Sepeninggal Dharmaja, Angreni tak juga bisa memejamkan mata barang sebentar. Pikirannya berkecamuk. Batinnya tak tenang. Apakah perlakukannya tadi pada Dharmaja sudah melewati batas?
Gadis kecil itu terkesiap ketika mendengar derap langkah cepat dari luar kamar. Ia memfokuskan telinga. Mungkin ada beberapa pemuda yang tengah sibuk melakukan sesuatu. Kala kakinya baru saja menyentuh lantai, ia langsung membuang jauh-jauh pikiran untuk memeriksa. Mengingat sudah dua kali ia jatuh di lubang yang sama, ia sungguh tak ingin lagi tertimpa musibah.
Pada akhirnya Angreni kembali mencoba menyamankan dirinya di atas dipan sambil membayangkan hal-hal baik yang pernah terjadi di hidupnya untuk bisa tertidur. Kebiasaan ini diajarkan ibunya dulu. Seketika lagu yang sering Dharmaja dendangkan terbayang. Ia lantas tertawa. Suara lelaki itu sejujurnya tak semerdu penyanyi di pedepokan ini, tapi nyanyiannya selalu bisa membantu mengendurkan otot-otot yang tegang di tubuhnya. Kepalanya pun jauh lebih ringan dan dirinya jadi lebih cepat mengantuk. Tanpa sadar ia ikut bernyanyi. Seperti sihir, perlahan ia nyaris masuk ke alam mimpi sebelum suara ribut dari luar mengagetkannya.
"Rahadyan Rawisrengga dihajar habis-habisan oleh Rahadyan Nilaprabangsa."
"Ki Nawarsa bahkan tidak bisa menghentikannya!"
Dua suara pemuda berbeda yang dibarengi dengan langkah kaki tergesa-gesa perlahan mengecil. Angreni tak dapat berpikir jernih saat dua nama itu disebut. Tergopoh-gopoh ia turun dari dipan lalu berlari menuju pintu.
Kala pintu kamar terbuka, sosok Suwing dengan napas sedikit memburu dengan tangan terangkat dan siap untuk mengetuk, mengejutkannya.
"Raka, apa yang sedang terjadi?"
Suwing menggeleng dengan cepat. Sebagai ganti jawaban, pemuda itu menarik tangan Angreni sebagai tanda agar dia mengikutinya menuju kamar Rawisrengga.
Dari kejauhan ia bisa melihat seluruh isi pedepokan berkerumun di depan kamar. Murid-murid perempuan memekik panik di bagian belakang, sementara para pemuda di depan telah mengambil ancang-ancang, meski tak ada satu pun yang berani mendekat. Suwing kemudian menyibak kerumunan itu guna memberikan jalan untuknya. Angreni pun bersusah payah untuk mengejar. Beberapa murid yang menyadari keberadaannya pun segera memberinya jalan.
Setibanya di ujung kerumunan, Angreni mendadak menahan napas. Matanya membelalak menyaksikan Dharmaja menghajar Rawisrengga tanpa ampun. Sekujur wajah Rawisrengga berlumuran darah, tetapi tampak tak berniat untuk membela diri apalagi membalas. Pemuda itu masih sadar sepenuhnya. Namun, tubuhnya yang tergeletak seakan-akan tak bernyawa. Tangannya terkulai lemah di atas tanah. Di dekat mereka, Unengan tengah dipeluk dan ditenangkan istri Paman Nawarsa, menangis sambil menjerit-jeritkan kata berhenti. Sementara itu, di depan, Paman Nawarsa berdiri menamengi keduanya.
Angreni dengan geram bergegas mendatangi paman Nawarsa. "Apa yang terjadi? Kenapa Paman diam saja melihat pertengkaran ini? Raka Rawisrengga bisa mati!"
Suwing menyentuh bahu Angreni sebagai teguran untuk berlaku sopan di hadapan pemilik pedepokan, tetapi Angreni tak peduli. Darahnya terlanjur mendidih.
Paman Nawarsa menggeleng pelan. Angreni tadinya hendak memerintahkannya untuk melerai. Namun, ia terkejut karena baru menyadari sudut bibir paman Nawarsa sobek dan terdapat beberapa luka lebam baru di wajahnya.
"Rahadyan Rawisrengga memerintahkanku untuk tak mengganggu. Jadi, aku mohon padamu Angreni, jangan mendekat. Biarkan mereka menyelesaikan masalah yang terjadi di antara mereka terlebih dulu," perintah Paman Nawarsa dengan tangan terkepal. Wajahnya tetap tenang, walaupun dari sorot matanya kekhawatiran beserta kekecewaan tampak dengan sangat jelas.
Angreni sungguh tak bisa membendung emosinya sekarang. Mengikuti insting, ia berlari menghampiri dua orang yang tengah berkelahi itu. "Berhenti!" teriaknya sambil berusaha menarik Dharmaja dari atas tubuh Rawisrengga, tetapi sayang usahanya sia-sia.
"Kubilang berhenti!" Gadis kecil itu menangkap tangan Dharmaja yang nyaris menghantam dagu Rawisrengga. Namun, Dharmaja seakan-akan tuli. Lelaki itu dengan mudah menyentak tangan Angreni dan mendorongnya. Beruntung, Suwing berhasil menangkap lalu membawanya untuk menjauh.
Angreni terhenyak. Bibirnya bergetar menahan tangis dan ketakutan. Dharmaja kini seperti raksasa yang haus darah. Ia sungguh tak pernah membayangkan Dharmaja yang selalu bertingkah konyol akan lepas kendali seperti ini. Bagaimana ... bagaimana caranya ia bisa mengembalikan kesadarannya?
Di tengah keresahan, matanya tak sengaja menangkap potongan kayu bekas pembuatan meja yang teronggok di sudut samping kamar. Dalam satu tarikan napas Angreni berlari mengambil kayu itu dan memukul kepala Dharmaja.
Kejadian itu terjadi begitu cepat hingga tak ada satu pun yang mampu mencerna. Dharmaja terhuyung mundur sambil memegangi kepala bagian belakang. Darah mengalir dari sela-sela jari lalu menetes ke tengkuk. Ia menatap nyalang, mencari keberadaan, dan siap untuk balas menghancurkan kepala siapapun yang telah memukulnya. Ketika matanya tertumbuk pada Angreni yang tengah berlutut menolong Rawisrengga, roman menakutkannya perlahan berubah. Tatapan mata membunuh hilang, tergantikan dengan sorot sendu. Sekonyong-konyong ia mendatangi Angreni.
"Jangan mendekat!" Angreni memasang badan di depan Rawisrengga yang tengah ditolong beberapa pemuda. "Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Raka Rawisrengga lagi."
"Angreni." Suara Dharmaja terdengar sangat putus asa. "Maafkan aku. Maafkan aku."
"Jangan minta maaf padaku." Angreni membuang muka. Saat ini ia betul-betul tak ingin menatap wajah Dharmaja. Jadi, yang ia lakukan adalah menuntun Unengan bersama dengan istri Paman Nawarsa menuju kamar Rawisrengga.