Setengah hari kemudian dihabiskan Miruda untuk menyiapkan perbekalan. Unengan memaksa untuk membantu dan ia tak bisa melarang adiknya itu.
Unengan yang tengah melipat pakaian Miruda untuk sesaat mengehentikan kegiatannya. "Raka, apakah kau bisa menolongku mengambilkan dendeng yang telah kusiapkan di pawon? Aku lupa membawanya."
Miruda mengangguk. Ia bangkit dari duduk lalu keluar kamar. Di tengah perjalanan, ia tak sengaja menemukan Angreni tengah bercakap-cakap bersama Rongga di depan pawon. Dahinya mengerut saat mengetahui di tangan Angreni terdapat nampan yang berisi berbagai hidangan—yang ia duga diperuntukkan untuk kakaknya. Bukankah Rongga yang seharusnya mengantar makanan itu?
Hanya butuh sekali kedipan mata bagi Miruda untuk mengerti.
Tak lama, percakapan itu berakhir. Tebakannya tepat karena kemudian Angreni pergi menuju kamar kakaknya. Ia pun menyembunyikan diri ketika Angreni melintas, lalu mengikutinya seperti penguntit.
Miruda tiba-tiba berhenti. Untuk sesaat ia merasa begitu bodoh. Mengapa ia melakukan perbuatan konyol ini?
Karena sudah kepalang tanggung, akhirnya ia melanjutkan sambil mengira-ngira langkah apa yang hendak Angreni ambil setelah ia dengan tegas melarangnya untuk menaruh hati pada kakaknya.
Sesudah Angreni masuk ke kamar Rawisrengga, Miruda memutuskan untuk memerhatikan mereka dari balik dinding. Dari jendela yang hanya berjarak sedepa dari kepalanya, ia menyaksikan Angreni meletakkan nampan di pangkuan kakaknya dengan malu-malu. Kakaknya kemudian tersenyum seraya menyilakan Angreni untuk duduk di dipan, bersamanya.
Angreni meremas-remas kain yang menutupi tungkainya tanpa berani melihat Rawisrengga langsung. "Apakah tidak apa-apa, Raka?"
"Aku tidak tahu alasanmu mengantarkan makanan padaku saat ini, tapi aku senang saat kau mengunjungiku. Jika kau tidak keberatan, maukah kau menemaniku sampai makananku habis? Ada banyak hal yang ingin kukatakan padamu, termasuk ucapan terima kasih karena kau telah menyelamatkanku berkali-kali, Angreni."
Miruda mendengkus geli. Ia bertaruh, Angreni pasti tinggal.
Sebagaimana yang Miruda duga, Angreni mengikuti kata hatinya yang menggebu-gebu. Dengan kikuk ia menempatkan diri di sebelah Rawisrengga. Miruda mendadak iba. Gadis kecil itu tak mungkin mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Apa sekarang kau bersolek, Angreni?"
Angreni terkesiap. Pertanyaan Rawisrengga tadi dijawab anggukan kecil. "Adakah yang salah, Raka?" tanyanya gelisah.
Rawisrengga menggeleng. "Aku baru menyadarinya beberapa hari lalu. Harum tubuhmu mengingatkanku pada ibu. Wangi mawar yang sangat kusukai," ungkapnya sambil menyelipkan rambut Angreni yang menjuntai ke belakang telinganya.
Miruda yang meyaksikan kejadian itu buru-buru memalingkan wajah. Ia merasa ada yang salah. Seperti ada sesuatu yang mengganjal, tetapi untuk saat ia tidak ingin peduli. Saat atensinya kembali ke dalam kamar, wajah Angreni yang tersipu sekonyong-konyong merebut perhatiannya.
Angreni. Ia menyebut nama itu dalam hati. Seperti mantra, nama itu melebur sepanjang aliran darah, dan bercokol dalam pikirannya. Awalnya Miruda enggan menerima, tetapi, makin lama keberadaan Angreni laiknya tetesan air yang mampu melunakkan batu. Ada dua alasan utama mengapa akhirnya ia menurunkan perisai pertahanan; Pertama, segala kecurigaan yang selalu ia alamatkan padanya tak terbukti. Kedua, meski berat ia akui, Angreni pernah menyelematkan Unengan. Terlebih lagi, kejadian di tempat persembunyian dulu masih terlalu membekas.
Sampai sekarang sebenarnya ia tak bisa melupakan betapa bejat dirinya karena telah meninggalkan Angreni di tengah dinginnya malam. Kenangan itu teronggok di sudut kepalanya yang kacau balau bersama kenyataan bahwa dirinya menyaksikan Dharmaja membawa Angreni ke kamar, serta selimut di tangan yang gagal ia berikan.
Dia tak membenci Angreni. Sungguh. Ia masih memiliki hati. Salahkan segala perkara beberapa tahun belakangan yang membuatnya menjadi pribadi bengis. Karena hal itulah sering kali pengendalian diri yang telah ia pelajari tak mampu membendung emosinya yang meledak-ledak.
Miruda akhirnya menyudahi kegiatan menguping yang ia lakukan. Ia berencana menemui Rongga untuk mencari tahu setelah urusan dengan Unengan selesai.
Sore harinya, di depan pendapa, ia kembali tak sengaja melihat Angreni bersama dua murid pedepokan tengah sibuk membahas sesuatu—baiklah, bukan tidak sengaja. Ia memang mencari Angreni tapi harga dirinya yang seteguh gunung tidak sudi mengakui. Dari kejauhan, Miruda mendapati wajah Angreni agak pucat. Apakah dia baik-baik saja?
Miruda kemudian menunggu di posisi yang tidak terjangkau pandangan mereka sampai ketiganya menyelesaikan obrolan. Dua murid perempuan itu lalu pergi meninggalkan Angreni yang terlihat resah, sesekali meringis sembari memegangi perut.
Ia pun mendekat. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, mengangetkan Angreni.
"Aku ... aku baik-baik saja." Angreni memaksakan senyum, tapi Miruda tak mudah dibohongi. Pasti ada sesuatu yang Angreni coba tutupi.
Miruda mengamati Angreni sebentar. Karena tidak bisa menemukan hal yang Angreni sembunyikan, ia pun melanjutkan, "Apa kau sedang mencarinya?"
Angreni menatap bingung. "Siapa yang kau maksud?"