Butuh waktu kurang lebih satu jam berkendara bagi mereka untuk sampai ke tempat kerja mereka berdua, yang letaknya lumayan jauh dari pusat kota. Selama perjalanan, Galih berkali-kali memandangi spion, memastikan bahwa Vivi baik-baik saja. Sementara yang diperhatikan tampak lebih tertarik menatap jalanan.
"Neng Vivi kalau mau pulang bisa kasih kabar ke saya, biar nanti kita pulang sama-sama," ujar Galih tanpa memalingkan wajah.
"Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri naik ojek."
"Tapi pasti mahal."
"Aku bilang bisa pulang sendiri!"
Galih mengangguk samar. Bersamaan dengan itu, motor matic yang membawa mereka pun berhenti di depan sebuah minimarket yang kanan dan kirinya diapit oleh dua rumah makan.
"Saya pamit dulu. Hati-hati, ya, Neng," ucap Galih sebelum menjalan kembali sepeda motornya menuju tempat kerjanya sendiri.
Vivi terdiam di tempatnya sambil lamat-lamat mengamati punggung Galih yang makin mengecil. Sepeda motor yang membawa Galih kemudian berbelok ke sebuah tempat. Dari tempatnya berdiri, gadis itu dapat melihat sebuah tiang menjulang dengan papan berpendar di atasnya. Meski kecil, Vivi masih mampu untuk membaca nama sebuah bank swasta nasional yang tertera di sana.
Ya, Galih bekerja di bank itu sebagai seorang teller. Siapa yang menyangka jika seorang anak mantan asisten rumah tangga yang dulu sering ia musuhi, kini mempunyai pekerjaan yang lebih tinggi derajatnya? Oh, lihat, betapa Tuhan mempunyai selera humor yang konyol.
Vivi melihat jam di ponselnya sekilas. Pukul enam lewat lima belas. Ia harap hari bisa cepat berlalu agar ia bisa langsung kembali ke rumah dan tidur. Kepalanya mendadak sakit setelah kejadian bertemu hantu sialan di bukit tadi.
Ia kemudian melangkahkan kakinya menaiki undakan tangga dan membuka pintu kaca minimarket. Di dalam, Vivi dapat melihat seorang wanita berkacamata tengah berdiri di samping meja kasir. Dia Mbak Irma, salah satu kasir senior yang selalu bersikap baik kepadanya. Entah ada maksud lain di balik kebaikannya itu atau tidak, dirinya tak mau ambil pusing.
"Selamat pagi, Mbak," sapa Vivi berusaha ramah. Meski enggan, ia harus tetap bermanis-manis muka pada semua orang jika ingin pekerjaannya lancar.
"Pagi juga, Vivian," balas wanita itu sambil memaksakan senyum. Untuk beberapa saat Vivi merasa aneh saat mendapati wajah mendung seniornya itu.
"Hei, kamu anak baru," panggil seseorang dari belakang.
Vivi menarik napas panjang saat tahu yang memanggilnya adalah sang kepala toko. "Ya, ada apa, Pak?" sahutnya sambil memaksakan senyum. Jujur saja, ia langsung tak menyukai atasannya itu karena ia kerap kali memerintah tanpa tahu situasi.
"Kamu sekarang kerjain planogram bagian snack, soalnya ada perubahan harga. Yang cepet, sebentar lagi kita mau buka. Dan jangan lupa lap pintu dan semua kaca depan sampai bersih." perintah laki-laki itu sambil berjalan keluar toko. Entah mau ke mana dia, Vivi tak peduli.
Setelah mendapatkan price tag yang di maksud, gadis itu pun menggerakan kedua tangannya setengah tak ikhlas. Mengganti kertas price tag semua makanan yang ada di dalam rak memang bukan hal yang sulit, hanya butuh ketelitian, tapi berbeda bagi Vivi. Pekerjaan ini sungguh menghancurkan harga dirinya. Jika diibaratkan, dulu dia adalah putri yang hidup dalam kemewahan, tapi sekarang ia nyaris seperti budak yang selalu diperintah majikan.
Butuh waktu sampai sepuluh menit bagi Vivi untuk menyelesaikan tugasnya mengganti price tag. Karena tak mau mendengarkan ocehan si kepala toko, gadis itu bergegas mengambil kain lap dan cairan pembersih di ruang karyawan. Tepat sekembalinya dari ruang karyawan, seorang lelaki dengan setelan hitam memasuki toko dan langsung berjalan menuju rak berisi makanan ringan.
Pasti orang kota. Vivi membatin. Ia sangat yakin karena mustahil bagi orang-orang desa bisa memakai setelan jas, dasi serta sepatu yang terlihat sangat mahal macam itu. Ya, meskipun ada, perbandingannya mungkin hanya sekitar satu banding seribu.
Awalnya, Vivi tak peduli dengan lelaki itu, tetapi ketika ia mendapati gerak-gerik mencurigakan darinya, ia mau tak mau menghampiri. Diam-diam Vivi berpura-pura memberesi minuman-minuman kemasan sambil sesekali melirik ke arahnya. Dahinya seketika mengerenyit saat si lelaki terlihat serius memandangi deretan cokelat di atas rak.
"Hei, bisa bantu saya?"
Vivi tergagap saat pandangan mata mereka bertabrakan. Dari jarak ini ia bisa melihat seluruh wajah si lelaki. Kulitnya kecokelatan, matanya besar dengan bulu mata lentik, dan ada sebuah tahi lalat di pipi kiri. Vivi sengaja berdeham untuk mengembalikan ekspresinya seperti semula. "Ya, ada apa?"
Si lelaki mengalihkan pandangannya pada deretan cokelat berbagai macam rasa dan merek. "Bisa kasih tahu saya, cokelat mana yang paling enak dan paling mahal?" tanyanya dengan tampang datar.
Vivi menatap laki-laki itu dari ujung kepala sampai ujung kaki sebentar sebelum mendekat. "Ini yang paling enak dan paling mahal," jawabnya sambil menunjuk sebuah cokelat batang berukuran besar dengan bungkus berwarna ungu.
Laki-laki itu mengambil cokelat itu dan menelitinya. "Saya ambil semua cokelat yang seperti ini."
Sebelah alis Vivi terangkat. Total ada delapan bungkus cokelat yang ada di rak dan laki-laki itu mau membeli semua? Dia mau pesta atau apa?
"Kamu tolong bantu saya bawa semua cokelat-cokelatnya," perintah laki-laki itu lagi.
Vivi mengangguk dan langsung membawa delapan bungkus cokelat itu ke kasir, sementara si lelaki mengikutinya dari belakang.