Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #43

Chapter tanpa judul #43

Keesokan harinya Tante Dinar menyambangi alamat orang pintar yang diberikan kawannya kemarin. Hujan rintik turun dari pagi, tapi hal itu tak menyurutkan niatnya. Setibanya di alamat yang dituju, dia pun berhenti, lalu membuka kaca helm sambil memperhatikan keadaan sekitar rumah.

Jalanan begitu lengang, halaman rumah juga kosong tanpa jejeran kendaraan yang terparkir. Apa benar ini rumahnya? Tante Dinar mengecek sekali lagi, lalu mencocokkannya dengan plang yang tertempel di dinding rumah.

Benar. Seharusnya ini rumah orang pintar itu, tapi ia tak melihat tanda-tanda bahwa rumah itu dipakai untuk praktik 'pengobatan'. Apakah mereka melayani pasien secara privat?

Tante Dinar akhirnya memarkirkan motornya tepat di depan pagar rumah. Karena ia tak menemukan bel di dinding rumah itu, ia memutuskan untuk melongok dari celah pagar besi. Bau karat pada pagar besi yang tercium membuatnya mual sehingga ia tak bisa berlama-lama melihat.

Rumah itu seperti tidak dirawat selama bertahun-tahun. Di pekarangannya yang luas, rumput liar tumbuh menutupi celah-celah paving block yang terpasang. Daun-daun kering pohon nangka berserakan di sana-sini. Cat dinding teras banyak yang mengelupas, bahkan di beberapa sisi terlihat berjamur. Sungguh mubazir.

Atau jangan-jangan rumah ini kosong telah lama? Buktinya, tak ada tumpukkan sandal atau sepatu di luar.

Asem! Apa dia sedang dikerjai temannya?

Tiba-tiba, klakson mobil berbunyi nyaring. Tante Dinar terperanjat dan menoleh ke belakang.

Seseorang lelaki yang tengah duduk di kursi pengemudi menurunkan jendela. "Pasien?"

Tante Dinar mengangguk, lalu memberi jalan untuk mobil itu masuk.

Lelaki yang duduk di kursi pengemudi turun. Perawakannya kurus dengan tinggi badan di atas rata-rata orang di kampung. Ia berlari kecil memutari mobil, lantas membuka pintu penumpang sebelah kanan. Seorang wanita, yang mungkin seumuran dengannya, turun kemudian. Wanita itu menggunakan blus krem lengan panjang, dengan rok plisket hitam, rambutnya yang hitam dan panjang dikepang. Perawakannya sekilas mirip Bunda, tapi wanita itu memiliki mata yang tajam serta raut wajah masam.

Dia kah orang pintar itu?

Pandangan mereka sempat bertemu. Wanita itu memang memiliki wajah tak ramah, tapi dia cukup tahu sopan santun. Ia tersenyum, lalu mengangguk pada Tante Dinar. Dengan tangannya ia mengisyaratkan Tante Dinar untuk masuk.

Lelaki yang tadi mengendarai mobil memperkenalkan diri sebagai asisten sang tuan rumah. Lelaki itu kemudian membantu Tante Dinar memarkirkan motor di pekarangan dan membimbingnya menuju ruang tamu. Ketika pertama kali melangkah memasuki pintu, Tante Dinar merasakan bulu kuduk di punggung dan tengkuknya bergidik. Aura di rumah ini begitu dingin, lembap, dan menakutkan. Meskipun besar dan dipenuhi perabotan bagus, jika ia disuruh untuk tinggal sehari di sini, ia tidak akan sudi.

Tante Dinar duduk dengan punggung tegak sambil menununggu 'orang pintar' itu datang. Asisten lelaki si pemilik rumah kemudian datang sambil membawa nampan berisi segelas sirop dan makanan kecil. Ia mengatakan jika majikannya tengah berganti baju. Tante Dinar dipersilakan untuk menunggu.

Sepuluh menit kemudian orang pintar itu menemui Tante Dinar. Blus dan roknya berganti jadi daster batik tunik lengan pendek berwarna hijau. Ia terlihat sangat santai. Wajahnya yang masam juga tampak lebih baik.

"Mari diminum." Ia menawarkan sembari tersenyum. "Kamu tahu saya dari mana, tho?"

"Dari kawan lama." Tante Dinar membalas dengan senyuman. Ia kemudian mengambil gelas untuk menghargai sang pemilik rumah, tapi ia tak meminumnya.

"Jadi, apa tujuan Njenengan datang kemari?"

"Begini ...." Tante Dinar meletakkan gelas beling itu kembali ke meja. Ia membenarkan posisi duduk sembari sedikit mencondongkan tubuh ke depan. "Sebelumnya, bagaimana saya panggil Njenengan, ya?"

"Lastri, aja."

Tante Dinar mengangguk, lalu menuturkan semua masalah yang dihadapi Vivi. Dari awal sampai akhir, tanpa dikurangi, bahkan soal kematian Bunda tak luput dari ceritanya. Kemudian, dengan terburu-buru ia memberikan foto Vivi kepada Lastri.

Lihat selengkapnya