Sudah beberapa hari Nabila menginap di rumahnya. Vivi sebenarnya tak mau mengakui, tapi berkat kehadiran Nabila semua terasa lebih baik. Selama beberapa hari belakangan bocah itu bertindak selayaknya asisten pribadi. Ia mengatur makannya, pakaiannya, bahkan sampai ke urusan membersihkan rumah.
Dengan keberadaan Nabila pula masalah-masalah yang menimpanya seolah-olah menguap. Kepalanya ringan karena tak perlu memikirkan kematian Dimas atau hal-hal sinting yang menimpanya beberapa waktu belakangan. Dirinya menganggap perjumpaannya dengan makhluk gaib di bukit serta penglihatan-penglihatan ganjil yang seenaknya datang itu tak pernah terjadi. Cuma halusinasi, karena dirinya terlalu lelah menghadapi masalah yang datang bertubi-tubi.
Kini, masalahnya hanya tinggal satu: Tante Dinar. Setelah pertemuan terakhir di rumah sakit tempat Dimas dirawat, bibinya itu tak pernah menghubunginya lagi. Baguslah.
"Neng Vivi beneran mau ke pasar sendiri? Ndak mau diantar sama Mas Galih aja? Nabila bisa berangkat sekolah sendiri, kok!"
Vivi mengernyit. Sudah lima kali bocah perempuan itu bertanya hal yang sama, yang tentu akan dijawab dengan kalimat yang sama pula olehnya bahwa dia bisa pergi ke pasar dengan ojek online. Nabil mengerutkan bibir, tanda dia masih tidak setuju. Di saat yang sama, Motor yang dikendarai Galih berhenti di depan pagar kontrakannya. Pemuda itu kemudian membuka kaca helm dan melambai sambil tersenyum lebar.
Selama beberapa hari ke belakang, Vivi menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Galih. Wajah pemuda itu tampak berseri-seri. Sejujurnya ia tak ingin menjadi orang culas, tapi ia merasa sangat terganggu dengan aura kebahagiaan yang menguar dari sekujur badan pemuda itu.
“Sudah sana kamu cepat berangkat. Nanti kalian telat,” kata Vivi sembari mendorong pelan bahu kecil Nabila.
Bocah itu menghela napas panjang. “Ya, sudah. Nabil berangkat dulu, ya. Hati-hati di rumah.”
“Bye,” balas Vivi kemudian.
Setelah motor yang membawa keduanya menghilang, ia pun bergegas mengambil dompet dan ponsel. Gadis itu sekonyong-konyong mendengkus geli. Alasan mengapa ia mau melakukan hal yang seumur hidup belum pernah ia lakukan, yaitu berbelanja ke pasar tradisional dan memasak di dapur dengan peralatan seadanya, adalah untuk membuat tangyuan.
Kemarin, tiba-tiba saja dirinya berkata ingin mencicipi tangyuan buatan rumah. Nabila yang tidak tahu bagaimana bentuk dan rasa makanan tersebut berniat untuk menelpon bibinya. Vivi pun memarahinya, tetapi itu tak berlangsung lama lantaran gadis itu buru-buru menjelaskan bahwa ia ingin membuat tangyuan sendiri dengan resep turun-temurun yang diajarkan ayahnya.
*
Galih tiba di tempat kerja setelah mengantarkan Nabila ke sekolah. Sewaktu memarkirkan motornya, suara klakson mobil dari belakang mengejutkannya. Ia pun berbalik dan mendapati Kris berlari menghampirinya, yang diikuti Bu Silvia dan suaminya.
"Kris, Kris behave." Bu Silvia mengingatkan, tapi terlambat karena Kris sudah lebih dulu menubruk tubuh Galih dan memeluknya erat.
Mendapat sapaan hangat di pagi hari membuat Galih tertawa. "Halo, apa kabar, Kris?"
Kris menggerung sebelum melepaskan pelukannya, lalu kembali ke mobil. Semua serba cepat dan tidak bisa diprediksi. Bu Silvia langsung meminta maaf atas tindakan keponakannya barusan. Galih tentu tak masalah. Ia malah senang diperlakukan sebagai teman oleh Kris.
Sejak dirinya menghadiri undangan makan siang dari Bu Silvia, secara ajaib Kris bisa menjadi akrab dengannya. Malam sesudah acara makan siang tersebut Kris memaksa Bu Silvia untuk menelponnya dan keesokan hariya ia bahkan ikut ke kantor hanya untuk memberikannya pelukan. Hal ini terus berlangsung sampai hari ini.
Sebelum Galih bertanya, Bu Silvia sudah lebih dulu menjelaskan bahwa pelukan adalah cara Kris berkomunikasi dengan orang yang ia percayai. Pada awalnya, Bu Silvia beserta suaminya memang terkejut, mengingat Kris biasanya sulit dekat dengan orang asing karena keterbatasannya berkomunikasi dan sifatnya yang tertutup.
Galih tersenyum hangat sambil melambaikan tangan ketika mobil yang ditumpangi Kris dan suami Bu Silvia menjauh.
Mobil itu lantas melaju menuju kawasan pasar. Suami Bu Silvia sempat melirik ke kursi penumpang hanya untuk memastikan kondisi Kris. Keponakannya itu terlihat sibuk memandangi langit, sesekali ia bergumam atau menggerak-gerakan tubuhnya. Sesekali ia menggerung sambil memukul-mukul tangan kirinya ke lutut, sementara tangan kanannya sibuk meremas-remas koran bekas.
Laki-laki itu tersenyum. Sudah sedekade lebih Kris tinggal bersama keluarganya. Selama itu pula mereka semua banyak belajar arti kesabaran, kasih sayang, dan juga keluarga. Dia pun mengulurukan tangan kirinya untuk menepuk-nepuk kepala keponakannya, sementara tangannya yang lain memutar kemudi untuk berbelok ke jalan besar.
Mobil yang mereka tumpangi kemudian melewati jajaran toko kelontong. Setibanya di pertigaan sekaligus pembatas kawasan pasar, tiba-tiba Kris berteriak sambil memukul-mukul pintu mobil.
"Kris, Kris, kenapa?" tanya suami Bu Silvia bingung, sedikit kalut.
Namun Kris makin histeris. Ia terus memukul pintu mobil, bahkan mulai membenturkan kepalanya ke jendela. Suami Bu Silvia dengan sigap menarik bahunya, tetapi malahh mendapatkan perlawanan. Kris mencakar dan menggigit tangannya, membuatnya harus melepaskan pegangan. Seyelahnya, Kris lagi-lagi menjerit dan membentur-benturkan kepala ke kaca.
Karena tak ingin Kris menyakiti dirinya lebih jauh, suami Bu Silvia keluar dari mobil lalu berlari ke sisi seberang dan membuka pintu penumpang, sebagai antisipasi agar ia bisa menjaga Kris yang kemungkinan bisa kabur.
Begitu pintu mobil terbuka, Kris langsung mendorong suami Bu Silvia hingga lelaki itu terjatuh dan berlari ke arah pasar. Ia kemudian berhenti di tengah jalan raya dan menoleh ke berbagai arah seperti mencari-cari sesuatu.
“Kris!” Suami Bu Silvia dengan cepat menarik Kris ke bahu jalan tepat sebelum sebuah sepeda motor menyerempetnya. “Kris sedang cari apa?” tanyanya dengan terengah-engah.