Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #38

Tabir Kutukan

Pernikahan mereka telah berjalan lima tahun. Pasang surut biduk rumah tangga telah mereka lewati. Tak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaan yang ia miliki, meskipun ia juga belum dikaruniai keturunan. Terkadang terselip rasa iri ketika ia melihat kawan-kawannya mengelukan berbagai perkembangan putra-putri mereka. Namun, ia tentu tak akan menyalahkan Rayung. Ia dan sang istri dinyatakan sehat oleh walyan. Dia akan sabar menunggu sampai Yang Kuasa memberikan mereka kepercayaan.

Selama lima tahun juga keadaan istana makin memanas  Beberapa tahun setelah kenaikan Sri Gandra sebagai putera mahkota, tersiar kabar jika ia adalah putra pertama raja yang tak diinginkan kelahirannya. Pernikahan kedua orang tuanya merupakan pernikahan politik yang saat itu akan menguatkan posisi kakeknya, Sri Warmeswara. Namun, beberapa waktu berjalan, kedok keluarga ibunya terbongkar. Mereka adalah orang-orang haus kekuasaan yang mengupayakan segala cara demi mendapatkan segalanya. Kejahatan mereka sudah tak terhitung jumlahnya, salah satunya adalah menyelewengkan dana pajak.

Seluruh keluarga ibunya diadili dan diasingkan ke daerah pesisir selatan yang berbatasan langsung dengan Kamal Pandak. Tidak sampai setahun mereka semua mati. Menurut laporan penjaga mereka meninggal karena sakit lepra. Namun, siapapun bisa menduga kalau mereka telah dieksekusi oleh pasukan khusus raja.

Karena statusnya yang masih menjadi salah satu keluarga utama istana, sang ibu tak diasingkan, tetapi sebagai gantinya ia dinyatakan sebagai tahanan kota. Hari demi hari kehidupan ibu Sri Gandra semakin menyedihkan dan pada akhirnya ia bunuh diri setelah melahirkannya.

Isu yang beredar di ibukota rupanya tak hanya sampai di situ. Orang-orang menyebut kenaikan Sri Gandra merupakan konspirasi kotor sehingga semua pejabat menaruh curiga padanya. Bisa jadi kematian putra mahkota sebelumnya adalah ulah dirinya.

Mendengar desas-desus itu, Sri Gandra tak pernah merasa risau. Ia bahkan dapat membuktikan bahwa ia pantas menjadi putra mahkota dengan berhasil meluluhlantakkan pos-pos yang diduduki pemberontak. Dia juga mampu menghalau tentara Dharmasraya yang tiba-tiba menyerang di laut.

Karena semua kemenangan itu, Sri Aryesywara menghadiahkannya pasukan pribadi. Beberapa pejabat kerajaan yang mendukung raja memandang hal ini sebagai sebuah bentuk penghinaan. Namun, sang raja yakin bahwa anaknya itu tak akan mungkin bisa mengalahkannya. Apa yang bisa dilakukan seekor anak ular? Mengalahkan naga?

Konflik di istana makin kuat. Dua kubu yang berseberangan, mereka yang mendukung Sri Gandra dan pejabat yang masih setia dengan Sri Aryesywara, makin terlihat saling menjatuhkan. Magani dalam waktu dekat Sri Gandra akan mengkudeta ayahnya. Tinggal tunggu waktu saja.

Yang Magani pikirkan akhirnya menjadi kenyataan. Sri Gandra memang telah merencanakan kudeta terhadap ayahnya. Jalan pertama yang diambil olehnya adalah mengambil benteng yang berbatasan denga Janggala.

Di tengah rapat di balai pertemuan, Sri Gandra tiba-tiba berdiri. Dengan lantang dan percaya diri ia membuat sebuah sumpah bahwa ia akan merebut kembali Janggala.

Keributan terjadi. Banyak pihak-pihak yang menyatakan tindakan ini terlalu gegabah. Namun, tak sedikit juga yang mendukung keputusan Sri Gandra. Ibarat semut di ujung lautan dapat dikalahkan, tapi gajah di depan mata tak tersentuh sama sekali. Selama ini Panjalu memang tidak pernah berhasil menaklukan Janggala. Sudah saatnya bagian timur Jawadwipa disatukan kembali di bawah panji-panji Panjalu, seperti dulu saat Airlangga berkuasa.

Di atas singgasana, Sri Ayesywara yang tengah duduk bersila tertawa. "Apakah kau bisa berjanji padaku untuk pulang dengan selamat setelah menyerang benteng itu?"

Sri Gandra tersenyum. "Aku bukan hanya akan pulang dengan selamat. Tapi aku juga akan berhasil merebut kembali Janggala untukmu." Ia berhenti sejenak, lalu berdiri dan bersedekap, meninggalkan kesan menantang di mata para hadirin di balai pertemuan itu. Ia kemudian melihat satu per satu pejabat kerajaan yang tengah duduk bersila. "Jika aku berhasil kali ini. Apa yang akan kau hadiahkan padaku?"

"Aku akan mengabulkan seluruh permintaanmu."

"Bagaimana jika aku menginingkan singgasana itu."

Sri Aryesywara juga ikut bersedekap. Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Mereka berdua terlihat begitu mirip satu sama lain. "Sebuah negara tak menginginkan dua penguasa, Anakku.”

"Aku tahu. Tapi aku tetap menginginkan itu, Yang Mulia."

Api peperangan antara ayah dan anak itu makin membesar dan tak terhindarkan.

Magani yang awalnya hanya menjadi kacung Pu Watabwang mau tak mau harus memihak Sri Gandra. Tugasnya saat ini bukan hanya sebagai wli wasya dan pengawas gudang keluarga, tapi dia juga ditugaskan untuk mengurus pabrik senjata rahasia yang terletak di hutan tak terjamah, tepat di daerah lungguh1 Sri Gandra.

Pabrik senjata ini adalah rahasia kemenangan-kemenangan yang diraih Sri Gandra di dalam pertempuran. Karena senjata-senjata itu dibuat oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan tinggi mengenai bidang tersebut; Mereka adalah orang-orang Lwaram yang dulu ditangkap oleh Pu Watabwang.

Magani berjalan di jalan penuh lumpur, di belakangnya sepuluh orang bawahan Pu Watabwang menyertai, melewati gubuk-gubuk tak layak huni berjajar seperti kandang sapi. Aroma tempaan logam menguar di udara membuat dada berat.

Ia terus melangkah sampai di sebuah bangunan utama di kompleks pabrik. Pintu kayu lapuk itu ia dorong dengan satu tangan. Pemandangan menyedihkan langsung tersuguh di depan mata. Para Laki-laki kurus dengan tekun menempa lempengan-lempengan besi. Wanita-wanita lusuh memahat kayu-kayu yang akan dijadikan gagang pedang, sementara anak-anak mereka bertugas menimba air dari sumur lalu membawanya kemari.

Tiba-tiba, seorang wanita datang sambil menangis dan bersimpuh di hadapannya.

"Tuan, tolong hamba. Tolong datangkan walyan ke sini. Anakku sakit keras." Wanita itu menunjuk-nunjuk balai-balai reyot di pojok ruangan. Di atas balai-bali itu seorang bocah lelaki terbaring meringkuk. Tubuhnya menggigil hebat yang disertai batuk yang tidak kunjung reda.

"Enyahlah!" Magani menendang wanita itu hingga tersungkur.

Namun, wanita itu tetap teguh pada pendiriannya. Ia beranjak, lalu memeluk kaki Magani. "Tuan, tolong hamba. Kalau tidak, anakku akan mati."

Lihat selengkapnya