Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #48

Rekonsiliasi

Rawisrengga menghela napas panjang. Setelah sadar beberapa saat lalu ia memutuskan untuk bermeditasi. Aroma dupa menguar ke seluruh penjuru kamar, sementara jendela dibiarkan terbuka lebar. Kerik jangkrik di luar sama sekali tak menganggu, malah menambah khidmat suasana meditasi yang ia lakukan.

Suwing yang juga berada di sana untuk membereskan kamar berusaha bekerja tanpa suara. Tak lama berselang, pemuda itu mengetuk meja pelan sebagai tanda bahwa pekerjaannya telah rampung. Tanpa perlu menunggu balasan, ia lantas berlutut dan menjura di hadapan Rawisrengga sebelum beranjak.

"Suwing," panggil Rawisrengga yang memutuskan untuk menyelesaikan meditasinya lebih awal.

Suwing lekas berbalik, lalu berlutut sambil kembali mengangkat sembah. Dari sudut matanya, ia melihat Rawisrengga tertatih-tatih menuju jendela. Awalnya, ia hendak membantu, tapi sang tuan menolak.

"Dua hari lagi, bulan purnama akan datang, bukan begitu, Suwing?" cetus Rawisrengga tanpa berbalik. Dua tangan saling menjalin di belakang tubuh. Bias cahaya lampu damar membentuk bayang-bayang otot punggungnya yang bidang. Suwing menepuk lantai dengan kedua tangan lalu bersujud, sebagai pertanda kalau ia mengiyakan perkatannya.

"Panggilkan Miruda untukku."

Suwing sedikit terkejut. Nada suara tuannya berubah. Rawisrengga yang dia kenal adalah pemuda paling bersahaja. Kalimat yang keluar dari mulutnya selalu terdengar santun dan lembut, tapi sekarang Rawisrengga seolah tengah menunjukkan kuasa yang ia miliki. Tanpa berani mengangkat kepala, ia pun mengangguk.

Rawisrengga kemudian mengibaskan tangan, memerintahkannya untuk segera keluar. Suwing yang mengerti pun mengangkat sembah di hadapannya sebelum undur diri.

Begitu pintu ditutup, Rawisrengga segera menyandarkan seluruh bobot tubuhnya di pinggir jendela. Ia mendesis. Sobekan di bibirnya terasa sangat pedih, pun begitu dengan nyeri menusuk di rusuk dan perut.

Embusan angin yang membelai permukaan kulit, sedikit mengalihkannya dari sakit yang dirasa. Tubuhnya dingin, tetapi ini belum seberapa dibanding kebekuan yang menetap di hati sejak beberapa waktu ke belakang. Pikirannya seketika melanglang buana, melompat dari satu memori ke memori lain. Senyum kecil terpatri di bibir ketika mengenang pertama kali ia berhasil membunuh kijang dengan anak panah pemberian sang ayah. Kala itu ia masih berumur tujuh tahun. Tak lama kemudian Miruda dan Unengan lahir. Seisi istana berbahagia menyambut kehadiran kedua adiknya di dunia. Rawisrengga mengenang manisnya ingatan-ingatan itu sambil menembangkan syair-syair bahagia.

Senyum di wajahnya sirna tatkala teringat kobaran api melalap istana. Ayahnya dan seisi istana tak terselamatkan. Ia takut. Ingin lari. Ingin mati. Akan tetapi, harga dirinya sebagai penerus takhta tak mengizinkannya menjadi pengecut. Ia tak boleh gentar. Patut baginya berjuang sampai titik darah penghabisan. Dengan sisa kekuatan ia menyelamatkan Unengan serta Miruda serta menggagalkan rencana ibu yang hendak melakukan sati demi menunjukkan bakti terhadap ayahnya.

Rawisrengga saat itu berteriak di depan muka ibu, lalu meratap dan memohon belas kasihan. Pikirannya dipenuhi teror yang nyaris melampaui batas. Ia sungguh tak bisa membayangkan apabila harus kehilangan orang tua untuk kali kedua. Namun, ibarat menggarami lautan, kini ibunya telah tiada. Sungguh ironis.

Ia menatap tangan kirinya yang dibalut perban. Jari telunjuknya patah karena menangkis tendangan Dharmaja. Ia mendengkus geli manakala teringat percakapan terakhir antara dirinya dengan sang kakak.

Saat itu Dharmaja mendatangi kamarnya seperti badai, menyumpahinya dengan berbagai macam umpatan, dan melaung hendak mematahkan lengan Miruda, sementara Agrapinda mengekor di belakangnya seperti anak anjing yang patuh.

Rawisrengga menyambut keduanya dengan senyum. Kabar Angreni kembali tak sadarkan diri karena dilukai Miruda telah sampai di telinganya dan ia bisa menduga Dharmaja akan mencarinya sebagai pengganti Miruda yang kabur.

"Jika kau tetap menyedihkan seperti ini. Aku akan membawa Angreni pergi. Tak akan kubiarkan Angreni berhubungan dengan rencana sialanmu itu." Dharmaja mengancam, tapi hal itu sama sekali tak membuat Rawisrengga gamang.

"Raka, Apa kau yakin Angreni akan mempercayaimu setelah dia tahu bahwa kau yang telah membunuh ayahnya dalam penyergapan yang kau pimpin?" Ucapan darinya ini bagai menyiram minyak pada bara api. Amarah Dharmaja menjadi tak terbendung. Satu pukulan mendarat telak di wajah dan ia pun jatuh tersungkur dengan darah mengalir dari salah satu lubang hidung.

Rawisrengga yang memang sedari awal tak berniat membela diri membiarkan Dharmaja menginjak dadanya kuat-kuat lalu menduduki perutnya. Di lain sisi, Agrapinda yang ketakutan jika pertengkaran ini membesar, segera berlari keluar untuk meminta pertolongan.

"Rawisrengga, dengar," Dharmaja meraih leher sang adik lalu mencekiknya. "Jangan pernah berpikir untuk melakukannya. Kalau tidak, aku akan membunuhmu."

Rawisrengga terkekeh kecil. "Raka, aku hanya membicarakan kebenaran. Ada bau darah ayah dan keluarganya di tanganmu."

Dharmaja makin meradang. Seperti kesetanan, ia melayangkan tinju serta tendangan berkali-kali ke tubuh dan wajah Rawisrengga tanpa ampun.

Beberapa saat berlalu, Rawisrengga tiba-tiba menahan tendangan Dharmaja dengan tangan. Ia mengerang lalu tertawa. Dengan susah payah ia berujar dari mulut yang berlumuran darah. "Ah, apa alasanmu hendak membawa pergi Angreni yang sebenarnya adalah karena kecemburuanmu padaku? Kau menyukai Angreni, Raka, tapi sayangnya hatinya bukan milikmu."

Dharmaja seketika menghentikan serangan. Tangannya yang terkepal dan ternoda merah darah tergantung di udara. Kesempatan ini dimanfaatkan Rawisrengga untuk melanjutkan perkataannya.

"Kau sudah jatuh terlalu dalam, Raka. Aku sangat mengasihanimu. Apa karena ini kau tak bisa berpikir jernih? Apa kau tak menyadari jika Angreni aman di sini dibanding di luar sana?"

Seolah-olah dirinya ikut terhanyut dalam permainannya, Dharmaja pun terbahak-bahak, lalu kembali menghantam sang adik. Ia hanya berhenti untuk mengucapkan sesuatu. "Oh, apa kau tahu, apa alasan aku ingin membawa pergi Angreni dan menghajarmu sekarang? Coba ingat, setelah kematian ibu apa yang kau lakukan selain bemuram durja? Tidak ada. Kau sangat menyedihkan dan aku membenci dirimu sampai ke tulang."

Kakaknya benar. Katakanlah Rawisrengga sinting karena ia tak berniat untuk membela diri. Ia berpikir dirinya pantas mendapatkan ini. Seumpama keledai yang harus dicambuk agar mau berlari, ia berharap serangan yang ia terima dari Dharmaja mampu mengembalikan kewarasannya yang sempat hancur ditelan kesedihan. Coba hitung, sudah berapa banyak waktu yang terbuang percuma karena penyangkalannya terhadap kematian ibu? Apakah kemarahannya pada Miruda berguna? Di antara erang kesakitan, dia menertawai ketololannya sendiri.

Sesungguhnya Rawisrengga tak tahu kapan Dharmaja akan berhenti memukulinya, tapi menilik dari sifat kakaknya, ia bisa menduga kalau ia akan mendapatkan bengkak dan memar selama kurang lebih tiga minggu beserta patah tulang di beberapa tempat. Dari matanya yang membengkak dan mulai sulit dibuka, Rawisrengga melihat paman Nawarsa datang dan berusaha memisahkan mereka. Namun, ia pun tak luput dari hantaman Dharmaja. Rawisrengga lantas memberikan gestur pada paman Nawarsa untuk tak menganggu.

Lihat selengkapnya