"Angreni, kau yakin tentang ini?" Kebimbangan masih membayangi wajah pemuda itu, walaupun ia telah menanyakan hal yang sama entah ke berapa kali. Pasalnya, ia yakin sekali hal ini akan mendatangkan murka Miruda.
Gadis kecil itu mengangguk mantap, teguh dan sama sekali tak terpengaruh. Di belakangnya, Unengan tidak bicara apa-apa. Ia tidak setuju dan tidak pula melarang hal Angreni rencanakan. Ini juga demi kakaknya. Ia betul-betul khawatir dengan kondisi Miruda.
Setelah beberapa saat ia tak juga menangkap keraguan di mata Angreni, Rongga akhirnya mengalah. Ia menarik napas panjang sebelum mengambil ancang-ancang. Pintu kemudian menjeblak terbuka setelah Rongga mengerahkan tenaga untuk mendobrak.
Miruda yang tadinya sedang bermeditasi terperanjat. Ia bangkit berdiri dengan mata mendelik dan tubuh bergetar. Wajahnya merah padam. "Apa yang kau lakukan!"
"Aku di sini untuk membantu Unengan." Angreni kemudian mengambil nampan dari tangan Unengan lalu menyeretnya mendekati Miruda. "Kau harus makan," katanya seraya meletakkan nampan itu di atas dipan.
"Apa pedulimu, sialan!" Mirudah hampir mendaratkan pukulan ke wajah Angreni, untungnya Rongga menghentikan. Unengan menjerit ketakutan sambil memanggil Miruda di sebelahnya. Sementara itu Rongga tak mengucapkan sepatah kata apa pun, meskipun ia masih memegangi erat tangan Miruda.
"Aku peduli padamu, terlebih Unengan. Apa kau pernah memikirkan perasaan adikmu? Jangan egois!" Angreni sudah tak peduli lagi dengan sekitar—bahkan ia melupakan pandangannya yang berkunang-kunang. Yang ingin ia lakukan adalah menyadarkan Miruda yang keras kepala.
Miruda menggeram. "Jaga bicaramu! Kau tidak tahu siapa aku."
"Aku memang tidak tahu siapa sebenarnya kau dan kalian semua, terlebih pedepokan ini, tapi yang aku tahu kau adalah penyebab kita semua kehilangan ibu!" Angreni menjerit marah. "Sekarang kau mau apa? Kau mau mati? Atau menghindari masalahmu, begitu? Kau tidak lebih baik dari semua perampok yang kukenal. Meski mereka bajingan, setidaknya mereka tidak pernah lari dari masalah!"
Napas Miruda memburu. Ia menyentak tangan Rongga, lalu melempar nampan kayu yang tadi tergeletak di atas dipan. Kejadian ini terlalu cepat sehingga Angreni tak sempat menghindar. Ujung nampan yang tajam mengenai pelipisnya. Ia terjatuh dan tak sadarkan diri di atas pecahan gerabah dan hamburan makanan yang disiapkan oleh Unengan.
Rongga mengutuk diri sendiri karena ia melupakan Angreni. Tadi ia hanya fokus melindungi Unengan dari lemparan tersebut. Dengan terburu-buru ia mengecek keadaan Angreni, sementara Unengan di belakang mereka kini menangis keras lantaran tak percaya apa yang telah dilakukan Miruda sebelumnya.
Miruda menahan napas saat melihat darah yang mengalir di kepala Angreni. Ia kemudian berlari keluar kamar tanpa menengok lagi.
*
Mendengar Angreni kembali tak sadarkan diri, Dharmaja buru-buru menghambur ke kamar gadis kecil itu.
"Bisa tidak sekali saja kau tidak membuatku khawatir? Aku hampir mati karena mencemaskanmu,” katanya sambil mengelus pelan kepala Angreni, menyelipkan jemarinya di antara rambut tebalnya, dan menyisir tiap helaian yang terasa halus, berbanding terbalik dengan telapak tangannya yang kapalan. Ia betul-betul terkejut mendengar berita Angreni terluka untuk kali kedua. Ia marah besar pada Miruda. Ingin sekali ia meremukkan tulang tangannya, tapi ia tak ingin membuat Angreni kecewa. Jadi, dengan susah payah ia meredam kemurkaannya dengan meninju kayu penyangga atap istal hingga patah.
Angreni melenguh karena tidurnya terganggu. Dharmaja tersenyum kecil sembari meletakkan jari telunjuk kanannya di antara alis gadis kecil itu kemudian memijat pelan sambil menyenandungkan lagu yang sering dinyanyikan ibunya sebagai pengantar tidur. Angreni kembali tenang.
Sambil memangku dagu ia melanjutkan penjelajahan tangannya di sepanjang garis wajah Angreni. Ia sadar jika gurat kekanakan di wajah Angreni memudar dari hari ke hari. Ia juga tahu tak sedikit pemuda pedepokan yang membicarakan Angreni di belakang punggungnya. Mereka layaknya kumbang-kumbang yang menunggu kuncup bunga untuk mekar. Ia yakin beberapa tahun lagi gadis kecil itu akan menjelma menjadi kupu-kupu cantik yang mampu menaklukan hati para pemuda.
Dharmaja menghela napas gusar. Rahangnya mengeras dengan dahi mengerut dalam. Ia amat tak menyukai pikirannya tadi.
"Kau sudah pulang, Raka?"
Lelaki itu terkesiap mendengar suara Angreni. Ia lantas mengubah rautnya menjadi jenaka. Senyum konyol yang sering ia perlihatkan pada Angreni spontan terpasang.
Angreni melirik, lalu pura-pura mendengkus kesal. "Aku sedang sakit. Jangan menunjukkan mimik seperti itu," ucapnya sambil merengut sambil memberi isyarat pada Dharmaja untuk membantunya duduk. Selimut yang tadi menutupi sampai ke dadanya merosot jatuh.
"Menunjukkan apa?" Dharmaja pura-pura tidak tahu. Setelah memastikan Angreni duduk dengan nyaman, ia melipat selimut bekas pakai gadis kecil itu dan menyimpannya di lemari.
Melihat hal itu Angreni diam-diam tersenyum; lega karena yang berada di sisinya adalah Dharmaja. Saat ini tidak ingin ditemani siapapun, terutama yang memiliki hubungan dengan Miruda. Bisa dibilang, ia sedikit trauma. Gadis kecil itu merasakan luka di pelipisnya berdenyut. Ketika ia menyentuhnya, ia merasakan bobok yang telah mengering dan meringis kala mendapati bagian sekitar luka membengkak. Wajahnya pasti jelek sekali sekarang. Ia tertawa dalam hati. Bisa-bisanya ia mengkhawatirkan penampilan. Dulu ia bahkan tak mempermasalahkan jika ia tak mandi berhari-hari. Apakah karena pengaruh bergaul dengan para seniman wanita di sini?
"Lukamu akan sembuh jika kau mengobatinya dengan teratur. Untuk bengkaknya kemungkinan akan mengempis beberapa hari lagi," jelas Dharmaja, seakan-akan mengerti hal yang dirisaukan Angreni. Ia berjalan mendekat, kemudian menangkup wajah gadis kecil itu dengan kedua tangan.
Dua pasang mata bertemu dan tanpa sadar mengunci satu sama lain, membuat keduanya terhanyut dalam keheningan. Angreni tidak tahu apa yang sedang terjadi karena Dharmaja mendadak bergeming. Sorot mata lelaki itu layaknya orang tersesat yang mencari jalan keluar. Ia terkejut saat merasakan genggaman lelaki itu di wajahnya menguat, tapi tak sampai menyakiti.
"Raka?"