Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan

Anisha Dayu
Chapter #50

Hadiah

"Ini adalah pesta milikmu. Kenapa kau malah duduk berdiam diri di pinggir seperti ini?

Angreni tersentak mendengar pertanyaan barusan. Ia mendongak dan menemukan Miruda berdiri bersama Unengan. Kedua kakak-beradik itu lantas bergabung bersamanya.

"Kami hendak memberikan ini untukmu," ucap Unengan seraya memberikan sebuah kotak kayu padanya. "Bukalah, Kaka."

Angreni tercengang saat ia mengetahui benda apa yang ada di dalam kotak itu. Ia mengeluarkan sebuah cincin emas bermata biru laut dan terkagum-kagum memandangi benda cantik itu. Unengan bergurau bahwa Miruda yang memilihkan cincin itu karena dirinya pernah tak sengaja mendengar Angreni bercerita dengan antusias tentang keinginannya melihat laut. Namun, Miruda lekas menyangkal dengan tegas sambil menyebut Unengan hanya mengada-ada.

"Simpan cincin itu baik-baik. Harganya sangat mahal karena batu yang ada di cincin itu hanya bisa didapatkan dari pedagang asing."

Gadis kecil itu tertawa mendengar perkataan Miruda. Sungguh konyol karena nada ucapan dan raut wajahnya sangat berbeda. "Terima kasih, aku akan menjaga cincin ini dengan baik," timpalnya sembari memakainya di jari manis kiri. "Terima kasih juga karena kau mengingat tiap detil yang pernah kuucapkan." Ada jeda sebentar yang ia pergunakan untuk menatap Miruda dengan matanya yang jernih. "Selama aku hidup, aku memang belum pernah melihat laut. Itu menjadi keinginan terbesarku sekarang."

Miruda membuang muka sambil berdecak. Pada waktu yang sama, Rawisrengga yang telah selesai berbincang-bincang dengan Paman Nawarsa datang membawa sebuah kotak kayu berukir. Melihat kedatangan kakaknya, Miruda menyeret Unengan pergi dengan alasan ia ingin mengambil makanan.

Angreni menatap kepergian keduanya dengan dahi berkerut.

“Angreni.”

Gadis kecil itu tersentak mendengar panggilan Rawisrengga. Ia melihat pemuda itu berjalan mendekat dengan sedikit tertatih-tatih. Diam-diam, tanpa sadar, Angreni memuja paras serta tubuh kecokelatan pemuda itu. Menyadari apa yang dilakukannya sangat tidak tahu malu, ia segera menunduk sambil merutuki diri. Biar bagaimanapun Rawisrengga dan dirinya berdiri di tempat yang berbeda.

"Kau terlihat sangat indah hari ini," ucap Rawisrengga seraya mengangsurkan tangan padanya.

Angreni memandang tak mengerti, yang disambut dengan tawa renyah pemuda itu.

"Maukah kau ikut denganku sebentar? Ada yang ingin kutunjukkan padamu. Mungkin, sedikit menjauh dari keramaian terdengar lebih menyenangkan, bukan?"

Gadis kecil itu awalnya ragu, tetapi akhirnya ia menyetujui ajakan itu. Rupanya Rawisrengga membawanya menuju halaman belakang pedepokan di mana sebuah saung berdiri kokoh. Di sekelilingnya tumbuh tanaman perdu bunga-bungaan berwarna-warni. Angreni terperangah. Sejak kapan area belakang pedepokan yang tak terawat berubah menjadi taman?

"Aku memang sengaja menyiapkan semua ini untukmu. Ini adalah salah satu hadiah dariku." Pemuda itu menjawab, seakan-akan ia bisa membaca pertanyaan dari raut Angreni.

"Terima kasih banyak." Gadis kecil itu mencicit, sekuat tenaga menyembunyikan dadanya yang bergemuruh gembira. Di pipinya muncul semburat merah yang warnanya hampir menyerupai kelopak bunga soka.

Mereka berdua beriringan menju saung. Wangi bunga kenanga dan melati yang menyambut kedatangan keduanya, membuat ujung hidung Angreni tergelitik. Sesekali ia mencuri pandang pada sosok Rawisrengga yang tinggi. Pantulan cahaya obor membuat garis serta lekuk wajahnya makin tegas. Matanya yang tajam. Alisnya yang lebat. Hidungnya yang bangir. Jika diperhatikan lebih saksama, begitu banyak kemiripan antar Dharmaja dan Rawisrengga, yang membedakan hanyalah bagian bibir. Pemuda itu memiliki bibir yang tampak selalu tersenyum. Sungguh rupawan. Ia jadi bertanya-tanya, siapakah perempuan beruntung yang nantinya mampu menaklukan hatinya?

"Apa kau tidak ingin duduk dan hanya akan terus menatapku seperti itu?"

Angreni tersedak ludah sendiri, malu karena tertangkap basah bertindak kurang ajar. "Maafkan aku," ujarnya sambil menunduk dalam dan meremas-remas selendang yang dipakainya.

Rawisrengga menanggapi permintaan maaf Angreni dengan gelak tawa. Ia lantas menyilakannya duduk.

Dengan malu-malu Angreni mengangkat sedikit kain yang membungkus tungkainya sebelum menaiki tangga batu saung dan duduk di dalamnya. Saung ini pastilah terbuat dari bahan berkualitas tinggi. Fondasi dan pilar yang diukir dengan dengan sangat rapi, lantainya yang terbuat dari kayu kamper berbau harum, serta tikar jerami yang melapisinya terasa sangat lembut. Pandangannya lantas jatuh pada siter, selimut serta nampan yang berisi teko dan gelas di sudut saung. Apakah Rawisrengga juga menyiapkannya semua itu untuknya? Apa yang ingin Rawisrengga lakukan dengan siter itu?

"Kau menyukainya?"

Bohong kalau ia tak menyukainya. Namun, ia berpikir kalau ini terlalu berlebihan. Apakah ia pantas menerimanya?

"Aku juga memiliki hadiah lain untukmu."

Hadiah lain? Angreni mendongak dan terkejut melihat sepasang tusuk rambut gading dengan hiasan mutiara dan batu merah delima di tangan Rawisrengga.

Angreni membuka mulut, tapi dengan cepat menutup kembali. Tak ada kata yang sanggup keluar mulutnya. Ia tahu pasti tusuk rambut yang dihadiahkan Rawisrengga padanya pasti selangit harganya. Bagimana ia bisa menerima hadiah semahal itu? "Aku ... aku ... tidak ..."

Rawisrengga menghela napas kecewa. "Aku akan sangat sedih jika kau tak bisa menerimanya."

Ia tak tahu apakah ia harus bahagia atau bersedih. Jujur, ia amat sangat bahagia menerima pemberian itu. Akan tetapi, sekali lagi, perlu ia tegaskan, apakah ia patut mendapatkannya? Angreni meringis. Jika dijual, dirinya mungkin tak sebanding dengan harga tusuk rambut itu.

"Aku akan membantumu memasang tusuk rambut ini."

Lihat selengkapnya