"Maaf, tapi aku tak bisa mengabulkan permintaanmu yang itu."
Raut wajah Dimas mengeras. "Kenapa? Permintaan saya kan nggak menyalahi kehendak alam."
"Karena kau bisa menyalahi takdir.”
"Menyalahi takdir? Bagaimana bisa? Saya kan cuma minta kamu untuk menjaga seseorang. Apa yang salah dengan itu!" Tanpa sadar, Dimas membentak.
Si pria bersetelan hitam tersenyum samar. "Kau memintaku untuk menjaga seseorang. Dengan kata lain, jika seseorang itu mengalami musibah, kau berharap aku bisa membantunya, benar begitu?"
Dimas tak perlu menjawab karena ia menyetujui semua ucapan si pencabut nyawa.
"Perlu kau ketahui. Kelahiran, kematian, kemalangan, duka, anugerah; makhluk sepertiku tak bisa mencampurinya." Si pria bersetelan hitam mengakhiri penjelasannya dengan senyum pahit.
Dimas terdiam cukup lama, tetapi kemudian sekonyong-konyong ia tertawa. Tak ada yang lucu sebenarnya. Dia hanya tengah mentertawakan diri sendiri. Bisa-bisanya ia membuang-buang permintaan terakhirnya untuk Vivian, gadis yang belum lama dikenalnya. Seharusnya ia meminta keberkahan Yang Kuasa untuk ibu dan keluarganya. Namun, lihat sekarang. Ia malah bersikeras memohon perlindungan untuk orang asing. Ingat, orang asing! Ia menghela napas panjang setelah tawanya berhenti.
"Oke, kalau kamu memang nggak bisa. Kalau begitu, apa saya boleh mengganti permintaan?"
Si pria bersetelan hitam mengangguk.
"Ada sesuatu yang ingin saya berikan pada seseorang, tapi benda itu nggak ada sama saya sekarang. Kamu bisa temani saya pulang ke rumah buat ambil benda itu?"
*
Vivi tak ingat sudah berapa lama ia tergeletak di sini. Kemeja serta celana panjang yang dipakainya basah kuyup. Setelah memuntahkan semua isi perutnya, ia sudah tak ada tenaga lagi untuk kembali ke kamar. Bahkan untuk menggerakkan kaki saja ia tak ada daya, jadi ia membiarkan dirinya terendam air yang membanjiri lantai kamar mandi.
Tak tahan dengan dingin yang merasuk tulang, ia berusaha sekuat tenaga untuk duduk dan bersandar pada dinding berlumut. Pandangannya bergulir pada botol pembersih lantai yang teronggok tak jauh darinya. Dengan tangan gemetar ia meraih benda itu.
Dengan satu tarikan napas, ia bisa saja menghabiskan seluruh isi botol itu, lalu tidur selamanya. Namun, tidak, sepertinya Yang Kuasa belum mau membiarkannya meninggalkan dunia, karena tiba-tiba ketukan serta panggilan Nabila terdengar dari luar.
Gadis itu pun menghela napas sambil memandangi air yang tumpah ruah dari ember. Ia sengaja menunggu sampai Nabila bosan mengetuk dan memutuskan untuk pulang. Sayangnya, seperti halnya Galih, gadis kecil itu rupanya tak kalah keras kepala. Dengan kesal ia menyambar handuk yang tergantung di belakang pintu sebelum membukakan pintu untuknya.
"Kamu kenapa malam-malam ke sini?"
Nabila terkejut ketika mendapati penampilan Vivi. "A—anu ...."
Vivi menunggu dengan tidak sabar, sementara Nabila berkali-kali mencuri-curi pandang ke arahnya sambil bergerak-gerak gelisah.
Gadis kecil itu menatap handuk yang melingkar di leher Vivi sekali lagi sebelum berucap, "Si mbok suruh Nabil buat kasih besek ini ke Neng Vivi. Tetangga yang ada di ujung gang sana habis selamatan rumah. Oh, ya, Neng Vivi sudah makan?" ucapnya sambil mengangsurkan satu kantong plastik hitam berisi makanan. Melihat raut Vivi yang kurang menyenangkan, ia cepat-cepat menambahkan, "Ka—kalau Neng Vivi ndak mau juga ndak apa-apa, kok. Nabil bisa bawa pulang lagi."
Bohong. Bibinya tidak menyuruhnya mengantarkan besek itu. Yang sesungguhnya terjadi justru Nabila yang berinisiatif untuk memberikannya pada Vivi bahkan sebelum bibinya memerintah. Ia juga melupakan janji pada Vivi untuk tidak mengiriminya makanan lagi.
"Aku belum makan." Vivi lantas mengambil alih besek tersebut dari tangan Nabila. "Bilang terima kasih ke Mbok Sum."
Nabila mengangguk cepat. "Kalau begitu, Nabil pulang dulu, ya."