Pelan-pelan Angreni membuka kain pembungkus benda itu dan seketika ia membelalak. "Kau memberikanku ini!" serunya tak percaya. Bagaimana tidak, Dharmaja memberikannya sebuah patrem1 dengan batu-batu mulia kecil yang terhias pada sarungnya. Gagang patrem tersebut disepuh emas dan ada sebuah batu merah delima tersemat di tengah ukiran berbentuk kelopak teratai. Dirinya tertawa kecil lantaran teringat sesuatu.
"Aku harap tawamu itu bukan pertanda kau tidak menyukainya." Dharmaja mendengkus, pura-pura merajuk.
Angreni menggeleng sambil mengusap jejak air mata di pipi. Senyumnya perlahan terkembang kala mengusap batu merah delima pada patrem pemberian lelaki itu. "Setelah sekian lama, aku baru meyakini jika kau dan Raka Rawisrengga memiliki hubungan darah, Raka."
"Apa maksudmu dengan itu?" sambar Dharmaja tersinggung.
Gadis kecil itu tersenyum geli, lantas menarik tusuk rambut hingga gelungan rambutnya terlepas. "Lihat. Dua permata merah delima yang kalian berdua hadiahkan kepadaku begitu mirip," katanya seraya menunjukkan tusuk rambut perak yang dipakainya tadi. "Raka Rawiresngga yang memberikan ini."
Dharmaja sadar jika dirinya telah kalah dari Rawisrengga setelah melihat Angreni yang lebih tertarik untuk mengelus permata tusuk rambut pemberian Rawisrengga dibanding patrem yang ia berikan. "Kau menyukainya?" Getir dalam suaranya gagal ia sembunyikan.
"Ya. Aku sangat menyukainya." Sekali lagi, senyum terbit di wajah Angreni, bersamaan dengan fajar yang mulai menyingsing di ujung cakrawala.
Tanpa tahu malu Dharmaja membelai helaian rambut yang jatuh di dahi Angreni, lalu menyampirkan ke belakang telinga gadis kecil itu. "Aku senang kau menyukainya. Patrem itu nantinya akan melindungimu dari marabahaya."
Angreni sedikit gugup. Ia tidak tahu mengapa seperti ada gemuruh menyenangkan di dada, apalagi setelah gestur kecil yang Dharmaja lakukan tadi.
Keduanya terhenyak, lebih-lebih Dharmaja yang mendadak berubah menjadi orang dungu ketika mendapati pipi Angreni yang dihasi semburat merah jambu. Gadis kecil itu menatapnya dengan mata seindah bintang. Hatinya bergetar. Tanpa ia sadari, jarak antara keduanya telah terkikis. Katakanlah dirinya hilang akal, tapi ia sungguh tak bisa membendung hasrat untuk tidak mengecup ranum merah Angreni yang terlihat begitu penuh dan cantik.
Sementara di sisi lain, Angreni kalang kabut. Debaran dadanya menggila. Ia pun menahan napas dan langsung menutup mata rapat-rapat karena tak berani melihat langsung wajah Dharmaja yang dekatnya tinggal sekepalan tangan.
"Angreni."
Keduanya harus rela kembali pada kenyataan berkat panggilan seseorang dari belakang.
Dharmaja mengusap wajah demi menyembunyikan emosi yang sempat menggelegak, sementara Angreni menyembunyikan dirinya di balik tubuh besar lelaki itu seraya berupaya menormalkan detak jantungnya.
"Apa yang kau lakukan di situ, Rawisrengga?" tanya Dharmaja dengan gigi bergemeletuk menahan geram.
Rawisrengga tersenyum lembut. Angreni sedikit terperangah karena senyum itu, tapi tidak bagi Dharmaja. Di matanya, senyum itu seperti sebuah penghinaan.
"Justru akulah yang harus bertanya padamu, Raka. Sedang apa kau di sini pagi-pagi sekali? Aku kemari hendak mengajak Angreni menemui Paman Nawarsa untuk membahas rencana ke depan."
Angreni membalas gugup, "Benarkah?"
"Aku sudah memberitahumu kemarin malam. Kau tidak ingat?"
Gadis kecil itu merasa perutnya melilit. Celakalah. Dia sama sekali tak mengingat perkataan Rawirengga malam tadi.
"Jangan bilang kau akan menceritakannya masalah itu," sergah Dharmaja curiga.
"Ya." Tanpa menunggu reaksi Dharmaja, Rawisrengga melanjutkan, "Angreni berhak tahu sebelum kepergian kita."
"Masalah apa?" tanya Angreni tak mengerti.
Alih-alih menjawab, Rawisrengga malah mendekati mereka berdua, kemudian mengulurkan tangannya untuk Angreni. "Mari, kubantu kau berdiri."
Dharmaja adalah orang yang pertama bangkit dan ia lantas pergi begitu saja meninggalkan adik tirinya berserta Angreni yang memandang punggungnya muram. Bibirnya terkatup rapat, menelan kecewa lantaran laki-laki itu meninggalkannya tanpa pamit.
Angreni menghela napas berat. Pada akhirnya ia menyambut uluran tangan Rawisrengga sedikit enggan.