Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #31

Rahasia

Angreni tak mengerti. Ada yang salah dengan dirinya. Semakin hari, perasaannya makin tak keruan saat melihat Rawisrengga. Awalnya ia hanya kagum akan kelihaiannya menari, bermain alat musik, dan bersajak; semua keterampilan seni yang pemuda itu miliki seolah-olah membuatnya seperti penggambaran paling sempurna dari Sang Hyang Wisnu. Namun, kini rasa itu berubah menjadi sesuatu yang membuat hatinya kacau.

Sementara itu, Unengan yang sedari tadi mengamati tingkah Angreni lantas tertawa kecil.  

"Apa ada yang lucu?" Angreni bertanya bingung. Dari tadi hal yang dilakukan mereka hanya lah memisahkan beras dengan sisa-sisa gabah. Tak ada yang sedang melawak di sini.

Unengan menggeleng dan tersenyum menggoda. "Tidak ada. Kau bisa istirahat sebentar, Kaka1. Beras yang kau tampi sudah cukup untuk makan kita seminggu," katanya sambil mengambil tampah besar dari tangan Angreni lalu meletakkannya di atas meja kayu.

“Baiklah.” Angreni menurut. Karena sekarang tidak ada yang bisa dikerjakan, ia memilih untuk memandang tanaman sayur-mayur beserta bunga-bungaan berbagai warna karena bagian belakang rumah yang mereka tempati ini berhadapan langsung dengan kebun. Unengan bilang, meskipun rumah ini tak ditempati selama bertahun-tahun, Paman Nawarsa masih tetap merawatnya dengan menyewa beberapa orang yang berasal dari desa terdekat.

"Kaka, sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu,” kata Unengan sembari menuangkan air untuk Angreni.

"Apa itu?

Unengan menimbang-nimbang sebentar pertanyaan mana yang harus ia utarakan. "Bagaimana rasanya hidup berpindah-pindah?" tanyanya setelah beberapa waktu ia terdiam. Ia memang sudah tahu beberapa hal tentang Angreni seperti bagaimana ia bisa pingsan di jembatan, lalu hubungannya dengan orang-orang yang pernah menculiknya, serta bagaimana awal hubungannya dengan kakaknya, Nilaprabangsa.

Angreni tertawa. "Tidak ada yang bisa kuceritakan karena memang hidup berpindah-pindah itu sangat tidak enak. Tiap waktu kau harus berhadapan dengan marabahaya seperti para penculik yang ingin menjadikanmu budak belian. Kau juga tidak memilik tempat yang layak untuk ditinggali."

"Tapi kau bisa pergi ke berbagai tempat, kan?"

"Memang. Tapi menurutku memiliki sebuah tempat untuk pulang lebih bagus."

Unengan terdiam. Dalam hati ia setuju dengan yang dikatakannya. Setelah beberapa saat bergeming, ia melirik ke arah Angreni yang tengah menikmati angin yang bertiup lembut. Helaian rambutnya terurai hingga luka bakar yang berada di pundak kanannya mengintip. Karena penasaran, dia menyentuh luka itu sampai membuat Angreni terlonjak.

"Astaga, kau membuatku kaget, Unengan."

"Apa masih sakit?"

Angreni memandang tak mengerti, tapi ia baru paham saat melihat arah pandangan Unengan tertuju pada punggungnya. Ia pun menggeleng. "Aku mendapatkan luka ini saat masih kecil, jadi tentu sudah tidak sakit lagi."

Unengan terlihat sangsi sebab luka di pundak Angreni terlihat ... agak mengerikan. Warnanya merah muda seperti daging segar dengan titik-titik putih yang tersebar acak. "Bagaimana kau bisa mendapatkan luka itu, Kaka?"

Gadis kecil itu terlihat ragu saat ingin menjawab pertanyaan Unengan. Pasalnya, ia mendapatkan luka ini bukan karena kecelakaan, melainkan ulah ibunya yang ingin menghilangkan rajah di pundak kanannya.

Seluruh anggota kelompoknya dulu memiliki tato di tempat-tempat tertentu, dengan tujuan sebagai penanda bagian dari kelompok. Tempat rajah yang ada di tubuh ditentukan melalui mimpi atau ramalan orang-orang yang dituakan di keluarganya—mereka menyebut hal itu sebagai perintah leluhur. Ia sendiri mendapatkan rajah di pundak kanan setelah salah seorang tetua bermimpi melihat dirinya membawa gunung di pundaknya.

Ia tak mengerti mengapa ibunya berniat untuk menghapus tato itu dari tubuhnya tepat setelah kematian ayahnya. Padahal dengan adanya tato itu ia bisa mencari keberadaan keluarganya yang tercerai-berai akibat letusan gunung beberapa tahun lalu.

"Aku tidak sengaja mendapatkannya saat bekerja sebagai budak." Angreni meringis dan berpaling ke arah lain karena tak sanggup melihat ekspresi Unengan, yang nampaknya, sangat percaya dengan bualannya barusan. Akan tetapi, karena hal itu ia lagi-lagi beradu pandang dengan Rawisrengga. Pemuda itu tersenyum kecil sebelum beranjak.

Melihat senyuman Rawisrengga, Angreni sempat terpana. Untungnya, ia cepat menguasai diri. Ia memusatkan kembali atensinya pada Unengan. "Kau tahu siapa orang yang datang menemui kakakmu dan Paman Nawarsa tadi?"

Lihat selengkapnya