Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #39

Dilalap Api

Campaka nama gadis itu dan Rayung tak pernah menyangka jika keputusannya menerima ajakan itu mampu mengubah total hidupnya.

Mulanya Campaka memperkenalkannya pada sekelompok gadis muda dan Rayung sudah bisa menebak apa pekerjaan mereka. Setiap malam, layaknya bunga yang baru mekar, gadis-gadis itu akan memanggil para kumbang untuk mendekat. Dengan senyum menggoda, mereka akann menghabiskan malam panjang, mabuk, bersenang-senang dan menari sampai pagi. Dia ragu. Kelompok ini pastilah sama seperti kelompok-kelompok penghibur lain, jadi apa keuntungan baginya? Namun, tanpa diduga, seorang pria mencuri dengar percakapan mereka.

Pria itu menyebut dirinya sebagai ketua kelompok. Rayung memandangi pria itu lekat-lekat. Penampilan pria itu begitu garib. Rambutnya dipangkas habis seperti wiku, yang ditutupi destar berwarna ungu—warna yang tak lazim dipakai oleh pria. Ia juga memakai kain dan sabuk bercorak emas sebagai penutup bagian bawah tubuh. Jika dilihat baik-baik, semua yang menempel di badannya pastilah memiliki harga yang tinggi.

"Senang bertemu denganmu Rayung," sapa pria itu.

Rayung hendak menolak tawaran Campaka, tapi sang ketua keburu memotong. Ia lalu menjabarkan berbagai iming-iming yang membuatnya tergiur. Setelah menjadi anggota, tiap gadis akan menerima keterampilan merias dan merawat tubuh, pelajaran tata krama dalam bertutur serta berlaku, bahkan mereka akan diajari baca tulis langsung oleh ketua. Bukankah tak ada alasan baginya untuk menolak?

Dia lantas menyetujui ajakan si pria. Dalam waktu singkat ia mendapatkan kehidupan yang selalu ia dambakan; rumah sederhana yang bisa ia tempati serta makanan untuk ibu dan adik-adiknya yang selalu tercukupi. Ia bekerja dengan senang hati, menunggu para lelaki yang menyewa mabuk dan tidak bisa bangun lagi. Mereka mulai menelanjangi sampai tak tersisa, mengambil semua yang berharga. Kelompok ini melakukan ini berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah secara acak, sehingga gerakan mereka tak mudah dilacak.

Namun, tak ada laut yang tak berombak. Meski imbalan yang ia terima begitu tak terkira, Rayung sadar kalau pekerjaannya ini begitu berbahaya. Bagai menantang maut tiap malam. Tidak ada yang tahu apakah ia bisa melihat matahari pagi esoknya. Terlebih sang ketua pernah mengatakan jika terjadi sesuatu pada anggota, ia tak akan menanggung risiko. Apa setelah mengetahui hal ini dia akan berhenti? Tentu tidak. Ia yakin selama ia bisa menjaga diri sebaik mungkin, ia pasti aman.

Rayung memejamkan mata sambil menikmati semilir angin. Sejauh mata memandang ia hanya bisa melihat sungai yang mengalir tenang serta kapal-kapal yang hilir-mudik membawa berbagai muatan. Mereka hampir tiba di Lodaya1. Sesuai rencana, mereka berangkat menumpang kapal-kapal pedagang yang mengarungi bengawan Brantas. Lodaya, yang ia tahu, ialah kota yang terletak di wilayah Kamal Pandak. Dulu, kota ini merupakan ibukota Lodoyong. Selepas Lodoyong runtuh, kota ini menjadi daerah otonom yang tak terikat dan tidak memihak Panjalu maupun Janggala.

Di Lodaya, siapapun bisa dengan mudah keluar masuk. Hanya ada dua hal yang diwajibkan kepada orang asing yang masuk ke daerah ini, yaitu membayar pajak dan mematuhi hukum yang berlaku. Ada alasan mengapa kota ini begitu istimewa. Pada masa pembelahan Medang jadi dua—yang menghasilkan Panjalu dan Janggala, dengan bengawan Brantas sebagai batas, Lodoyong menentang keras.

Sang penguasa wanita dari Lodoyong yang perkasa menggempur Medang sehingga sang raja, Airlangga, terpaksa terpukul mundur dari istana. Sayangnya, kemenangan tersebut tak berlangsung lama. Airlangga pun menyerang balik. Ia berhasil melumpuhkan Lodoyong sekaligus penguasa wanita itu dalam sekejap. Sebuah perjanjian disepekati setelahnya; kota Lodaya tak akan dihancurkan dengan syarat harus menghormati kekuasaan Panjalu dan Janggala tanpa pandang bulu.

Rombongan Rayung akhirnya tiba di sebuah penginapan yang berada di area paling selatan kota setelah melalui perjalanan panjang dari dermaga. Ia tersenyum sambil memasuki penginapan. Akan tetapi, rasa gembiranya mendadak tergantikan. Ia sempat takjub ketika pemilik penginapan menyambut hangat dari depan gerbang. Ada banyak makanan dan minuman yang berjajar rapi di meja, belum lagi kamar-kamar bersih yang khusus disediakan untuk mereka.

Apakah ketua kelompok mengena pemilik penginapan? Ia menatap kedua pria itu dengan rasa penasaran membucah. Layaknya teman lama, keduanya bercakap-cakap di halaman belakang sambil tertawa-tawa.

Malam harinya, mereka dijamu dengan berbagai hidangan laut yang menggugah selera. Selagi mereka larut dengan jamuan itu, dari kejauhan sayup-sayup terdengar derap kaki kuda. Makin lama, suara itu makin dekat, lalu berhenti. Tak lama dari pintu muncul empat pria; satu lelaki setengah baya, dua pemuda, serta satu anak lelaki—yang ia taksir usianya tak jauh beda dengannya. Mereka lalu berjalan lurus menuju sebuah meja yang letaknya cukup jauh dari pintu. Satu persatu dari mereka mulai membuka mantel kulit hewan tebal yang membungkus tubuh diikuti dengan topi caping lebar sebagai penghalau angin malam, menyisakan kain panjang sewarna kayu yang melingkar menutupi wajah bagian bawah sampai bahu.

Sesungguhnya, tak ada yang aneh dengan mereka. Mereka terlihat sama seperti pengembara lain. Namun, dari keempatnya, ada satu orang yang benar-benar menarik perhatian Rayung. Pemuda itu memakai ikat kepala cokelat dengan rambut lurus yang digelung. Di punggungnya yang kuning langsat terselip keris yang tampak perkasa. Ia masih muda, mungkin baru memasuki tujuh belas atau delapan belas, usia di mana laki-laki sepatutnya telah menikah.

Selama beberapa saat Rayung tak bisa mengalihkan perhatian darinya, tapi ia sedikit kecewa karena pemuda itu tak kunjung menampakkan wajah. Mengapa wajah mereka yang ditutupi seperti itu? Apakah mereka pelarian atau pencuri?

"Raka Rawisrengga. Apa kau sudah yakin dengan keputusan ini?"

Samar-samar Rayung bisa mendengar si anak lelaki memanggil pemuda itu.

Lihat selengkapnya