Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #45

Keingintahuan Dapat Membunuhmu

Rawisrengga masih berada di daerah Lasem1, kala kabar kepergian ibu mampir ke telinganya. Bagai orang linglung, ia tergopoh-gopoh mengambil kuda di istal sewaan, menarik tali kekangnya, kemudian melaju kesetanan. Paman Paman Nawarsa, Dharmaja, serta si pembawa pesan mengekor di belakang.

Mereka tiba di pedepokan seni Paman Nawarsa lima hari kemudian, yang merupakan waktu tercepat yang bisa ditempuh. Ia melompat turun dan hampir terjatuh, beruntung Paman Nawarsa ada di sana untuk membantu. Langkahnya terhuyung kala ia mendekati jasad ibu. Perlahan, ia berlutut di samping pembaringan, mendekatkan wajah, menciumi pipi dan kening ibu, kemudian menyapa sambil berbisik dengan suara bergetar, "Ibu, anakmu pulang." Ia lalu mengambil salah satu tangan ibu lalu mengusapkannya ke kepala sendiri.

Unengan mendatangi lalu memeluknya sambil terisak-isak. Ia bercerita tanpa diminta dengan berlinang air mata.

Miruda tidak berani mendekat. Kakinya seolah-olah terpancang di bumi. Ia membuka mulut untuk bersuara, paling tidak ia ingin menyapa sang kakak, tapi mungkin ia telah dikutuk Yang Kuasa karena tak ada satu patah kata pun yang keluar dari tenggorokannya. Rawisrengga membuang muka, seolah-olah tak sudi melihatnya. Kakaknya tersayang mengabaikannya, tentu. Tentu. Miruda tak perlu memiliki mata ketiga untuk menyadari sikap yang ditunjukkan kakaknya itu.

Usai bercerita dan menumpahkan beban yang mengganjal hatinya, Unengan pamit undur diri. Ia berniat membantu istri Paman Nawarsa untuk menyiapkan perlengkapan prosesi pulasara ibu.

Paman Nawarsa yang berdiri di sebelah Rawisrengga memegangi pundaknya, waspada jika nantinya Rawisrengga tiba-tiba bertindak bodoh hingga berakibat berubahnya prosesi pulasara yang khidmat menjadi medan pertumpahan darah antar saudara, tapi syukurlah yang ia takutkan tak terjadi. Selama prosesi berlangsung tak ada air mata Rawisrengga yang tertumpah. Tak ada rintihan duka. Semua dilewati pemuda itu dengan penuh keheningan. Seisi pedepokan memuji betapa tenangnya dia, tapi tidak bagi Angreni.

Apa mereka buta? Tidak bisakah semua melihat bagaimana kedua tangan Rawisrengga tak berhenti bergetar? Pemuda itu bahkan dengan susah payah menyeret kaki sepanjang prosesi pulasara. Angreni iba. Sejujurnya ia juga ikut terpukul, tapi ia tahu betul rasanya kehilangan poros hidup dan tempat untuk berpulang. Baginya, di balik sikap tenang Rawisrengga, ada rasa sakit yang ia telan untuk diri sendiri. Dia tak tahu sampai kapan pemuda itu akan menyembunyikannya, tapi ia berharap hal itu tak akan merusak dan menghancurkannya dari dalam.

Tiga hari berselang, ketika matahari berada di atas punggung gunung, Angreni tak sengaja melihat Rawisrengga keluar dari kamarnya yang terletak di bagian barat pedepokan, tempat di mana seniman terbaik tinggal. Dengan tatapan kosong dan ekspresi sulit dibaca, pemuda itu berjalan lurus melewati murid-murid yang tengah berlatih musik di pendapa, lalu menyeberangi lapangan yang dipakai beberapa pemuda untuk menari. Pada saat itu, Angreni sama sekali tak merasakan keanehan apapun. Ia masih terus menatap punggung Rawisrengga sampai sosoknya menghilang di balik deretan bangunan kamar milik para murid. Rongga bercerita kepadanya bahwa Rawisrengga baru kembali saat tengah malam.

Keesokannya, Angreni melihatnya melakukan hal yang sama tepat di waktu yang sama pula. Seperti halnya kemarin, ia hanya bisa melihat dari kejauhan karena saat ini ia tengah disibukkan—bukan, lebih tepatnya ia terpaksa mengikuti kemauan istri paman Paman Nawarsa. Ketika pertama kali melihat luka bakar di punggungnya, wanita itu segera memerintahkan dua penata rias untuk membantu merawat bekas luka itu.

Awalnya, tentu Angreni menolak dengan halus, tapi istri paman Paman Nawarsa begitu ahli dalam membujuk. Ia berkata gadis tak seharusnya memiliki cela. Setelah beberapa kali tawar menawar, dia akhirnya pasrah diseret ke sana-kemari untuk didandani serta diajarkan bagaimana caranya bersolek.

Di hari ketiga, hari keempat, bahkan sampai seminggu berselang Rawisrengga masih melakukan hal yang sama. Ia seperti orang yang kehilangan akal. Tidak ada yang bisa menghentikannya, termasuk Unengan, berhubung Miruda sudah tak bisa diharapkan untuk mengawasi Rawisrengga karena selepas pulasara ibu selesai yang dia lakukan hanya mengurung diri di kamar.

Angreni sudah tak tahan lagi.

Seharusnya hari ini ia mengikuti bimbingan pembuatan boreh dan kosmetik yang diajarkan langsung oleh istri paman Paman Nawarsa, tapi ada hal lebih penting yang harus ia lakukan.

Sekarang, di sinilah dirinya. Ia tahu ia bodoh karena mengikuti Rawisrengga secara impulsif, tapi ia benar-benar khawatir. Ia hanya tidak ingin terjadi sesuatu pada pemuda itu. Berbekal kemampuannya sebagai mantan perampok gunung, Angreni melewati pendapa dan bangunan kamar para murid tanpa ketahuan.

Angreni mempercepat langkah ketika pemuda itu meninggalkan pedepokan melalui pintu belakang. Ada lebih dari lima lelaki kekar yang berjaga. Ia terhenyak ketika lima lelaki itu berlutut, lalu mengangkat sembah pada Rawisrengga sebelum membiarkannya keluar tanpa bertanya, seolah-olah dirinya adalah orang dengan kasta tertinggi yang harus dihormati keberadaannya. Apa yang terjadi? Yang Angreni tahu, sulit sekali mendapat izin keluar dari pintu belakang. Apakah karena Rawisrengga salah satu seniman terbaik di sini?

Pertanyaan itu terlupakan seketika karena Rawisrengga telah menghilang di balik pintu. Dengan terburu-buru Angreni mengubah ikatan kain di pinggangnya dan membuatnya seperti celana. Tembok belakang pedepokan tidak terlalu tinggi dan ada beberapa tempat yang menjadi titik buta para penjaga—dia mengetahui hal ini karena tak sengaja menguping pembicaraan murid-murid yang sering keluar untuk memadu kasih.

Setelah meninggalkan pedepokan, Rawisrengga berjalan lurus menuju hutan, kemudian menyusuri anak sungai tanpa tahu kapan akan berhenti. Rongga pernah berpesan kalau di dalam hutan banyak binatang buas dan tidak ada sesorang pun yang boleh menginjakkan kaki ke sini malam hari, kecuali kau adalah orang terlatih serta menguasai ilmu bela diri yang cukup guna melindungi diri.

Keringat dingin membasahi dua telapak tangannya saat menyadari bahwa mereka telah masuk terlalu dalam. Angreni menoleh ke belakang. Matahari sore perlahan menghilang tertelan rimbunnya cabang-cabang pohon dan belukar. Gadis kecil itu terkesiap, lantas mempercepat langkah sambil mencari-cari keberadaan Rawisrengga yang telah menghilang dari pandangannya. Dengan panik ia melompati tanaman-tanaman perdu dan akar-akar tanaman yang kokoh. Namun sayang, karena perhitungannya meleset, kain yang membungkus tungkainya tersangkut ranting kering. Ia tak sempat menggapai sesuatu untuk berpegangan. Alhasil ia terjatuh dengan suara yang menggema.

Ketakutan merayap di sepanjang tulang belakang ketika ia sadar tangannya tak sengaja menyentuh gundukan tanah dan ia tahu apa yang bersembunyi di dalamnya. Angreni mencoba menjauh tanpa menimbulkan suara, tapi nyeri luar biasa di pergelangan kaki membuatnya tak bisa berbuat banyak.

Tiba-tiba, suara mendesis dari belakang membuatnya membatu. Ia menoleh dengan wajah dipenuhi teror.

Rawisrengga yang berjalan di depan tersentak kala jerit perempuan menggema. Selama beberapa saat ia merasa bingung dan kehilangan arah. Ia menoleh ke sana-kemari, mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi. Kepalanya mendadak seperti dihantam batu. Telinganya berdengung keras, membuatnya limbung dan jatuh berlutut di tanah. Ia berteriak tanpa suara, mememaksa, merobek, dan memuntahkan satu per satu memori yang sejujurnya ingin ia anggap tak pernah terjadi.

Tak tahu berapa lama ia di posisi itu sampai akhirnya kesadarannya kembali karena suara rintihan perempuan. Seolah-olah dibangunkan dari mimpi panjang, ia menatap sekitar. Langit sudah gelap. Bagaimana ia bisa sampai masuk jauh ke dalam hutan?

Suara serak perempuan yang meminta pertolongan terdengar kembali. Ia berlari kecil menghampiri asal suara dan terkejut karena menemukan Angreni nyaris tak sadarkan diri dengan wajah pucat pasi. Pergelangan kakinya membiru. Tepat dua jari di atas mata kaki kiri, terdapat dua lubang berdarah dan ia tahu apa dari mana luka itu berasal.

Lihat selengkapnya