Keesokannya Angreni menghabiskan waktu di sungai untuk mencuci. Walaupun Dharmaja dan ibunda Rawisrengga telah melarang, ia tetap bersikukuh untuk mencuci semua pakaian kotor seorang diri. Rongga yang tak enak hati akhirnya menawarkan diri untuk membantu.
"Semalam, aku dengar ribut-ribut dari dalam rumah. Kau tidak apa-apa, Angreni?" tanya pemuda itu ketika keduanya hampir menyelesaikan tugas mencuci.
Angreni menggeleng. Keduanya kemudian terdiam cukup lama sampai gadis kecil itu tiba-tiba berkata, "Pagi-pagi sekali aku melihat-lihat keadaan sekitar sini, jika kau berjalan terus ke arah hulu sungai ini, kau akan menemukan sebuah air terjun kecil. Kau sudah pernah melihatnya, Raka?"
"Tidak. Di sana berbahaya. Banyak binatang buas. Jangan pergi ke sana lagi tanpa ditemani siapa pun, kau mengerti?" Rongga membawa keranjang penuh cucian yang siap dijemurnya. Tadinya Angreni ingin membagi sebagian isi dari keranjang bambu itu tapi pemuda itu menolak sambil berkelakar; ia mungkin akan dihajar Dharmaja jika ia membiarkannya membawa keranjang yang berat.
Rongga meninggalkan sungai terlebih dulu, karena Angreni bilang ia ingin mandi sebentar dan pemuda itu menurutinya tanpa banyak tanya.
Ada satu hal yang tak diketahui Rongga. Angreni berbohong. Setelah pemuda itu tak bisa lagi ditangkap matanya, ia memutuskan untuk pergi. Dirinya tersenyum puas saat tiba di sana. Air terjun ini tersembunyi di balik tebing bebatuan dan bukit-bukit kecil yang mudah longsor.
Tanpa buang waktu ia langsung mencelupkan kaki ke air. Rasa dingin langsung menjalar hingga ubun-ubun, tapi ia menyukainya. Ia lalu berjalan ke tengah. Ternyata tak terlalu dalam. Selama beberapa saat Angreni bermain air dan tak peduli jika kain yang membalut tubuhnya telah basah kuyup sepenuhnya.
Karena bosan, gadis kecil naik ke sebuah batu besar yang ujungnya menjorok ke air. Di atas batu itu ia duduk sambil menikmati pemandangan. Dahan-dahan pohon yang tumbuh tampak seperti pagar ditambah rumput dan tanaman perdu yang menyerupai tilam yang menyelimuti bumi. Cantik. Suara air terjun yang jatuh membentur bebatuan di bawahnya seperti alunan musik di telinganya. Rasanya damai dan tenang. Karena terlalu larut dengan lamunan, ia menggerakkan tubuhnya secara tak sadar. Meliuk-liuk indah, meniru tiap gerakan tari yang sering ia lihat di padepokan seni Paman Nawarsa dengan mata yang terpejam.
"Tarianmu indah."
Angreni terlonjak. Ia memutar tubuhnya dengan cepat. Sayangnya, permukaan batu itu begitu licin. Ia nyaris saja terjatuh jika seseorang di hadapannya kini tak menangkap tubuh mungilnya.
"Hampir saja."
Dia cepat-cepat melepaskan diri dari rengkuhan orang itu. "Maafkan aku, Raka Rawisrengga," ucapnya gugup.
Rawisrengga tersenyum geli. "Kenapa kau meminta maaf? Harusnya aku yang meminta maaf karena telah mengganggumu."
"Kau tidak mengangguku sama sekali," ucapnya sambil menunduk. Angreni bukannya takut akan sosok Rawisrengga, ia hanya merasa segan. Berbeda dengan Miruda yang menunjukkan kuasanya dengan kekerasan, pemuda di hadapannya ini menunjukkannya dengan cara mengayomi tapi tetap memiliki ketegasan yang membuatnya begitu dihormati.
Tawa kecil Rawisrengga mengalun. "Baiklah jika aku tidak mengganggumu." Ia memilih untuk duduk bersila di sebelah Angreni, membuat gadis kecil itu mau tak mau ikut bersimpuh di sampingnya.
"Sejak kau menyelamatkan Unengan tempo hari, aku belum berkesempatan untuk berterima kasih padamu." Rawisrengga menoleh dan menatap Angreni lekat-lekat. "Terima kasih. Berkat dirimu, adikku bisa selamat."
Angreni menunduk sedih. "Tapi berkat diriku juga kalian mendapatkan masalah sehingga harus bersembunyi di tempat ini," katanya merasa bersalah.
Tidak adanya kata yang keluar dari mulut Rawisrengga membuat Angreni was-was. Ia makin menunduk hingga rambutnya yang basah jatuh dan menutupi sisi wajahnya.
"Angreni," panggil Rawisrengga.
Angreni mendongak. Jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika Rawisrengga menyelipkan anak-anak rambutnya ke balik telinga. Perasaan asing apa ini? Rasanya menyenangkan tapi membuatnya gelisah di saat bersamaan. Dadanya berdegup kencang hingga membuatnya tak nyaman.
"Apa kau suka menari?" tanya Rawisrengga lagi.
Gadis kecil itu tidak berani menatap Rawisrengga. Dengan gugup ia mengangguk.
"Kau ini suka sekali menari di dekat aliran air, ya. Sewaktu di padepokan milik Paman Nawarsa pun kau sering sekali berlatih malam-malam di samping sungai."
Angreni terperanjat. "Kau tahu, Raka?"