Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tadinya Vivi berniat untuk tidur lebih awal. Namun, eksistensi Nabila yang masih berjibaku dengan tumpukan tugas di ruang tengah membuatnya mengurungkan niat. Sudah hampir dua setengah jam dia di sana. Karena tak tega, ia menawarkan diri untuk membantu.
Nabila yang mendengar tawaran itu langsung meninggalkan latopnya di meja. Sambil menyengir lebar, ia merangkak mengambil tasnya yang berada di sofa, lalu mengambil sesuatu dari dalam.
Vivi mengernyit. Buat apa bocah itu mengambil lilin? Pertanyaan itu tersangkut di lidah ketika Nabila melesat menuju dapur. Kemudian samar-samar tercium aroma lemon di udara. Dia kenal betul dengan aroma ini. Wangi manis dan asam yang padu bagai hujan menyapu kemarau, membuat memori yang ia taruh di belakang kepala menyeruak satu per satu. Ia menghirup aroma itu dalam-dalam sambil terpejam, mengisi tiap rongga dadanya dengan kerinduan. Ketika ia membuka mata, hal pertama yang dilihat adalah apartemen yang begitu dikenalnya.
Apartemen yang ia tinggali di Singapura bertahun-tahun lalu.
Suara siaran berita dari televisi membuatnya tersentak. Ia menoleh dengan cepat dan nyaris menangis. Itu ayahnya! Ia masih hidup dan sehat. Air mata seketika menggenang di pelupuk mata. Ayahnya tengah membaca laporan saham, televisi yang menyala diabaikan. Kapan ayahnya ke sini? Ia seharusnya bekerja di Bandung. Ini bukan musim liburan. Atensinya teralih ketika bunyi oven berdenting. Ibunya buru-buru berlari menuju dapur. Wajahnya tampak cerah. Kue hasil mempraktikkan resep baru akhirnya matang. Dirinya tertegun. Ibunya juga datang?
"Neng Vivi."
Panggilan Nabila berhasil menariknya kesadaran Vivi. Bocah itu menyengir sambil menyodorkan cangkir berisi cokelat hangat. Wajahnya masih mendung, tapi ia tak ingin Nabila kecewa. Jadi, ia menyicipi sedikit cokelat hangat itu. Rasa manis yang tertinggal di lidah membuat jantungnya seperti dicubit.
Setelah memberikan cokelat panas padanya, Nabila lantas berlari menuju laptopnya. Dentingan piano dari musik bossa nova seketika mengalun. Vivi berusaha sekuat tenaga menahan gemuruh di dada. Kerinduan yang mendalam dan keputusasaan yang nyaris merenggut hidupnya berjejalan keluar dari dalam dada. Begitu menyesakkan. Ia sungguh tak tahan dan ingin segera menyembunyikan diri karena takut melihat Nabila melihat kembali sisi lemahnya. Namun, Nabila dengan sorot mata cerah dan lugu, menahan lengannya. Segala emosi negatifnya menguap seketika.
Ujung mata Vivi sedikit basah, tapi ia tak ingin Nabila tahu.
Bossa nova adalah favorit ayahnya dan mendengarnya lagi membuatnya teringat rumah. Tiap malam, musik itu akan mengalun. Jika hati ayahnya sedang sangat bagus, ia akan mengajak ibunya berdansa, ditemani dengan aroma lemon yang menguar di udara. Setelah pindah ke Singapura tanpa orang tua, perasaan rindu yang sering datang di malam-malam dapat ia redam dengan menghirup aroma lemon kesukaan ibunya. Tak lupa ia menyetel bossa nova melalui penyuara telinga. Jika rindunya begitu besar dan tak tertahan, ia akan menelepon orang tuanya, mengajak mereka berdansa, menyanyi, dan tertawa sampai ia bisa melupakan kerinduannya akan rumah. Begitu pun dengan cokelat hangat dan biskuit manis. Dulu, dua hal itu akan disiapkan langsung oleh ibunya tiap waktu belajar malam tiba. Ibunya tak perlu repot-repot meminta bantuan Mbok Sum karena ia memiliki resep khusus yang tak mau ia bagi meskipun dirinya bertanya.
Musik bossa nova masih terputar. Vivi ikut bersenandung sambil mengajak Nabila ikut serta, tetapi bocah itu menolak dengan halus, dengan alasan ia tak bisa bahasa Inggris serta suaranya tidak bagus. Dia pun tergelak.
"Neng Vivi suka sama cokelatnya? Maaf kalau rasanya ndak sama dengan yang dibuat ibunya Neng Vivi. Soalnya cuma minuman bungkusan. Biskuitnya juga."
Vivi menggeleng. "Ini enak, kok." Ucapannya terdengar meyakinkan. “Kamu tahu dari mana ini semua?"
Nabila terkekeh kecil. "Beberapa malam lalu Neng Vivi, kan, cerita. Nabil rencananya mau buat surprise."
Rupanya dari obrolan malam yang mereka lakukan sebelum tidur. Entah disadari atau tidak, kegiatan itu seakan menjadi ritual sebelum tidur yang harus dilakukan. Tiap malam, di atas tempat tidur kala lampu setelah dimatikan, menyisakan lampu ponsel yang menjadi penerangan, mereka berdua akan bercerita tentang keseharian, kesukaan, kenangan, atau apa saja. Cerita-cerita itu akan mengalir dengan sendirinya seperti sebuah kewajaran, bahkan Vivi tak keberatan membagi pengalaman memalukan yang dialaminya.
"Terima kasih, ya." Vivi berkata dengan tulus dan ketulusannya itu sampai kepada Nabila. Bocah perempuan itu mengangguk malu-malu.
Terima kasih yang ia ucapkan sejujurnya bukan hanya untuk hal yang kejutan-kejutan yang Nabila lakukan tadi. Lebih dari itu, ia turut berterima kasih atas eksistensi Nabila dan juga orang-orang di sekelilingnya. Belakangan ini ia menyadari bahwa kehadiran mereka bagai doa-doanya yang tak terucap. Ia mengaku bukan orang yang religius, tapi ia yakin Yang Kuasa tak akan serta-merta terus memberikan kesengsaraan padanya, bukan? Inikah saatnya ia mendapatkan secercah harapan? Ia akan meminta maaf dan berterima kasih pada Mbok Sum dan suaminya karena mereka selalu peduli padanya nanti. Nanti. Saat ia siap.
Juga ... dengan Galih. Ia tahu ia selama ini telah bersikap kurang ajar padanya. Pemuda itu tak bersalah tapi selalu jadi bulan-bulanan kemarahannya.
Beberapa saat kemudian, mereka tenggelam dalam tumpukan tugas. Suara musik dikecilkan agar tak mengganggu konsentrasi Nabila. Tak ada yang bersuara sehingga ruang tamu yang baru direnovasi kecil itu terasa sangat lengang.
Vivi kemudian menutup buku setelah menyelesaikan dua tugas Nabila, lalu meluruskan punggung. Rasanya sangat tak nyaman menulis dengan posisi bersila dan punggung yang membungkuk. Tangannya kemudian meraba permukaan karpet yang baru dibeli Galih. Di ruang tamunya, tak ada lagi lampu remang dan dinding bernoda. Lantai plester yang rusak di sana-sini pun sudah ditambal. Ini semua berkat Nabila, karena permohonannya untuk tinggal di rumah ini lebih lama. Ia tidak tahu apakah bocah itu ingin tinggal permanen atau sementara. Ia tak mempermasalahkan, ia akan mengizinkan Nabila untuk tinggal bersamanya selama apapun yang ia inginkan.