Hal pertama kali yang dilihat Vivi setelah membuka mata adalah plafon klinik berwarna putih kusam. Ia melirik tangannya yang terhubung selang infus lantaran perih yang menjalar di punggung tangan. Dia samar-samar ingat kejadian tadi malam di mana ia meraung-raung kesakitan. Seperti yang bisa ia duga, penyakit lambungnya kambuh. Perutnya terasa ditusuk ribuan jarum. Sambil tersedu-sedu ia menelpon Mbok Sum, meminta pertolongan karena saat itu ia pikir ajalnya akan segera tiba.
Vivi seketika terbahak, menertawai ketololannya sendiri. Ia kira tadi malam akan menjadi hari terakhirnya di dunia, tapi hanya karena penyakit lambungnya kambuh ia sudah menyerah. Bagaimana jika ia betul-betul merasakan sakitnya dicabut nyawa?
Tirai penyekat ruangan kemudian terbuka, menampakkan Nabila dengan raut khawatir sekaligus lega. "Ah, syukurlah Neng Vivi sudah sadar. Mau Nabil panggilkan dokter?"
Ia menggeleng lalu memandangi bocah perempuan itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Nabila masih memakai seragam lengkap. Bahkan tas ransel miliknya masih tersampir di pundak.
Merasa diperhatikan, Nabila tersenyum canggung. "Neng Vivi, maafkan Nabil, ya."
"Kenapa kamu minta maaf?"
Nabila meremat-remat tangannya sambil menunduk. "Karena makan nasi berkat dari Nabil, Neng Vivi jadi sakit begini."
Vivi mengisyaratkan Nabila untuk mendekat. "Bukan salah kamu. Saya yang ceroboh."
Bocah perempuan itu mendongak dengan senyum merekah. "Benar?"
"Ya."
Nabila kemudian mengambil tangan kanan Vivi dan memijat-mijatnya lembut. "Neng Vivi lapar, nggak? Neng Vivi bilang aja, nanti Nabil beli ke kantin."
Gadis itu mencoba bangkit dari rebah dengan Nabila yang membantu. "Saya mau pulang,” katanya dengan sedikit memaksa.
Nabila menggeleng cepat. "Eh, ndak bisa. Neng Vivi, kan, masih sakit."
"Kamu lihat sendiri. Saya sudah sehat."
Bocah itu terlihat bimbang, tapi juga tak berani membantah. Tiap kali ia melihat mata Vivi, seperti ada dorongan asing dalam dirinya yang memerintahkannya untuk terus patuh, seolah-olah ia berhutang sesuatu yang besar pada anak mantan majikan bibinya itu. Setelah beberapa menit menimbang, Nabila kemudian menelpon Galih dan bibinya untuk meminta persetujuan.
Sempat terjadi perdebatan alot. Galih jelas tak setuju dengan keputusan tersebut, tapi Vivi tetap bersikeras, terlebih lagi dokter yang merawatnya telah mengizinkan. Lelaki itu akhirnya menyerah dan membiarkannya pulang ditemani Nabila.
Keduanya tiba di kontrakan tepat pukul dua siang. Begitu masuk rumah, Vivi dengan segera mengunci dirinya di kamar, meninggalkan Nabila di ruang tengah sendirian.
Mungkin ia ingin beristirahat, begitu pikir Nabila. Di ruang tamu, gadis kecil itu duduk merenung. Sekarang apa yang harus ia lakukan, menunggui Vivi sampai Galih pulang kerja? Ia tak terbiasa menunggu tanpa melakukan apa-apa. Setelah menyisir tiap sudut kontrakan tersebut, ia memutuskan untuk bersih-bersih rumah saja.
Saat ia mengepel lantai, Vivi akhirnya keluar kamar. Anak mantan majikan bibinya itu berjalan lurus tanpa menyapanya menuju kamar mandi. Tak mau ambil pusing, Nabila pun melanjutkan pekerjaannya hingga selesai.
Sekembalinya dari belakang untuk meletakkan alat pel, Vivi belum keluar juga. Ia mendadak gelisah. Bagaimana kalau terjadi hal buruk dengannya di dalam? Untungnya, kekhawatirannya tak terbukti karena yang ditunggu akhirnya keluar dengan rambut yang masih meneteskan air.
"Neng Vivi, mau Nabil bantu keringkan rambutnya, ndak?" tawarnya sambil tersenyum lega. Ia akan senang sekali jika Vivi mengiyakan, tapi kalau tidak mau, juga tidak masalah.
Tanpa disangka, Vivi mengangguk lalu memberikan handuknya kepadanya. Ia kemudian memimpin jalan untuk kembali ke kamar, lalu duduk di depan meja rias tua yang sengaja ditinggalkan oleh si pemilik kontrakan. Nabila tersenyum semringah. Pelan-pelan, gadis kecil itu mengusap lembut rambut Vivi yang basah.
Di lain sisi, Vivi melihat setiap pergerakan Nabila melalui pantulan cermin. Ada kerinduan yang tak bisa ia jelaskan, terlebih saat ia melihat lengkungan bibir bocah itu. Rasanya dulu sekali ia seperti pernah melihat senyum itu, tapi ia tak tahu kapan pastinya.
"Neng Vivi, Nabil boleh sisir rambutnya?"
Vivi mengangguk lalu kembali mengamati tiap gerakan yang Nabila lakukan. Sesekali bocah perempuan itu bersenandung, atau memuji betapa tebal rambutnya, atau berceloteh menjelaskan macam-macam produk rambut yang bisa mengembalikan rambutnya seperti sedia kala. Tanpa sadar ujung bibirnya sedikit terangkat.
"Neng Vivi padahal cantik banget kalau lagi senyum, lo. Mirip influencer. Siapa, ya, itu namanya ...."