum?"

Panggilan Galih dari luar serta ketukan di pintu menyadarkan Vivi.

"Tunggu sebentar," balasnya sambil mengecek tasnya untuk terakhir kali. Mendadak kerutan dalam tercetak jelas di dahinya. Kartu tanda pengenal karyawannya tidak ada. Gawat. Kalau sampai kartu itu hilang ia bisa didenda. Ia tentu tak mau gajinya yang sudah sedikit itu berkurang.

Panik, Vivi menyisir tiap sudut di rumahnya itu dengan tergesa-gesa.

"Neng, Vivi." Galih memanggil sekali lagi.

"Ya, sebentar lagi!" Vivi tanpa sadar membentak. Galih yang mendapat sahutan tak menyenangkan otomatis menutup mulutnya.

Kartu sialan itu ada di mana, astaga?

Oke, sekarang ia harus tenang dan berpikir jernih. Seingatnya, semalam ia tidak mengeluarkan benda apapun dari dalam tas. Terlebih lagi, setelah pulang dari pantai ia langsung menjatuhkan diri ke atas kasur dan pingsan sampai subuh.

Tunggu sebentar. Itu berarti ...

Sial. Apa jangan-jangan kartunya tertinggal di pantai?

Vivi terkesiap lalu cepat-cepat menyambar tasnya yang tergeletak di atas sofa. Dengan terburu-buru ia memakai sepatu dan berlari menuju pintu.

Saat pintu menjeblak terbuka, Galih yang berdiri di depannya terperanjat, terlebih ketika mendapati wajah Vivi yang pias. "Neng Vivi kenapa?"

Bukannya menjawab, Vivi malah menodongnya dengan sebuah pertanyaan aneh. "Mas Galih, bisa bantu aku, nggak?"

"Ba-bantu apa, ya, Neng?" Galih memandang bingung.

"Ke pantai."

"Pagi-pagi buta begini? Mau ngapain?"

"Ada sesuatu yang ketinggalan di sana."

Galih mengernyit heran.

"Mau anterin nggak, Mas? Kalau nggak mau, aku naik ojek aja," desak Vivi tak sabar. Ia hendak berjalan mendahului Galih, tapi pemuda itu berhasil menahannya.

Lihat selengkapnya