Hanya ada dua wanita yang begitu berjasa di hidup Kanti. Yang pertama sudah tentu ibunya dan kedua adalah Angreni, yang ketika itu mengubah namanya menjadi Dyah1 Dewi Candrakirana dengan paras serupa apsara2. Ia memang tak pernah menjumpai apsara secara langsung, tapi mendengar dongeng-dongeng yang sering diceritakan oleh ibu tentang bagaimana indahnya wajah apasara serta kebaikan hatinya, ia yakin sekali Dewi Candrakirana adalah perwujudan apsara paling sempurna.
Ia masih ingat betul bagaimana Dewi Candrakirana membelanya mati-matian sewaktu Dyah Sastramiruda, adik Sang Maharaja menentang keputusannya untuk memberikannya tempat tinggal di pedepokan seni setelah ia kehilangan ibunya. Di pedepokan seni itulah ia belajar berbagai pengetahuan untuk bertahan hidup, mulai dari membaca dan menulis, menari, hingga bela diri.
Kebaikan Dewi Candrakirana tak hanya berhenti di situ. Setelah dirinya menceritakan semua kemalangan yang menimpanya, Dewi Candrakirana berjanji akan membalaskan dendamnya pada orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian ibunya. Atas jasa-jasa wanita itu, Kanti mendeklarasikan diri akan menjadi abdi yang paling setia. Ia akan ikut serta ke mana pun Dewi Candrakirana pergi. Bahkan, ia bersedia mati untuk melindungi sang Rajapatni.
Awalnya ia mengira wanita itu hanya penari biasa. Namun, semakin lama mereka bersama, ia tahu jika Dewi Candrakirana menyimpan begitu banyak misteri di balik wajahnya yang elok. Sebelum Sri Maharaja Sri Kamesywara naik takhta, ia tahu betul bagaimana perjuangan Dewi Candrakirana dalam membantu suaminya itu untuk merebut kembali kekuasaan di bumi Panjalu.
Dewi Candrakirana dulu dielu-elukan sebagai penari terbaik. Kepiawaiannya menari serta wajah cantiknya tersohor baik di kota maupun desa. Ia selalu menjadi sosok yang ditunggu-tunggu ketika rombongan seni mereka singgah di sebuah tempat. Di balik semua itu, Dewi Candrakirana merupakan mata-mata andal. Ia lihai mengorek informasi dari orang-orang yang terbius dengan tariannya. Bersama dengan dua pengawalnya, Suwing dan Rongga, ia menyamar, menyelinap di malam gelap seperti bayangan, dan bergerak seperti angin.
Selama penyamarannya sebagai mata-mata, berkali-kali ia menghadapi bahaya, seolah sang dewa kematian siap mengincarnya kapan saja. Namun, ia tak pernah gentar. Dewi Candrakirana memiliki kemampuan bela diri yang baik, terutama dalam urusan memanah. Kanti pernah sekali menyaksikan bagaimana Sri Kirana melenyapkan nyawa salah satu pihak musuh yang mengetahui identitasnya.
Selain mata-mata, Dewi Candrakirana juga turun ke medan perang sebagai salah satu pembuat strategi bersama dengan Dyah Nilaprabangsa. Tahun 1104 saka pertempuran antara pihak Sri Gandra dan Sri Kamesywara meletus. Pada perang itu, pihak Sri Kamesywara diuntungkan karena ia didukung oleh aliansi kerajaan-kerajaan vasal yang membelot dari pemerintahan Sri Gandra. Ditambah lagi istana dalam keadaan kosong karena Sri Gandra tengah menjalankan negosiasi dengan pihak Dharmasraya.
Semenjak beberapa tahun terakhir, Panjalu yang berada di Jawadwipa memang selalu terlibat perang dan konflik dengan Dharmasraya—kerajaan yang berhasil mengambil alih kekuasaan Sriwijaya yang berada diambang kehancuran. Alasannya? Tentu saja untuk memonopoli jalur perdagangan laut. Di saat-saat seperti inilah Sri Kamesywara mengambil keuntungan.
Pada akhirnya, pertempuran itu dimenangkan pihak Sri Kamesywara dan kekuasaan Sri Gandra atas Panjalu berhasil digulingkan. Seharusnya, hal itu menjadi salah satu pencapaian terbesar tapi semua berubah menjadi petaka karena Dewi Candrakirana kehilangan bayinya. Ya, saat pertempuran itu Dewi Candrakirana dalam keadaan mengandung dan hal ini hanya diketahui oleh Kanti. Dewi Candrakirana sengaja memerintahkannyauntuk tutup mulut dengan tujuan agar konsentrasi Sri Kamesywara tak terpecah.
Sri Kamesywara kemudian naik takhta di tahun yang sama. Dewi Candrakirana pun mendapat gelar resminya sebagai istri sah sang maharaja, yaitu Sri Paramesywari3.
Selama beberapa waktu, kehidupan Kanti terasa sangat damai, begitu juga dengan bumi Panjalu. Akan tetapi, semua mulai berubah ketika sang Maharaja mempersunting putri dari Janggala, Dyah Dewi Sekartaji yang dijadikan permaisuri kedua olehnya. Wanita itu lantas mendapat gelar dengan gelarnya Sri Mahadewi4. Entah mengapa semenjak saat itu, antahpuri yang seharusnya menjadi tanggung jawab Dewi Candrakirana perlahan berubah. Ia tak yakin perubahan ini baik atau buruk, tapi ia merasa ada hal yang tak beres terjadi di sini.
Awalnya, Kanti tak mempermasalahkan hal tersebut karena Dewi Candrakirana pun menyambut dengan sangat baik putri Janggala itu. Mereka berdua menjadi akrab dengan cepat. Namun, suatu ketika, Kanti tak sengaja mencuri dengar pembicaraanya dengan seorang acari yang dibawa Sri Sekartaji dari Janggala.
"Bagaimana caranya agar paduka Sri Maharaja hanya melihat padaku?"
Kanti terperanjat, tak menyangka jika Dewi Sekartaji bisa berbicara seperti itu. Sangat lancang. Tidakkah dia ingat segala kebaikan sang Rajapatni kepadanya? Rasa hormat Kanti seketika berubah menjadi rasa ketidaksukaan yang teramat sangat.
Di lain waktu, Kanti mendengar permintaan Dewi Sekartaji yang begitu di luar batas.
"Kelak, bisakah pengganti paduka Sri Maharaja adalah anak yang berasal dari rahimku? Aku tahu itu tidak mungkin karena aku hanyalah nomor dua. Tapi, sampai saat ini, aku tidak pernah berhenti berjuang. Mimpiku adalah kembali menyatukan Panjalu dan Janggala, dua saudara yang sudah lama berseteru. Hanya lewat rahimku itu semua bisa terwujud," ujar Dewi Sekartaji dengan pandangan mengawang.
Saat mendengarnya, Kanti sudah ingin memukul wanita itu, tapi kemudian ia teringat hal yang telah diajarkan Dewi Candrakirana; Wanita terhormat adalah wanita yang tahu adat. Ia pun mengurungkan niatnya.
Sejak saat itu, diam-diam Kanti selalu mengecek dua kali semua urusan Dewi Candrakirana agar tak ada hal yang mampu membahayakan keselamatannya, termasuk urusan makanan, minuman, dan obat-obatan. Tiap hari, bersama bantuan seorang acari yang ia percayai, Kanti akan mencicipinya terlebih dulu. Meskipun makanan, minuman, atau obat-obatan itu telah melewati pemeriksaan yang ketat, dia tetap tidak percaya. Jika ia mati, semua akan tahu jika makanan sang Rajapatni sudah diracuni, tapi jika tidak, semua yang tersaji untuk sang Rajapatni pasti aman.
Sayangnya, suatu hari, perbuatannya itu diketahui oleh dua orang selir rendahan, yang Kanti ketahui sebagai penjilat. Mereka selalu berlaku baik kepada Dewi Candrakirana, tapi di belakang, mereka membencinya.