Angreni menatap pantulan dirinya di cermin. Gurat kekanakan telah hilang dari wajahnya. Kini yang terpampang di hadapannya adalah paras seorang gadis dengan segudang pengalaman dalam pentas tari. Bahkan dia telah ditunjuk oleh Paman Nawarsa sebagai pengurus murid-murid perempuan serta gadis penari muda setelah pengurus yang lama mengundurkan diri dengan alasan menikah. Segala yang diraihnya bukan tanpa rintangan, tapi biar begitu ia berhasil membuktikan kepada seisi pedepokan bahwa ia berhak menempati posisi itu berkat keuletannya dalam menyerap ilmu yang diberikan kepadanya. Ia kemudian meraih kotak perhiasan yang ia letakkan di sebelah jambangan dan mengambil cincin bermata biru serta tusuk rambut gading berhias mutiara dan batu merah delima dari dalamnya.
Perlahan ia menyisir rambut hitam legamnya, menggulungnya menjadi sanggul kecil, dan merapikannya dengan tusuk rambut tadi. Tak lupa ia memakai cincin bermata biru itu di ibu jari tangan kanannya serta menyelipkan patrem pemberian Dharmaja di sabuk kainnya sebelum keluar kamar menuju pendapa utama.
Di pendapa utama, beberapa gadis muda tengan menunggunya bersama istri Paman Nawarsa. Angreni tersenyum lalu menjura. “Ibu, apakah gadis-gadis sudah siap?” tanyanya pada wanita itu.
Istri Paman Nawarsa mengelus wajahnya sebelum menjawab, “Kau bisa melihat sendiri, Anakku.”
Perhatian Angreni kemudian teralih pada empat gadis penari muda yang menjadi asuhannya. Wajah mereka terlihat tegang. Ia pun terkekeh kecil. “Aku tahu mungkin beberapa dari kalian merasa takut karena ini pekerjaan pertama yang dilakukan di tempat jauh. Tapi tenang saja, aku akan memastikan perjalanan kita kali ini akan berjalan dengan lancar.”
Sesuai jadwal, rombongan seni Paman Nawarsa akan berangkat tepat saat matahari sepenggalah. Terdapat tiga cikar yang menjadi kendaraan mereka dari Panumbangan menuju Lodaya, tempat di mana seorang saudagar kaya yang telah menyewa mereka untuk mengisi acara pernikahan putrinya berada. Di barisan paling depan, satu cikar yang dikendalikan Suwing dan dijaga dua penari laki-laki senior membawa peralatan musik beserta kostum-kostum tari. Sedangkan cikar untuk para gadis berada di tengah yang dikemudikan oleh Rongga. Sementara itu, Paman Nawarsa dan penari lelaki lainnya menempati cikar paling belakang.
“Kaka,” panggil Unengan yang juga ikut mengantar rombongan itu sampai gerbang bersama istri Paman Nawarsa.
Angreni yang belum sempat menaiki cikar pun menoleh. “Ada apa?”
Tanpa ia duga, Unengan menariknya ke dalam pelukan hangat. “Kaka, hati-hati di jalan,” ucapnya yang serupa bisikan. “Jika kau bertemu dengan tiga kakakku, tolong sampaikan pesanku pada mereka bahwa aku merindukan mereka dan aku akan selalu menunggu kepulangan mereka berdua.”
“Aku akan menyampaikan pesanmu, Rayi. Tenang saja,” balasnya sembari mengusap-usap pelan punggung gadis muda di hadapannya. Sama seperti dirinya, Unengan pun kini telah beranjak dewasa.
Pada dasarnya perjalanan ini memang bukan hanya dimaksudkan untuk menghui kemampuannya semata, tetapi perjalanan ini menjadi kesempatan baginya untuk bertemu kembali dengan ketiga bersaudara itu. Melalui surat, keduanya memberi tahu jika mereka berdua juga akan berada di Lodaya di hari pesta pernikahan saudagar itu diselenggarakan. Sebenarnya ini bukan kebetulan, tetapi Rawisrengga memang sudah merencanakannya dengan matang. Persiapan mereka untuk merebut kembali Daha hampir selesai. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan seranga pada Sri Aryesywara. Angreni tersenyum. Ia jadi bertanya-tanya apakah mereka akan mengenalinya dirinya, mengingat wajahnya sedikit banyak telah berubah.
“Baiklah.” Angreni melepaskan pelukannya. “Kami pergi dulu.”
“Tunggu sebentar,” sela Unengan. Dengan cepat ia mengambil keranjang bambu yang dilapisi kain. “Aku membuatkan kudapan ini untuk bekal perjalananmu, Kaka. Kau bisa membaginya dengan gadis-gadis.”
“Terim kasih.” Angreni tersenyum lebar menerima keranjang itu. Setelahnya ia menaiki cikar dan duduk di ujung dekat pintu masuk, sementara para gadis penari telah menempati tempat mereka masing-masing. Kemudian, terdengar siulan Suwing, lalu disusul dengan siulan lain yang dilontarkan Rongga dan pemegang kemudi cikar paling belakang.
Ketiga cikar itu pun bergerak menyusuri jalan yang membawa mereka meninggalkan desa.
*
“Raka, menurutmu kapan kita akan sampai?” Salah seorang gadis penari muda yang berada di dalam cikar Angreni bertanya pada Rongga.
“Tidak lama lagi.” Rongga menoleh ke belakang. “Kau tenang saja. Jika kau lelah, kita bisa beristirahat di kedai. Bagaimana menurutmu Angreni?”
Angreni mengusap peluh di dahinya sebelum berujar, “Kupikir kita bisa beristirahat di kedai desa terdekat. Menurutku, kita masih punya banyak waktu sebelum hari pernikahan saudagar itu. Aku yakin Paman Nawarsa akan setuju. Apalagi setelah ini kita akan menyeberangi sungai, bukan begitu?” ujarnya. Ia lalu memberitahukan hal ini pada Rongga. Pemuda itu lantas bersiul sebagai tanda bahwa mereka butuh istirahat.
Cikar yang membawa mereka terus membelah hutan. Roda-roda kayunya yang dipenuhi tanah kering berputar di atas jalan yang bergelombang, membuat cikar bergoyang dan penumpang terayun-ayun.
Sepanjang perjalanan, Angreni tak pernah berhenti mengintip melalui celah tirai jerami yang terpasang pada atap cikar sebagai penghalang hujan dan terik matahari. Pemandangan di luar berganti-ganti menyambutnya. Mulai dari perkampungan kecil dengan rumah-rumah beratap rumbia, hamparan sawah hijau yang luas, sungai dengan air yang mengalir deras, hingga gunung-gunung yang menjulang gagah.
Akhirnya, setelah empat hari perjalanan panjang, rombongan seni Paman Nawarsa pun tiba di Lodaya. Setelah mendapatkan izin dari penjaga gerbang kota, seorang penjaga mengantarkan mereka ke sebuah rumah besar yang berada tidak jauh dari pusat kota. Kabarnya, saudagar yang menyewa kelompok seni mereka ini adalah orang kepercayaan para penguasa Kamal Pandak.
Salah seorang utusan dari sang saudagar datang menemui Paman Nawarsa. Sesudah bertukar salam dan beberapa kalimat, si utusan mempersilakan mereka mengikutinya menuju penginapan yang telah disiapkan khusus untuk mereka.