Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #41

Untaian Maaf

Rayung melirik ibu mertuanya sekali lagi. Dadanya masih bergerak naik-turun dengan teratur, matanya tetap terpejam damai. Ia mungkin tak akan bangun sampai petang. Karena ia sudah sangat terlatih, mudah baginya untu pergi tanpa membuat keributan.

Pintu rumah rumah ditutup rapat. Dengan langkah cepat ia menuju gerbang. Empat anak tangga batu gapura ia turuni, di saat yang sama, suara kentungan bertalu-talu dari arah alun-alun balai desa sebanyak lima kali. Sudah masuk ghatita lima[1]. Masih ada jeda dua ghatita sebelum suaminya pulang.

Langit di atas kepala masih kelabu, matahari masih bersembunyi, tapi hujan sudah berhenti. Seraya mengangkat sedikit kain yang membungkus tubuh bagian bawah, Rayung melangkah menyusuri jalan. Kaki-kaki telanjangnya berjengit tiap kali ia merasakan genangan air hujan. Ia memeluk tas rotannya erat sekaligus merapatkan mantel guna menghalau hawa dingin sampai ke tulang. Siang ini tak banyak yang berlalu-lalang, ia hanya menjumpai beberapa gerobak-gerobak yang ditarik lembu milik petani dan pedagang.

Rayung kemudian berbelok ke utara setelah melewati alun-alun. Sepanjang perjalanan yang bisa ia lihat hanyalah hamparan tegalan-tegalan dan sawah-sawah yang padinya mulai menguning serta pemandangan Gunung Pawinihan. Sepi menyelimuti, tetapi hal itu tak berlangsung lama. Semua berubah setibanya di pusat kota Daha. Dirinya langsung bisa merasakan ingar bingar orang yang sibuk dengan urusan masing-masing.

Daha merupakan tempat termegah di Panjalu. Tembok batu berukir yang memisahkan istana raja dan keluarganya dengan dunia luar, ditambah dengan telaga, taman, dan kanal merupakan bukti yang tak terbantahkan. Di sini pula gedung-gedung pemerintahan, permukiman para bangsawan, cendekia, pemuka agama, juga hamba-hamba sahaya mereka berada. Rumah-rumah diatur berjajar, berpagar-pagar kayu ukir, berhias kain warna-warni, serta bertiang-tiang besar. Sungguh berbanding terbalik dengan tempatnya tinggal. Walaupun masih terletak di wilayah Daha, daerah yang ia tempati hanyalah salah satu dari sekian desa penyangga. Tak ada kesan mewah. Semuanya serba sederhana.

Pasar di sebelah barat yang berbatasan langsung dengan gerbang pusat kota dan anak bengawan Brantas adalah tempat yang ditujunya. Hiruk-pikuk kegiatan niaga masih terasa walaupun hujan mengguyur beberapa saat lalu. Ia lalu mengunjungi salah satu penginapan yang cukup ramai. Banyak orang asing yang hilir-mudik. Mereka ini biasanya adalah duta dari negara-negara jauh atau saudagar kaya yang berniat peruntungan menjual barang di negeri ini.

Rayung kemudian memilih salah satu balai-balai yang diletakkan berjajar di depan kedai setelah mencuci kaki. Jubah dilepaskan sambil sesekali melirik orang-orang yang berada di sekitarnya. Di balai-balai sebelah kiri, ada tiga lelaki Keling dengan kulit sangat gelap, kumis tebal yang menghiasi wajah, beserta destar berhias manik-manik di kepala. Balai-balai sebelah kanan diisi oleh kelompok lelaki berkulit pucat dan bermata kecil dengan pakaian berlapis-lapis, yang ia tebak merupakan saudagar dari Cina.

Di balai-balai, ia duduk bersimpuh seraya menopangkan sebelah tangan ke atas meja kecil. Rambutnya yang berhias jamang serta selendang brokat tipis di bahunya, sedikit basah karena tetesan hujan yang terjatuh dari daun yang tertiup angin. Ia lalu menyeka dan merapikannya dengan sisir kayu yang diambil dari tas rotan miliknya.

Satu pelayan lelaki yang tengah melayani pelanggan meliriknya, ketika pandangan mereka bertemu, Rayung mendekatkan gelas tembikar kosong sampai ke dekat mulut. Mengerti dengan isyarat itu, si pelayan lelaki mengangguk samar dan mendekat.

"Ada yang dipesan, Ra bibi[2]?" Si pelayan lelaki menjura sambil tersenyum ramah.

"Aku ingin memesan tapai ketan," katanya.

Si pelayan mengangguk semringah. Tak lama berselang ia kembali sambil membawa nampan kayu berisi sepiring tapai ketan, satu teko berisi serbat beserta sirih-pinang. "Silakan dinikmati untuk Ra bibi yang cantik jelita."

Rayung tertawa mendengar pujian si pelayan. Setelah si pelayan lelaki pergi, dia melihat ada selembar pudak terlipat yang berada dibawah piring. Ia membaca surat itu, lalu menarik napas panjang sebelum menyimpan surat itu di dalam tas.

Surat itu mengabarkan jika ayah telah kembali dari Keling setelah tiga tahun lamanya ia mengobati istrinya di sana. Melalui surat itu juga ayah memerintahkannya untuk menunggu seseorang di salah satu kios pedagang.

Usai menghabiskan pesanan, Rayung memutuskan untuk menyusuri pedagang-pedagang pikulan yang menjajakan bermacam-macam barang; ada kudapan manis dan rebus, mainan, hingga perkakas rumah tangga. Langkahnya kemudian terhenti di kios perhiasan. Ia lalu mengambil salah satu tusuk rambut emas berukir yang ujungnya dihiasi mutiara.

Tiba-tiba, ia merasakan keberadaan seseorang di belakangnya, diiringi dengan suara berat lelaki yang berbisik, "Kau harus bisa melenyapkan Dyah Maniprabha. Jika kau berhasil, kau bisa pulang ke kampung halaman. Benda yang ada di tasmu ini bisa membantumu."

Rayung menelan ludah gugup. Tangannya merogoh tas rotan yang ia bawa dan menemukan sebuah benda yang terbungkus daun jati, yang ia duga adalah racun. Ia segera meletakkan tusuk rambuk rambut ke pikulan dan beranjak mengunjungi pedagang lain, dan baru berhenti di alun-alun yang letaknya tepat di tengah pasar. Jika hari cerah, alun-alun ini biasa berfungsi sebagai tempat kesenian atau tempat diadakannya kompetisi yang diselenggarakan oleh istana. Ia kemudian menunggu di bawah pohon beringin.

Dyah Maniprabha adalah selir kesayangan Sri Gandra. Asal-usul Dyah Maniprabha begitu menarik. Dahulu, dia adalah calon istri putera mahkota sebelumnya. Namun, setelah putera mahkota sebelumnya wafat, Sri Gandra yang telah terpikat kecantikannya mengangkat wanita itu sebagai selir. Suatu kali, pernah terdengar kabar jika sang putera mahkota pernah menghukum cambuk acari yang tak sengaja membuat jari Dyah Maniprabha terluka, meski hal itu adalah ketidaksengajaan. Semenjak saat itu sang selir seakan-akan disembunyikan dari kejamnya dunia. Semua keperluannya terpenuhi dan keluarganya terlindungi.

Bagi kebanyakan orang akan berpikir jika Sri Gandra benar-benar telah bertekuk lutut dan menganggap Dyah Maniprabha adalah wanita kesayangan. Akan tetapi, dengan semua informasi yang ia miliki, Rayung malah berpikir sebaliknya. Tujuan Sri Gandra mengangkat Dyah Maniprabha sebagai selir adalah sinyal bahwa dirinya berniat merebut segala hal yang dimiliki oleh putera mahkota sebelumnya. Sri Gandra memang terkenal begitu licik dan serakah.

Selain hal tersebut, sebuah fakta rahasia yang begitu mengejutkan dipegang oleh Rayung. Sri Gandra rupanya memiliki penyakit yang tak bisa disembuhkan, bahkan tabib istana telah menyerah. Desas-desus di istana bergaung jika Sri Gandra terkena kutukan yang menurun dari leluhur. Satu hal yang bisa membuat penyakitnya berkurang adalah kehadiran Dyah Maniprabha.

Rayung meremat benda terbungkus daun jati dalam tasnya. Menghilangkan nyawa bukanlah tugasnya, tapi imbalan yang diberikan amat menggiurkan. Kerinduannya pada ibu, adik-adik, dan kampung halaman sudah tak tertahan. Ia akan mencoba.

*

Sri Gandra meletakkan gelas keramik ke meja. Matanya yang tajam melirik satu per satu para bawahan. Tekanan yang diberikan oleh sang putera mahkota begitu menyesakkan. Pendapa di kediaman milik Sri Gandra yang luas seolah-olah menyempit. Udara sejuk selepas hujan tak banyak membantu, angin dingin yang berembus malah membuat sekujur badan menggigil.

"Janggala sudah bergerak, tapi apakah mereka pikir aku tidak tahu?" Sri Gandra terbahak. Semua orang yang berada di dalam ruangan membeku. "Sungguh bodoh. Aku bahkan sudah bisa mencium gelagat mereka sebelum mereka sampai ke sini." Pandangannya lantas jatuh pada Pu Watabwang. Ia mendesis lalu meludahkan sisa-sisa pinang di mulutnya. "Kau tahu apa yang selalu kuucapkan?"

Lihat selengkapnya