Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #37

Dendam

Meski telah ratusan tahun berlalu, tetapi Magani masih ingat bagaimana ia melihat sorot mata perempuan itu untuk pertama kali. Matanya tampak tenang, hitam, dan dalam. Mata seperti inilah yang ia takuti karena ia sama sekali tak bisa membaca apa yang terpancar dari jiwanya yang penulukh misteri.

Pagi itu, di Desa Angin, di tengah khidmat upacara penetapan sima, perempuan itu berjalan setengah membungkuk sambil membawa persembahan bagi pejabat desa dan kerajaan. Sama seperti sahaya lain, wajahnya tanpa riasan, kulitnya sawo matang, kain yang membungkus tubuhnya begitu sederhana; khas pekerja kasar.

"Siapa pun yang melanggar ketentuan sima, akan menerima ganjaran setimpal. Seperti ayam yang telah mati, ia tak akan hidup lagi. Seperti halnya telur yang remuk, ia tak akan bisa kembali. Seperti kayu yang terbakar, ia akan menjadi abu yang akan hilang terbawa angin. Dengan inilah Yang Kuasa dan para dewa menjaga tanah desa dan batas-batasnya." Demikian sumpah Pamgat Makudur1, sang pemimpin upacara, sebelum memotong leher seekor ayam dan memecahkan sebutir telur di atas sanghyang watu sima dan kulumpang2, lalu membasuhnya dengan air suci.

Di penghujung upacara, sang Pamgat Makudur bersujud kepada lingga yoni. Segenap hadirin serta-merta mengikuti tua, muda, lelaki, perempuan, kawula, pejabat desa dan kerajaan, bahkan sang putra mahkota dan Rakryan Kanuruhan yang menjadi pembawa perintah raja pun turut bersujud, menghaturkan sembah pada Yang Kuasa dan para dewa.

Desa Angin kini berubah status menjadi desa sima. Batu prasasti yang berisi segala bentuk anugerah raja dan peraturan sima kini telah terpancang sebagai pengingat bahwa para penarik pajak diharamkan memasuki desa ini selamanya, tak peduli sekali pun ia adalah maharaja yang bertakhta. Dalam prasasti itu juga sang maharaja, Sri Aryesywara, memuji keberanian kawula desa yang telah berani menghalau musuh serta membantu merebut kembali kekuasaan dari Sri Sarwesywara.

Upacara telah selesai. Perempuan bermata misterius itu bersama sahaya lain beranjak pergi, menyisakan keresahan di hati Magani. Akankah ia bisa bertemu lagi dengannya?

*

Seharusnya sisa hari itu mereka gunakan untuk berpesta. Makan sampai perut tak mampu menampung, minum minuman keras sampai mabuk, menari, dan bersenang-senang sampai pagi, seperti yang sering dilakukan ketika perayaan-perayaan lain digelar. Akan tetapi, tidak bagi Magani. Malam itu, ia mendapatkan penghinaan terbesar dalam hidup oleh kakaknya sendiri.

Sudah menjadi rahasia umum jika kehadirannya tak diakui. Ibunya hanya seorang hamba sahaya yang tak sengaja ditiduri oleh salah satu orang berpengaruh di ibu kota. Statusnya sebagai anak haram bagai pedang bermata dua. Tak dapat dipungkiri kelahirannya telah mengangkat derajat sang ibu, tapi di saat yang bersamaan kehadirannya merupakan bahan olok-olok anak-anak sah ayahnya, terutama Pu Watabwang muda.

Pu Watabwang dalam keadaan mabuk berat saat ia mendengar berita Angreni kabur, ditambah lagi usaha haram yang dilakukannya diobrak-abrik oleh orang tak dikenal. Ia memukulinya di hadapan para pejabat dari ibukota, mencerca dirinya dan ibunya dengan sebutan paling hina.

Dengan tertatih-tatih Magani keluar dari penginapan dan baru berhenti saat kakinya dirasa tak sanggup untuk melangkah. Di bawah naungan pohon beringin besar, Magani menyandarkan tubuh penuh luka.

Di ambang batas kesadarannya yang makin menipis, tiba-tiba seorang perempuan berjongkok di hadapannya. Perempuan itu kemudian memeriksa denyut nadi serta napasnya tanpa banyak bicara.

Magani memandang perempuan itu susah payah, karena kelopak matanya yang membengkak dan nyaris menutupi penglihatan. Sayangnya, ia tetap tak bisa menangkap wajah si perempuan.

Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, samar-samar ia bisa mendengar sebuah suara yang memanggil-manggil dari kejauhan. "Rayung! Apa yang kau lakukan? Cepat kemari."

Dirinya tersadar keesokan harinya. Ia tak pernah menduga hal pertama yang tertangkap matanya sosok perempuan bermata misterius yang ia lihat pada saat upacara. Perempuan itu tertidur dengan posisi duduk di bawah sambil menelungkupkan kepala di tepi ranjang. Merasa ada pergerakan dari Magani, perempuan itu pun terbangun.

"Kau sudah sadar, Tuan?" Pertanyaan ini yang pertama kali mengalun dari bibirnya yang penuh senyum.

Magani terkesima. Diam-diam ia menyadari luka-luka di tubuhnya telah diobati. Apakah perempuan itu yang menemukannya semalam dan mengobatinya?

Perempuan itu menggeleng kecil dengan senyum masih tersungging di bibirnya. "Sepertinya kau belum sepenuhnya sadar, Tuan. Baiklah, hamba akan membawakan obat untukmu."

Sebelum perempuan itu sempat berdiri, Magani sudah lebih dulu menahannya. "Jangan pergi."

"Hamba hanya pergi mengambil obat. Hamba tidak akan meninggalkanmu, Tuan. Tenang saja." Perempuan itu kemudian melepaskan genggaman Magani pada lengannya.

Magani melihat punggung perempuan itu menghilang di balik pintu. Rupanya perempuan itu tidak berbohong karena tidak lama ia kembali sembari membawa mangkuk kayu berisi cairan kental berwarna keruh.

"Minumlah, Tuan. Dalam waktu dua hari, hamba jamin luka-lukamu itu akan mengering. Resep ramuan ini didapat dari negeri yang berada jauh di timur sana."

Magani tak segera meminumnya. Mangkuk di tangan hanya dia lihat penuh curiga.

Tanpa aba-aba, perempuan itu mengambil mangkuk di tangan Magani lalu meminumnya seteguk. "Lihat, hamba baik-baik saja, kan? Kau bisa memercayaiku, Tuan," ucapnya, lalu memberikan lagi mangkuk itu pada Magani.

Cairan kental pahit itu langsung habis dalam satu tegukan besar. Magani sempat terbatuk dua kali sebelum mengembalikan mangkuk itu pada si perempuan.

"Sekarang Tuan hanya perlu berbaring. Hamba pastikan besok Tuan sudah bisa kembali ke ibukota.”

Magani terkesiap. "Kau tahu siapa aku?"

Perempuan itu pun berdiri dan tersenyum kecil. "Siapa yang tidak mengenalmu, Tuan. Kakakmu adalah orang kepercayaan putra mahkota negeri ini.”

"Kalau dirimu telah mengetahuiku. Pantaskah kalau aku tak mengenal siapa penyelamatku?"

"Tuan bisa memanggilku Rayung dan hamba adalah salah satu pelayan rama desa ini."

Lihat selengkapnya