Vivi merasa hidupnya begitu sempit dan konyol. Bagaimana bisa Yang Kuasa tega bermain-main dengan takdirnya laiknya lawakan tengah malam? Dua kali rencananya digagalkan oleh makhluk tak bernyawa. Dosa apa yang telah diperbuatnya dulu sehingga ia harus menerima jalan hidup semenyedihkan ini?
Di atas tanah berumput Vivi menangis meraung-raung, menumpahkan kembali kekesalan dan juga kesedihan yang tak mampu lagi ia bendung. Sementara itu, si hantu yang barusan telah menyelamatkannya, memilih untuk menunggu sambil mengamati langit malam yang dihiasi sinar bulan.
"Kenapa kamu nolong saya?! Seharusnya saya sudah mati tadi. Seharusnya saya sudah mati!" teriak Vivi di sela-sela tangis.
Si hantu menoleh. Pelan-pelan ia mendekat lalu berjongkok di depan Vivi. "Sederhana aja sebenarnya. Saya lihat kamu mau lompat dan saya terganggu dengan itu," katanya tanpa beban.
"Kalau begitu kamu seharusnya diam aja di sana dan menganggap seolah-olah tak terjadi apa-apa!"
"Karena saya pernah mati di sini, makanya saya nggak mau kamu bernasib sama kayak saya."
Seketika Vivi menjerit histeris sambil memukul-mukul dada. Rasanya sesak dan sakit sekali.
Sambil memangku dagu, si hantu tersenyum kecil. "Menangislah yang kencang. Keluarkankan semua kesedihanmu itu. Kamu tahu, menangis bisa sedikit mengurangi rasa sakit, lho."
Seperti tersihir, tangisan Vivi bertambah keras. Bahu sempitnya terguncang hebat. Segala teriakan dan umpatan ia muntahkan, tak peduli jika nanti ada orang lain yang menemukannya dan menganggap dirinya orang gila. Di lubuk hatinya yang terdalam Vivi berharap perkataan si hantu itu benar adanya. Setelah ia menangis, rasa sakit yang ditanggungnya selama ini bisa sedikit berkurang. Atau, jika ia beruntung, semua itu akan menghilang selamanya.
Bermenit-menit berlalu, tangis Vivi mulai mereda dan hanya menyisakan sedikit isakan-isakan kecil yang masih konstan lolos dari bibirnya.
"Sudah merasa lebih baik?" si hantu bertanya dengan tangan yang masih menyangga dagu.
Vivi tak membalas. Ia lantas membuang muka sambil menyeka wajahnya yang basah air mata dengan ujung jaket yang dikenakannya.
"Muka kamu kelihatan jelek banget pas nangis tadi," seloroh si hantu, yang sayangnya, tak mampu mengundang gelak tawa Vivi. "Sekarang saya nggak bakal nanya alasan kamu mau lompat. Jadi, mari kita ganti pertanyaannya."
Tak ada gerakan berarti yang Vivi lakukan dan si hantu menganggap itu sebagai sebuah tanda persetujuan.
"Saya mau tanya, kalau kamu tadi betul-betul jatuh dan mati tadi, menurutmu apa yang akan terjadi setelah itu?"
Vivi mengerutkan dahi; bingung dengan pertanyaan si hantu?
Si hantu berubah posisi. Ia mendudukan dirinya tepat di sebelah Vivi dengan kaki yang diselonjorkan. "Kamu nggak tahu, kan?" ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan, "Pastinya orang-orang yang sayang sama kamu akan sangat kehilangan. Ia mungkin bisa jadi gila kalau mereka nggak bisa mengikhlaskan kamu."
Seperti menarik pelatuk, Vivi agaknya tersinggung dengan pernyataan si hantu. "Kamu tahu apa, hah?!" teriaknya geram. "Kamu nggak tahu kalau orang-orang yang saya sayangi semua mati. Semua udah ninggalin saya!"
Si hantu berusaha meraih tangan Vivi tapi dengan cepat Vivi menepisnya.
Tangis yang telah mereda, kini kembali pecah. "Kamu tahu, saya sendirian di dunia ini. Jadi buat apa saya masih ada di sini?!"
Si hantu refleks memberikan Vivi sebuah dekapan. Kali ini tak ada penolakan. Dengan tubuh lunglai Vivi membiarkan tubuhnya direngkuh erat.
"Apa ini karma buat saya? Tapi kenapa? Kenapa saya harus menanggung beban seberat ini?" racau Vivi dengan tangan yang terus memberikan pukulan di dada si hantu bertubi-tubi. "Saya sudah capek. Lebih baik saya mati tadi. Lebih baik saya mati."
"Ssshh ... semua akan baik-baik aja. Semua akan baik-baik aja," balas si hantu sambil menyapukan sebelah tangannya di atas punggung Vivi yang bergetar.
Pelukan itu terasa dingin bagaikan biang es. Namun, entah kenapa Vivi malah merasakan kehangatan mengalir ke sudut relung hatinya yang paling dalam. Untuk saat ini saja, bolehkah ia melampiaskan semua beban yang memberati pundaknya pada orang lain?
"Kamu bisa pakai dada saya sampai puas. Tenang, kamu nggak sendirian di dunia ini. Ada saya dan saya nggak akan ke mana-mana," bisik si hantu, seakan-akan ia dapat membaca pikiran Vivi. Dengan lembut ia menepuk-nepuk kepala Vivi sambil mendendangkan sebuah lagu dengan bahasa yang tak Vivi pahami.
Diperlakukan selembut ini tak ayal membuat Vivi merasa bagai menemukan tempat berlindung yang paling aman. Jika ia boleh memilih, ia ingin berada terus di posisi ini selamanya ketimbang menjalani hidupnya yang memuakkan.
"Kamu tahu, semua yang ada di dunia ini sudah ada yang mengatur. Kelahiran, kematian, bahkan pertemuan." Si hantu menekankan kata terakhir seraya menatap langit. "Saya yakin kamu belum saatnya pergi dari dunia ini tadi. Juga, saya yakin pertemuan kamu dan saya juga sudah diatur sama Yang Kuasa."
Gaung suara si hantu terdengar makin jauh. Vivi tanpa sadar bergumam di tengah-tengah isakan dengan mata setengah terpejam. Tangannya mencengkeram erat kaus yang dikenakan si hantu, takut jika sewaktu-waktu si hantu bakal menghilang dan meninggalkannya sendirian. Air mata seketika kembali merembes, membasahi lagi jejak-jejak di pipinya yang hampir pudar.
"Sshh ..." si hantu meraih tangan Vivi dan menggenggamnya lembut. "Jangan nangis lagi. Tidurlah yang nyenyak," lirihnya.
Lullaby manis yang masih dinyanyikan oleh si hantu bagaikan lagu pengantar tidur baginya. Vivi merasakan sesak yang mengganjal di dadanya berangsur berkurang. Kepalanya terasa sangat ringan.