Menjelang tengah hari, pengunjung toko masih dapat dihitung dengan jari. Entah hari ini semua orang sedang malas keluar rumah atau wisatawan yang akan menuju ke pantai memang berkurang. Yang Vivi tahu, minimarket inilah satu-satunya toko modern dengan akses yang paling dekat dengan objek wisata itu. Rasanya agak ganjil kalau orang-orang itu tak berkunjung ke sini.
"Vivi, kamu ke sini, deh!"
Vivi merespon seadanya ketika namanya dipanggil. "Ya, Mbak?"
"Kamu mau lihat sesuatu, nggak?"
Sejujurnya Vivi hendak menolak, tetapi tangannya sudah keburu ditarik oleh seniornya itu.
"Tadi saya baru dapat kiriman video dari keponakan saya. Dia baru aja selesai latihan buat acara di alun-alun besok lusa."
Vivi sejujurnya amat tidak tertarik, tetapi demi alasan kesopanan akhirnya ia sanggupi ajakan Mbak Irma untuk menonton video dari ponselnya itu. Ketika video itu diputar, Mbak Irma tampak antusias mengomentari keponakannya yang tengah melenggak-lenggokkan badan mengikuti iringan musik gamelan.
Tarian itu terlihat sangat indah. Tiga dara dengan gemulai memainkan selendang berwarna-warni yang terikat di pinggang kecil mereka. Ketiganya terlihat masih sangat muda. Sorot mata mereka memancarkan api semangat untuk mengejar impian.
"Dia ini, katanya gurunya berbakat sekali. Dia itu baru kelas satu SMA tapi sudah menang lomba di mana-mana. Ah, dia bahkan pernah sekali diundang ke kedubes asing di Jakarta sana, lho! Dia punya cita-cita jadi salah satu penari yang bisa manggung di keduataan Indonesia di luar negeri!"
Vivi terdiam. Melihat gerakan gemulai si penari dalam video itu membawa kembali ingatan yang ingin ia kubur dalam-dalam. Ia juga punya mimpi, sama seperti gadis di video itu. Akan tetapi, semuanya kandas oleh sebuah kesalahan besar yang bahkan tak pernah ia lakukan.
Ia sengaja mengalihkan pandangannya ke arah pintu kaca untuk meredakan sesak di dada. Namun sayang, bayangan yang terpantul di kaca itu membuat luka yang menganga terasa makin perih dan racunnya menjalar ke seluruh aliran darah. Samar-samar Vivi melihat sosok lain dengan wajah yang menyerupai dirinya. Sosok itu berdiri begitu anggun dalam balutan rok tutu warna merah muda. Kedua kakinya yang langsing terpasang sepatu balet berwarna senada.
Sosok bayangan itu kini mulai mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi hingga yang menyentuh lantai hanyalah ujung-ujung jari kaki. Dengan gemulai tubuhnya meliuk seperti busur. Gerakannya begitu halus saat ia berputar.
"Kamu tahu, tarian ini menceritakan tentang kisah Inu Kertapati dan Candra Kirana. Oh, ya, kamu tahu cerita mereka, kan?"
Perkataan Mbak Irma bagai angin lalu di telinga Vivi. Seluruh atensinya teralih pada sosok balerina cantik di kaca. Seolah-olah reflektor film usang, kaca itu menampilkan seluruh gerakan yang balerina itu lakukan. Vivi sempat terpana, tetapi kemudian tersentak tatkala sosok itu terjatuh dan menangis tersedu-sedu di samping sebuah pusara. Sosok cantik itu terlihat begitu terpukul. Sambil berteriak ia melepas sepatunya dan melemparnya jauh-jauh.
Tanpa terasa, setitik air mata jatuh membasahi pipi. Vivi yang menyadari itu buru-buru mengusapnya dan berpaling lagi ke arah layar ponsel Mbak Irma yang masih menampilkan video keponakannya.
"Besok lusa, kamu ikut ke acara alun-alun itu nggak, Vi?" tanya Mbak Irma ketika video itu selesai. Ia kemudian memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.
Vivi menggeleng sebagai jawaban.
"Kenapa? Nanti pasti ramai. Ada pasar malam juga di sana."
"Saya ada janji." Vivi sengaja berbohong hanya untuk mengakhiri segala ocehan Mbak Irma.
Mbak Irma mengangkat bahu lalu kembali melanjutkan perkerjaannya ketika dua orang muda-mudi membuka pintu minimarket secara bersama-sama. "Selamat datang, selamat berbelanja," sapanya kepada dua pelanggan itu.
Di saat yang sama, ponsel di dalam sakunya bergetar dua kali. Ada dua pesan masuk, tebaknya. Vivi memilih untuk menyingkir ke arah kulkas minuman yang letaknya di sudut ruangan dan tertutupi dua rak makanan. Ia sengaja memilih tempat itu karena jika atasannya menemukannya bermain ponsel saat kerja, ia bisa langsung berdalih sedang menata ulang kulkas.
Vivi membuka aplikasi pesan. Ada dua pesan yang belum terbaca dari Tante Dinar dan satu dari Galih. Sambil mendengus, ia akhirnya membuka salah satu pesan dari Tante Dinar yang paling baru.
Vivi, Budhe bakal jemput kamu. Jam 5 on-time Budhe bakal sampai sana
Sial. Pakai cara apalagi ia harus menjelaskan kepada bibinya kalau dia tidak mau dijodohkan?!
Vivi mengurut keningnya kuat-kuat. Sakit yang menjalari kepalanya datang lagi bahkan sekarang ditambah dengan asam lambungnya yang mulai naik. Kalau sudah begini ia harus cepat-cepat pergi ke toilet sebelum ia membuat kekacauan.
.
.
.