Vivi tak ingat sudah berapa lama ia dalam rengkuhan si hantu. Satu jam? Dua jam? Dia sendiri tidak yakin. Namun, ia bersyukur setelah puas menangis dalam pelukan si hantu, sesak di dadanya sedikit berkurang.
Gadis itu perlahan membuka matanya yang terasa berat, kemudian tercenung sebentar setelah apa yang pertama kali dilihatnya adalah palang-palang kayu yang disusun sedemikian rupa. Wangi kemenyan dan kayu cendana menguar dari segala arah. Vivi spontan melompat bangun lalu terjatuh kembali akibat kepalanya diserang vertigo hebat. Sambil meringis, ia lemparkan pandangan ke segala penjuru.
Dinding bilik bambu, dipan kayu berukir yang beralaskan tilam yang begitu halus; ini tentu bukan kamar kontrakannya! Di mana dia sekarang? Dan, oh, apa-apaaan pakaiannya ini? Matanya terbelalak ketika ia menemukan tubuhnya hanya dibungkus selembar kain lusuh pada bagian bawah badan. Ia juga merasa kalau tubuhnya menyusut seperti tubuh anak-anak.
"Ternyata kau sudah bangun."
Vivi refleks menoleh tatkala suara ringan laki-laki masuk ke dalam indra pendengarannya. Di depan pintu, ia menemukan seorang bocah lelaki bertelanjang dada dengan rambut yang sebahu yang digerai. Dua buah kelat emas terpasang pada lengan bagian atasnya yang kecil. Tungkainya yang kurus dibalut celana cokelat selutut dengan kain jarik sebagai penutup.
Untuk sesaat, Vivi merasa pakaian yang melekat pada badan bocah itu begitu aneh. Apakah ini mimpi?
Bocah itu kemudian melangkah masuk dengan mantap lalu berhenti tepat si samping dipan. Vivi tak mampu berkedip saat melihat paras si bocah. Meski masih anak-anak, tapi kewibawaan terpancar jelas di wajahnya yang tampan. Kulitnya yang kecokelatan nampak berkilauan tertimpa cahaya matahari yang masuk melalui celah dinding bilik.
Vivi masih bergeming sambil memandangi si bocah tanpa berkedip. Tahi lalat kecil di pipi kiri si bocah terasa sangat familiar. Sayangnya, meski sudah berkali-kali ia mencoba mengingat, ia masih tak bisa menemukan siapakah sosok yang memiliki tahi lalat persis dengan yang dimiliki si bocah.
"Apa dia sudah bangun, Rahadyan?"
Sebuah suara lain terdengar dari arah pintu. Kali ini bukanlah suara laki-laki, melainkan suara halus perempuan. Ketika Vivi menoleh, seorang wanita dewasa melangkah melewati pintu, diikuti dengan dua gadis remaja yang berjalan sambil membungkuk.
Tatkala wanita itu sampai ditengah ruangan, Vivi baru menyadari kalau wanita itupun memakai pakaian yang sangat asing di matanya. Ia mengenakan sebuah kain panjang berwarna kuning hingga pergelangan kaki. Sebuah ikat pinggul melingkari pinggulnya yang kecil. Dada telanjangnya hanya ditutup dengan kain terawang yang sangat tipis. Rambutnya yang disanggul ke atas berhiaskan mahkota kecil. Vivi diam-diam membatin iri. Wanita itu sungguh cantik dan terlihat sangat berkilauan. Bahkan kilau perhiasan emas pun sepertinya akan tenggelam oleh keayuan wajah dan kemolekan tubuhnya.
Si wanita duduk dengan anggun di sebelah Vivi, tapi Vivi malah refleks menjauhkan tubuhnya. Ia takut tubuhnya yang sangat kotor ini dapat mencemari kecantikan si wanita.
"Apa kau takut padaku, Anakayu?" tanya si wanita.
Vivi menggeleng pelan sambil menunduk dalam hingga rambutnya yang panjang terjatuh menutupi setengah wajahnya.
Si wanita menyentuh pundak kirinya. "Terima kasih sudah menyelamatkan putriku. Aku tidak tahu, mungkin jika tidak ada dirimu, aku sudah pasti tak akan bisa lagi bertemu dengan putriku."
Dahi Vivi mengerut dalam. Apa yang dibicaran wanita ini? Menyelamatkan siapa? Seumur hidup ia tak pernah menyelamatkan siapapun. Justru ... dialah yang butuh diselamatkan.
"Siapa namamu, Anakayu? Apakah kau berasal dari desa dekat hutan ini?"
Vivi seketika tersentak saat wanita itu bertanya lagi. Siapa? Siapa, katanya?
Seharusnya ia bisa menjawab pertanyaan itu dengan mudah. Namun, hatinya mendadak gamang. Beberapa detik lalu ia yakin kalau dirinya adalah Vivi, tapi saat ini seluruh memori yang ada di kepalanya seperti terdistorsi, teraduk-aduk oleh gejolak perasaan asing. Ia jadi ragu apa benar dia Vivi ataukah sosok lain. Siapa? Siapakah dia sebenarnya? Sebagian kecil hatinya seakan-akan meneriakan sebuah nama. Nama yang seharusnya disandang olehnya. Akan tetapi semakin keras ia mencari kebenaran, semakin ia merasakan sakit.
Gadis itu merasa kepalanya berdenyut hebat. Pandangannya berputar manakala ingatan-ingatan yang jauh tersembunyi di balik ruang-ruang otaknya seolah-olah ditarik paksa.
"Apakah kau mata-mata suruhan Prabhu ring Daha ataukah kau mata-mata Janggala? Tak ada satupun manusia yang pernah memasuki hutan ini. Kau pasti tengah mengintai kami, kan?" kini giliran si bocah yang memberondonginya begitu banyak pertanyaan.
Vivi merasa dunia yang dipijaknya seakan-akan terbelah. Perutnya mual luar biasa. Suara kedua orang di depannya terdengar hanya bagai sapuan angin. Di ambang kesadarannya yang makin menipis, ia mengangkat wajah sambil berusaha untuk bangkit. Gejolak di perutnya benar-benar tak tertahankan. Panik, bocah lelaki yang sedari tadi berada di samping ranjangnya spontan menahan badan Vivi yang nyaris meluncur jatuh dari atas dipan.
"Apa yang mau kau lakukan, hah?!" bentak si bocah. Meski gurat kemarahan tergambar jelas di wajahnya, tapi tak dapat dipungkiri kalau hadir sekelumit kekhawatiran dari nada suaranya.
"Hei, hei, ada apa, Anakayu? Kalian, cepat ke mari!" seru si wanita memanggil dua gadis remaja yang sedari tadi berdiri di muka pintu.
Vivi menggeleng. Satu tangannya lalu mencengkeram erat di bahu si bocah, sengaja menjadikannya sebagai tumpuan. Tanpa sadar, darah segar merembes keluar dari telapak tangannya tatkala ujung kelat bahu si bocah yang tajam, tak sengaja menggores kulit telapak tangannya. Mulutnya terbuka dan menutup, seakan-akan ia tengah mengucapkan sesuatu. Sayangnya, tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya.
"Hei, apa yang ingin kau katakan?!"
"Ang—" Vivi tak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena di detik berikutnya, kesadarannya benar-benar lenyap, menyisakan satu-dua titik darah segar yang masih keluar dari telapak tangan.
.
.
.
Vivi berteriak dalam tidur. Galih yang baru beberapa menit lalu berhasil memejamkan mata pun terlonjak bangun. Dilihatnya Vivi tengah meronta-ronta sambil menangis keras. Tak tega, ia pun segera merengkuh tubuh Vivi dalam dekapannya.
"Neng Vivi, tenang, ya. Saya ada di sini," ucapnya mencoba menenangkan gadis itu.
Vivi tersengguk-sengguk dengan mata yang masih terpejam erat. Tangannya terasa dingin dan berkeringat. Galih dengan sabar menggenggamnya guna memberikan kehangatan. Hatinya betul-betul seperti teriris ketika melihat Vivi dalam kondisi menyedihkan seperti ini. Andaikan keajaiban itu ada, ia rela memindahkan semua kesedihan dan beban Vivi kepada dirinya.
Selang beberapa menit berlalu, Vivi berangsur-angsur tenang. Napasnya mulai normal, meski isak tangis masih senantiasa lolos dari bibirnya. Perlahan, ia membuka mata. "Mas Galih?" dahinya berkerut saat pertama kali yang dilihatnya adalah pemuda itu.