Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #40

Hukuman

Hal ini sungguh di luar bayangannya. Bagaimana bisa jadi begini? Di mana ibu dan adik-adiknya? Bagaimana kabar mereka? Ada begitu banyak pertanyaan yang tumpang tindih di kepalanya. Semuanya sangat tiba-tiba sampai ia tak memiliki waktu untuk berpikir. Di penjara kecil yang gelap dan pengap ia bersama sisa anggota kelompoknya ditahan. Keberadaan keluarga mereka tak diketahui.

Rayung menatap satu persatu wajah para tahanan, tapi ia tak mendapati gadis yang tempo hari mengajaknya bergabung. Tawanya berkumandang. Tawa kecut yang sarat kekesalan dan amarah. Jadi, inikah yang dimaksud dengan 'menanggung risiko sendiri'?

"Aku tidak akan memaafkan ketua kelompok. Jika aku bertemu lagi dengannya. Dia akan kubunuh!" Rayung meraung untuk mengeluarkan dendam yang bergumul di dada.

Entah sudah beberapa hari mereka ditahan, Rayung sendiri telah kehilangan hitungan. Selama di penjara mereka diselidiki, dianiaya bagai hewan, dipukuli sampai banyak yang tak sadarkan diri. Di saat semua anggota kelompok hanya bisa meratapi nasib, hanya Rayung yang mampu berteriak, memaki, meminta pertolongan dan keadilan. Tak lupa mencoba segala upaya untuk melepaskan diri. Pergelangan tangannya, yang terikat tali rami, sudah tak berbentuk lagi akibat bergesekan dengan permukaan tali yang kasar. Tubuhnya penuh luka. Darah yang keluar bercampur dengan debu dan kotoran, terlihat sangat menyedihkan.

Saat tiba hari persidangan. Sejumlah penjaga mendatangi mereka. Dengan tangan terikat dan mata tertutup kain hitam, mereka semua dibawa ke ruang sidang di mana nasib hidup mereka nantinya ditentukan.

Rayung dan kelompoknya jatuh berlutut setelah didorong oleh para penjaga. Kain yang menutupi pandangan dilepaskan. Wajah ketakutan para pesakitan tergambar jelas. Lesu bagai nyawa telah hilang dari raga. Ruang persidangan itu seperti beratus kali lipat lebih besar, lebih sunyi, dan lebih menakutkan. Aroma kemenyan yang menguar di udara yang seharusnya menenangkan, tapi hari ini entah mengapa membuat isi dalam perutnya meronta agar dikeluarkan. Pada sisi kiri-kanan ruangan, masing-masing lima orang penjaga berdiri dengan tombak, pedang, dan perisai di tangan. Di tengah ujung ruangan, di atas panggung kayu luas, seorang hakim bersama dua penuntut dan pencatat duduk bersila dengan sebuah meja jati berukir menjadi pembatas antara mereka dan para terdakwa.

Hakim agung yang bertugas di sidang hari ini adalah hakim dikenal sebagai hakim andal sekaligus teman masa kecil raja. Pu Jayasmara Sang Apanji Munida namanya.

Pu Jayasmara menyisihkan sirih yang sedari tadi dikunyahnya lalu meludah di atas dubang1 sebelum berkata, "Kalian tahu, hukuman untuk para pencuri selain menjadi budak adalah dihukum mati."

Semua terdiam, panik dan gelisah, tapi tidak untuk Rayung. Ia tiba-tiba berteriak, lalu merangsek menuju para majelis hakim berada. "Lepaskan ibu dan adik-adikku! Aku tidak akan menerima dan mengakui kesalahan, jika mereka tidak selamat!"

Dua petugas keamanan menyergap. Lutut dipukul hingga ia terjatuh. Dengan sisa-sisa kemarahan, Rayung berteriak kesakitan seraya menyumpah-serapah. Pu Jayasmara menatap Rayung dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Kemudian ia membuka catatan yang telah disiapkan sebelumnya. "Rayung, namamu. Ayahmu pergi dengan wanita lain sehingga ibumu jadi hilang akal dan kau memiliki dua adik perempuan."

"Kembalikan ibuku!" Rayung kembali berteriak. "Aku... aku... aku akan melakukan apa saja, apa saja. Asal ibu dan adik-adikku bebas. Bahkan jika aku harus mati sebagai budak raja, aku siap. Ya, sku siap ... Bahkan, bahkan aku siap jika aku bunuh diri di medan perang. Gunakan aku ... ya, gunakan aku sebagai pancingan musuh. Aku bersedia. Aku bersedia." Ia mulai meracau, tak peduli apakah kalimat yang keluar dari mulutnya bisa dimengerti atau tidak, yang jelas, ia hanya ingin melihat ibu dan dua adiknya. Itu saja.

"Kau jelas tidak bisa mengelak dari kejahatan yang sudah kau lakukan, Nak." Pu Jayasmara kemudian melanjutkan, terlebih dahulu membaca semua identitas semua tahanan.

Namun, jalannya sidang mendadak diinterupsi karena kehadiran seorang penyampai pesan raja. Semua orang seketika menyembah. Raja bersabda jika semua terdakwa yang berada di ruangan itu diampuni, tapi sebagai gantinya mereka semua akan dipekerjakan sebagai budak di istana.

Sang hakim agung menerima perintah itu sambil tersenyum dan diam-diam melirik Rayung, yang dibalas sorot kebencian mendalam. Rayung yakin ada maksud tersirat dalam senyuman hakim itu.

*

Hari itu adalah titik balik dalam kehidupan Rayung. Atas kebijakan raja, mereka semua ditempatkan di barak budak dengan Pu Jayasmara yang ditugaskan sebagai pengawas. Ia lalu dipekerjakan di tempat pemintalan benang milik istana. Di sini ia bekerja seorang diri, sementara anggota kelompok yang lain tersebar di berbagai biro yang berbeda, seperti peternakan dan instal kuda atau perkebunan serta sawah milik raja.

Rayung memeras keringat tanpa henti. Mulai dari fajar menyingsing sampai malam larut ia harus membersihkan kapas-kapas setelah dipetik, menjemur, lalu memintalnya jadi benang. Kemudian, benang-benang itu akan dikirim ke biro pewarnaan dan penyulaman. Ia akan selalu tersenyum tiap kali adik-adiknya bertanya apakah ia lelah, yang biasanya akan diikuti dengan jawaban: tidak apa-apa, meski ia tak diberi upah sama sekali, yang terpenting masih ada jatah makanan untuknya, ditambah ia bisa berkumpul kembali bersama ibu dan adik-adiknya. Sejujurnya ia tak merasa seperti itu. Ia takut jika ancaman Pu Jayasmara yang ingin membunuh adik dan adik-adiknya jadi kenyataan.

Seusai sidang hari itu, Pu Jayasmara mendatangi semua tahanan sambil menggenggam kelemahan mereka. Satu nyawa milik salah satu keluarga kelompok telah melayang karena bagai bukti bahwa ancamannya tak main-main.

Dia pikir mungkin inilah akhir kisah hidupnya. Bekerja sampai mati sebagai budak istana. Andai ia bisa membebaskan ibu dan adik-adiknya. Tak apa jika dirinya harus berkorban. Ia sudah menerima semua yang digariskan untuknya.

Lihat selengkapnya